Pada bulan Dzulhijjah umat Islam akan melaksanakan hari raya Idul Adha yang selalu diselenggarakan pada 10 Dzulhijjah. secara teologis, hari raya kurban ini salah satunya didasarkan pada surat As Shaffat ayat 100-108. Dari ayat itu dijelaskan tentang awal mula mimpi Nabi Ibrahim hingga pembalasan yang diberikan oleh Allah kepadanya.
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)
Artinya: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”
Namun perlu diketahui bahwa di dalam ayat itu terdapat beberapa perbedaan pendapat. Pertama, persoalan tentang perdebatan siapa yang hendak disembelih oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq atau Nabi Ismail? Kedua, alasan tentang kenapa waktu itu manusia yang dikorbankan, apakah itu perintah sungguhan atau tidak.
Pembahasan artikel ini akan difokuskan pada persoalan pertama yaitu terkait dengan perdebatan tentang siapa yang berencana disembelih oleh Nabi Ibrahim. Persoalan ini menarik karena pada dasarnya umat beragama yang pertama kali mengetahui terkait dengan hal ini adalah umat dari Nabi Ishaq, yakni Yahudi dan juga Nasrani. Kedua agama ini mempercayai bahwa yang disembelih pada saat itu adalah Ishaq bukan Ismail.
Umat Islam justru mempercayai sebaliknya bahwa anak yang disembelih adalah Ismail, bukan Ishaq. Umat Islam di Indonesia juga mempercayai tentang hal ini. Setidaknya dari terjemahan al-Qur’an dan tafsir yang dikeluarkan oleh Kemenag menegaskan demikian bahwa yang disembelih adalah Nabi Ismail. Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka juga menegaskan demikian bahwa yang disembelih adalah Nabi Ismail. Namun jika membaca tafsir karya Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah jilid 12 tidak disebutkan secara pasti siapa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Perdebatan tentang siapa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim itu sudah ada sejak awal mula perkembangan kitab Tafsir bahkan menjadi perdebatan sendiri di kalangan para sahabat. Mufasir besar seperti Muqatil bin Sulaiman dengan kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Kabir menyebutkan bahwa yang dimaksud ghulam halim pada ayat 101 adalah Ishaq putera Sarah.
Pendapat Muqatil ini diperjelas secara lebih halus dalam tafsir Ibn Jarir al-Tabari maupun al-Qurtubi. Kedua mufasir ini menjelaskan lebih halus tentang siapa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim. Keduanya sepakat bahwasanya yang disembelih adalah Ishaq bukan Ismail.
Namun ketika pada abad ke delapan, tepatnya pada saat kitab tafsir Ibn Katsir berkembang, perdebatan itu mulai nampak. Tafsir Ibn Katsir menegaskan kalau yang disembelih adalah nabi Ismail. Bagi Ibn Katsir para mufasir sebelumnya tidak mendasarkan argumentasinya pada al-Qur’an dan hadis. Mereka banyak menggunakan dasar argumentasinya pada perkembangan kisah itu pada agama Yahudi dan Nashrani yang menyatakan bahwa Ishaq adalah orang yang disembelih.
Ibn Katsir menegaskan bahwasanya yang disembelih adalah Ismail. Ibn Katsir memperkuat argumentasinya berdasarkan struktur teks dalam kisah mimpi Nabi Ibrahim. Dalam ayat itu ditegaskan bahwa pada awalnya Nabi Ibrahim keluar dari kaumnya. Sebagai gantinya, Nabi Ibrahim diberi anak dari istri kedua yakni Hajar yang bernama Ismail.
Setelah itu Nabi Ibrahim membawa istri dan anaknya Ismail ke Makkah dan meninggalkan kedua ibu dan anak ini sendirian di tengah tandusnya padang pasir Makkah. Ketika anak itu telah menginjak usia baligh, Nabi Ibrahim menemuinya dan beliau bermimpi mendapat perintah dari Allah untuk menyembelihnya. Sebagai buktinya, dalam tafsir itu dijelaskan mengenai kedua tandu yang masih dirawat dan dijaga oleh suku Quraish selama berabad-abad namun karena terjadi insiden kebakaran sehingga tanduk itu juga ikut terbakar.
Argumentasi dari Ibn Katsir tersebut belum menyelesaikan perdebatan tentang siapa anak yang disembelih oleh Nabi Ibrahim. Tafsir Jalaluddin al Suyuti dan Al Alusi adalah tafsir pasca Ibn Katsir yang tidak menjelaskan secara pasti tentang siapa yang dimaksud ghulam halim dalam ayat itu. Kedua mufasir ini hanya menjelaskan dalam segi aspek kebahasaan sama seperti tafsir Al Misbahnya Quraish Shihab.
Meski demikian, pada akhirnya di abad modern pergeseran perdebatan itu semakin mengerucut ke satu nama yaitu Ismail. Dalam tafsir Sayyid Qutb dan Wahbah al-Zuhaili dijelaskan bahwa yang disembelih adalah Ismail. Kedua kitab ini secara tidak langsung menggambarkan bagiamana dominasi penafsiran Ibn Katisr terhadap kisah mimpi Nabi Ibrahim yang mempengaruhi penafsiran-penafsiran kontemporer.
Setidaknya kita sebagai umat Islam mengetahui bahwa penafsiran terkait dengan kisah hari raya kurban itu tidak tunggal. Melalui sumber yang sama, al-Qur’an, dapat melahirkan cara pandang yang berbeda. Al-Qur’an tetap sama namun tafsir yang dihasilkan dapat berbeda tergantung latar belakang si mufasir serta sumber rujukan yang digunakannya.