Di tengah kondisi fisik yang sudah menua, Shinta Nuriyah tak enggan bercengkrama dengan para kaum dhu’afa, marginal, dan masyarakat pinggiran. Dengan berkursi roda, Shinta Nuriyah tetap berkeliling Indonesia untuk seksdar bersilaturrahim dengan berbagai kalangan. Bu Shinta Nuriyah bisa saja memilih untuk hidup enak. Namun dengan uang hasil tabungannya sendiri, beliau terus meneguhkan komitmennya untuk terus menyusuri Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lain, terlebih saat momen ramadhan. Beliau rutin berkeliling, sahur bersama dengan masyarakat marjinal.
Perihal sahur, satu hal yang sangat filosofis yang saya dengar langsung dari pernyataan beliau, “Kalau buka bersama itu kan bersama-sama membatalkan puasa, kalau sahur artinya bersama-sama mengajak orang berpuasa. Jadi daripada mengajak orang membatalkan puasa, saya sekarang memilih mengajak orang puasa,” tegasnya.
Saya pun memandangi beliau dari jauh. Beliau lalu menambahkan,”Kalau sahur bersama artinya kan saya mengajak orang besok berpuasa. Perkara besok setelah sahur bersama mereka puasa atau tidak, bukan urusan saya, yang penting saya sudah mengajak.” Bu Shinta senyum santai.
Bagi saya, beliau memberikan gambaran sederhana, betapa pentingnya sebuah ajakan tanpa harus memaksakan orang yang kita ajak untuk sama dengan yang kita inginkan. Bagi beliau, “Yang penting mengajak” soal mau atau tidak, urusan lain. Jelas ramah tak memaksakan kehendak, bukan?
Memang, Shinta Nuriyah bukan sebagaimana mereka-mereka yang jago dan vokal di panggung, namun sepirit beliau untuk terus memupuk kebersamaan, kedamaian, dan persatuan. Sekali lagi, dengan kursi roda perempuan ini mudah dijumpai keluar masuk gereja, kelenteng, masjid, pasar hanya untuk sekedar menyampaikan betapa pentingnya islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Darinya kita memetik pentingnya menguatkan relasi dengan perjumpaan, agar kehidupan tak mesti diwarnai oleh prasangka-prasangka yang kadang hal itu juga menjadi bagian yang tereduksi ajaran agama.
Shinta nuriyah merupakan cermin polarisasi hidup yang melampaui perempuan pada umumnya, di dalam diri beliau bukan lagi perihal ajaran agama yang semata teks yang kebanyakan tidak begitu memberi ruang gerak untuk mengekspresikan diri seeksklusif mungkin dan terbatas. Beliau melumat habis kepatriarkian yang seolah hanya dimiliki laki-laki.
Sosok ibu dari empat anak ini pula merupakan pribadi yang tak pernah membatasi ekspresi para anak-anaknya. Meski secara status sosial beliau adalah bu nyai, namun implementasi keberagamaan keluarga beliau tak pernah ribet sebagaimana praktek-praktek keagamaan keluarga pesantren pada umumnya. Sebab darinya kita belajar kebebasan dan kesetaraan yang merupakan esensi dari agama itu sendiri. Yakni menebar manfaat sebanyak-banyaknya kepada apapun, siapapun, dan dimanapun.
Empat anak perempuannya pun tak lepas dari didikan kuat seorang Shinta Nuriyah, keempatnya juga tak henti-hentinya menghibbahkan diri untuk terus berkeliling, bermain, dan berelasi seluas mungkin dengan siapapun. Meski tak lepas dari sosok Gus Dur pula, namun ketulusan seorang Shinta Nuriyah lah merupakan pondasi dasar dari aktivitas anak-anaknya. Semuanya sampai saat ini masih menjadi bagian penting dari keberlangsungan pembangunan bangsa. Baik perihal agama, politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.
Bu Nyai yang murah senyum ini juga merupakan sosok yang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membikin orang bingung menjawabnya. Rupanya beliau bermaksud untuk terus mengajarkan kita berfikir jeli, hati-hati, dan tak mudah menafsirkan sesuatu. Terpenting, beliau jelas mencerminkan prilaku untuk terus berdialog dengan siapapun sesama ciptaan. Tanpa sekat agama, ras, suku, warna kulit, dan lain-lain.
Dengan berpenampilan sederhana sebagaimana penampilan bu Nyai pada umumnya, Shinta Nuriyah merupakan sosok penyayang yang tak pernah padang latar belakang. Beberapa tahun yang lalu, sekitar 8 Juni, Shinta Nuriyah berkunjung ke Santa Maria Tak Bercela (SMTB) di Ngegel Surabaya, beliau dalam rangka menyampaikan duka cita atas tragedi bom tiga gereja 13 Mei di Surabaya. Saat itu beliau terus meminta tisu karena air matanya terus menetes tak henti saat mendengar testimoni dari banyak orang.
Saat Islam Indonesia melampaui citra yang berwatak intoleransi, prasangka, bahkan kutukan kepada sesamanya, rupanya Tuhan masih menjaga komitmen beliau untuk terus merajut dan tetap mengumpulkan berbagai puing-puing kebersatuan yang selama ini terus sengaja dicabik dan dirusak oleh orang yang tak bertanggung jawab.
Dari beliau kita harus termotivasi, untuk terus mempersiapkan masa depan generasi. Apalah arti hidup jika tak banyak berbuat, sebab indonesia lahir dengan kesungguhan dan tetesan keringat. Dan, Ibu Shinta sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan…