Khittah kemajemukan pemahaman, penakwilan, dan penafsiran cum fiqih anutan umat Islam melalui fatwa tokoh-tokoh dan pemuka-pemukanya hanya akan bisa diterima sebagai karunia kerahmatanNya—inilah kesejatian pemikiran dan sikap buat kita semua—bila kita memahami dengan baik pula berbagai proklamasi dan perintah-Nya kepada kita, sebagaimana diungkapkan-Nya dalam al-Qur’an.
Pertama, Allah Swt memproklamasikan Diri-Nya memang tidak berkehendak menjadikan semua manusia beriman kepada-Nya (surat Yunus 99–100) maupun jadi satu umat saja (surat al-Ma’idah 48). Realitas sejarah ini merupakan bagian dari sunnatullah sejak dahulu kala yang takkan mungkin bisa diubah siapa pun (surat al-Ahzab 62).
Kedua, tujuan dari sunnatullah kemajemukan antar-kita itu (bahkan antar-iman) adalah untuk menguji siapa di antara kita yang paling baik amal perbuatan—bukan hanya secara ‘ubudiyah (transendental), tapi juga mu’amalah (imanental, sosial). Silakan cek surat al-Ma’idah 48 dan al-Mulk 2.
Ketiga, Allah Swt telah memberikan pedoman sikap kepada kita semua di tengah keragaman ini, yakni fastabiqul khairat (berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan). Cek surat al-Baqarah 148 dan al-Ma’idah 48.
Siapa yang semakin baik lakonnya, transendental dan sosial, dialah yang paling gempal takwanya. Derajat inilah yang disebut-Nya “orang yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah Swt” (inna akramakum ‘indaLlahi atqakum).
Pada surat an-Nahl ayat 128, kualitas ketakwaan didefinisikan-Nya dengan benderang sebagai “orang-orang yang berbuat baik”. Jadi, mustahil orang yang makin bertakwa justru memproduksi perbuatan-perbuatan buruk, secara peribdatan dan sosial.
Sikap berlomba-lomba ini juga bisa diluaskan kepada khazanah keilmuan. Karenanya, sahih belaka bila demi penggalian, kajian, diskusi, dan dialog yang murni berorientasi keilmuan, kita menggunakan asas berlomba-lomba ini (tasabuq) dengan syarat wajib selalu beraras pada karakter hasanah (kebaikan, keadaban, kemakrufan). Lihat surat an-Nahl ayat 125.
Keempat, pedoman berikutnya ialah jangan sampai terjatuh pada sikap berpecah-belah dan bermusuh-musuhan. Surat Ali ‘Imran ayat 105 menerangkan hal ini dengan jelas. Yang dimaksud tafarraqu wa ikhtalafu sebagai larangan-Nya bukanlah keharaman berbeda pendapat, paham, dan mazhab atau menjadi umat-umat. Ini tak sejalan dengan surat al-Baqarah ayat 148. Yang paling meyakinkan sebagai takwilnya ialah jangan sampai kita tidak seshaf lagi dengan perbuatan-perbuatan baik antar-kita. Takwil ini selaras dengan surat al-Hujurat ayat 10 yang menyeru kita untuk saling berbuat baik sebagai sesaudara.
Kelima, jangan mengikuti hawa nafsu dan bujuk rayu setan. Biang kerok terjatuhnya seseorang kepada perbuatan negatif kepada orang lain yang berbeda paham dan mazhab dengannya ialah akibat memperturutkan hawa nafsu dan mengikuti bujuk rayu setan.
Surat an-Nur ayat 21 mengisyaratkan letusan perilaku buruk (fahsya’) dan zalim (munkar) tiada lain akibat kita mengikuti langkah-langkah setan (khuthuwatis syaithan). Surat al-Baqarah ayat 213 menggunakan lema baghyan (hawa nafsu) untuk menegaskan sebab-musabab suatu perbuatan buruk kepada liyan. Begitu pun surat al-Jatsiyah ayat 17.
Keenam, kembalikan segala muara perbedaan itu hanya kepada otoritas kebenaran-Nya dan Rasul-Nya Saw. Kemampuan bersikap demikian dinyatakan-Nya sekaligus merupakan cerminan bagi seberapa kekar keimanan kita kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Bayangkan! Simak surat an-Nisa’ ayat 59.
Dengan kata lain, jika kita bersikap buruk dan negatif kepada liyan, seyogianya kita mawas diri bahwa itu merupakan cerminan bagi buruk, rapuh, dan lemahnya iman kita kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.
Maka boleh jadi tatkala kita mengumandangkan takbir, tetapi bentuk sikap dan dampaknya menderaikan mudharat-mudharat kepada liyan, misal menghujat, melaknat, mengafirkan, atau mempersekusi, itu sama sekali bukan parameter kekafahan iman di hati, melainkan justru jalan-jalan setan dan hawa nafsu. Renungkan surat al-Mu’minun ayat 71.
Berkali-kali banyak dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa segala perbedaan antar-umat hanya Allah Swt lah yang Maha Mengetahui perihal kebenarannya. Bukan kita semuanya, tak seorang pun dari kita.
Kelak, Allah Swt lah yang akan mengabarkan kepada kita semua perihal kebenaran menurut-Nya di antara perbedaan pendapat-pendapat. Lihat surat al-Jatsiyah ayat 17. Seyogianya dengan kesadaran prinsipil tersebut, selesai sudah dalihnya buat kita semua untuk tidak terjerumus kepada ketegangan-ketegangan di antara perbedaan-perbedaan apa pun itu.
Ketujuh, berbuat adil. Adil, kata Prof. Quarish Shihab, bukanlah membagi sesuatu dengan sama rata, tetapi meletakkan sesuatu pada tempatnya. Anak kecil diberikan baju bagus sebagaimana yang dikenakan kakaknya, itu bukanlah keadilan, dan sebaliknya.
Surat al-Ma’idah ayat 8 menekankan urgensi peran bersikap adil kepada siapa pun ini—bahkan kepada orang atau golongan yang sedang tidak kita setujui atau sukai—dengan menyebutnya “lebih dekat kepada ketakwaan”.
Pada ayat lain, yakni al-Furqan 63, Allah Swt melukiskan sikap demikian sebagai “haunan” (santun rendah hati), dan itulah di antara ciri hidup dan sikap Hamba Sang Rahman (‘ibadu ar-Rahman).
Kedelapan, senantiasa merawat tali persaudaraan antar-kita. Sesaudara mustahil mendampratkan sikap buruk dan permusuhan dalam keadaan apa pun, seberbada apa pun. Mestilah yang selalu diprioritaskan ialah sikap saling berbuat baik atau ishlah. Persaudaraan yang dibingkaikan pada sikap-sikap saling ishlah tersebut buahnya niscaya hanyalah semata kasih sayang cum kerahmatan. Lihat surat al-Hujurat ayat 10.
Kesembilan, kerahmatan Islam merupakan karunia-Nya yang hanya akan diberikan-Nya kepada orang-orang yang beriman, bertakwa, dan berbuat kebaikan-kebaikan. Ini meliputi amal-amal rohaniah dan lahiriah, ‘ubudiyah dan mu’amalah, transendental dan sosial. Silakan cermati surat an-Nur ayat 21.
Karunia-Nya yang membuncahi hati dan pikiran serta perbuatan untuk senantiasa berwelas-asih dan berkasih sayang kepada sesama muslim lintas mazhab dan pula sesama manusia lintas iman ini mencerminkan kekafahan kualitas rohani dan lahiriah kita.
Surat an-Nisa’ 175 melukiskannya dengan sangat indah mempesona: “Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah Swt dan berpegang teguh kepada jalanNya (agamaNya), maka Allah Swt akan memasukkannya ke dalam rengkuhan rahmatNya dan limpahan karuniaNya dan kemudian membimbingnya kepada jalan yang lurus.”
Dalam surat al-Hadid ayat 28, hal demikian diistilahkan sebagai “dua bagian rahmat-Nya”, yakni Cahaya yang menuntunnya untuk berjalan (sehingga bisa lurus) dan pengampunan tiada henti dariNya.
Kesepuluh, inilah anugerah agung dari-Nya yang sangat paripurna, yakni jiwa yang bersih. Tidak ada satu manusia pun yang bisa mencetak diri dan jiwanya untuk bersih (zaki) kecuali atas dasar pemberian-Nya—yang hanya disuguhkanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Lihat surat an-Nisa’ 49.
Surat an-Nur ayat 21 juga telah mengatakannya dengan amat benderang. Inilah derajat al-nafsu al-muthmainnah sang mukmin, jiwa yang tenang, yang oleh surat al-Fajr ayat 27–30 dengan sangat elok dalam nada sambutan: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai, lalu bergabunglah dengan rombongan hamba-hamba-Ku, lalu masuklah ke dalam surgaKu….”
Semoga kajian ini bermanfaat buat kita semua. Kurang lebihnya saya mohon maaf.
Wallahu a’lam bish shawab.
BACA JUGA Seluk Beluk Ushul Fiqih Untuk Pemula (7): Fiqih dan Watak Kemajemukannya