KH. Ali Mustafa Yakub, pengasuh pondok pesantren luhur ilmu hadis Darussunnah, yang beberapa tahun kemarin berubah menjadi darus-sunnah international institute for hadith sciences, adalah seorang kiai yang tegas dan konsisten. Istiqamah dan penuh kesabaran dalam mengajar para santri.
Kiai kelahiran Batang 02 Maret 1952 ini dikenal dengan kepakarannya dalam bidang hadis. Beliau adalah murid dari Prof. Dr. A’zami. Salah seorang intelektual ahli hadis asal India yang memiliki “concern” dalam mengcounter kajian-kajian hadis yang dilakukan oleh kalangan orientalis. Beliau juga beberapa kali menerjemahkan dan memberikan kata pengantar atas karya-karya A’zami ke dalam bahasa Indonesia.
Perkenalan awal saya adalah saat menjadi santri beliau. Tepatnya pada tahun 2008. Bermodal “iseng-iseng berhadiah”, saya mencoba mengikuti tes ujian masuk pesantren Darussunah. Dan Alhamdulillah melalui ujian seleksi yang cukup –bahkan bisa dikatakan sangat- ketat, saya dinyatakan lulus ujian dan berhak tinggal di pesantren gratis tersebut.
Selama empat tahun saya diberi kesempatan menimba ilmu beliau di pesantren hadis itu. Dua tahun pertama, saya dan santri-santri seangkatan diajar langsung beliau selama empat kali dalam seminggu. Beliau mengajar kutub sittah (kitab-kitab hadis kanonik; shahih bukhari, shahih muslim, sunan attirmidzi, sunan an-nasai, sunan Abu Dawud, dan sunan Ibn Majah). Selanjutnya, dalam dua tahun berikutnya, dengan segala kesibukan beliau, kami (hanya) mendapatkan kesempatan dua kali dalam seminggu mengaji langsung dengan beliau.
Metode pengajaran yang beliau pilih adalah “qiraah ala syaikh” (murid membacakan hadis ke guru). Sebuah metode klasik yang terbukti ampuh sekaligus membuat para santri harus melakukan persiapan yang matang. Sebab, bila salah dalam membaca atau menjawab pertanyaan yang diajukan beliau, para santri yang kerap mendapatkan hukuman (takzir): Qum (berdiri!).
Saya sendiri sempat ditakzir oleh beliau karena tidak mengikuti pengajian. Saat itu saya yang mendapatkan tugas untuk mengikuti sebuah acara di luar kota sempat bingung. Di satu sisi acara itu penting untuk saya ikuti. Di sisi lain, saya tidak mungkin mendapatkan izin beliau. Dan saat itu adalah awal semester baru. Dengan modal nekat saya tetap berangkat ke acara tersebut. Saking khawatir dan paniknya, waktu itu saya mencoba memberanikan diri mengirim sms ke beliau. Dan ternyata tidak dibalas. Saya semakin khawatir sebab beberapa teman sms mengatakan kalau semalam saya dicari beliau. Sepulang dari acara saya langsung kembali ke pondok. Saat mudzakarah (belajar bersama para santri untuk persiapan mengaji besok pagi) beliau datang sambil menanyakan saya. Ayna Idris? Limadza tataakharta? (Mana Idris? Kenapa kamu terlambat? Akhirnya saya mendapatkan takziran mencabut rumput dan membersihkan halaman masjid pondok.
Humoris dan Bersahaja
Di samping dikenal dengan sikapnya yang tegas, beliau adalah sosok yang humoris (sesuatu yang cukup lumrah di kalangan pesantren). Humor-humor beliau di sela-sela pengajian menjadi semacam “penenang” ketegangan yang dirasakan sebagian santri yang khawatir disuruh membaca. Dan berawal dari humor beliau, muncul “gojlokan/gasakan” (sindiran) sebagian santri kepada teman-temannya yang kerap diguyoni beliau. Guyonan yang sering muncul biasanya menjelang liburan. Di sela-sela mengumumkan liburan, beliau mengatakan, mumpung liburan silakan menikah. Syahrul asal fil ghobah (bulan madulah di hutan)!
Kiai Ali adalah seorang kiai yang bersahaja. Dekat dengan para santri. Bahkan sebagian santri yang berasal dari Jawa atau pernah nyantri di Jawa yang biasa memiliki tata krama ala “keraton”; menunduk, tidak berani menatap wajah kiai, merasa tidak terbiasa dengan hal demikian. Ini Jakarta bro! Celetuk seorang kawan yang juga senior saya sewaktu saya merasa “kikuk” dan tidak nyaman bila “menghilangkan” tradisi yang saya dapat dari pesantren di Jawa.
Setiap kali berjumpa, beliau hampir selalu menanyakan kabar, menikah belum, apa aktivitasnya? Dua tahun yang lalu saya mendapatkan kesempatan memoderatori beliau di sebuah acara seminar yang digelar di kampus IIQ.
Hari ini adalah hari ketujuh kepulangan beliau. Maafkan kami, Kiai. Kami tidak bisa membalas ilmu dan jasa-jasa yang engkau berikan. Kami hanya bisa berdoa. Semoga engkau berjumpa dengan kanjeng Nabi, Para Ahli Hadis, Para ulama, Mbah Idris Kamali (kiai yang kerap engkau sebut hampir di setiap halaqah) dan guru-guru panjenengan. Sampaikan salam kami kepada beliau-beliau semua.
Lahul Fatihah
*)Idris Mas’udi, santri angkatan 10