
Pemerintah dan DPR sedang melakukan kudeta terhadap demokrasi, bukan dengan senjata dan tank di jalanan, tetapi dengan pasal-pasal dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ini bukan sekadar perubahan hukum yang bersifat administratif, melainkan sebuah kudeta konstitusional—sebagaimana dijelaskan oleh David Landau dalam Abusive Constitutionalism (2013)—di mana aturan hukum justru digunakan sebagai alat untuk membongkar supremasi sipil dan meneguhkan dominasi militer dalam pemerintahan sipil.
RUU ini bukan hanya menghapus batas antara sipil dan militer, tetapi juga membuka jalan bagi militer untuk merebut kembali kekuasaan yang telah mereka hilangkan sejak Reformasi 1998. Mereka tahu bahwa senjata bukan lagi alat yang efektif untuk mengontrol rakyat, maka mereka memilih jalur lain—membajak hukum, menyusup ke dalam sistem, dan menciptakan struktur di mana supremasi sipil hanya menjadi ilusi yang mati perlahan.
Revisi ini menandai kemunduran paling berbahaya dalam sejarah pasca-Reformasi. Selama lebih dari dua dekade, batas antara militer dan sipil telah dijaga, meski belum sempurna. Namun kini, pemerintah tidak hanya meruntuhkan batas itu, tetapi juga memberikan jalan bagi TNI untuk kembali beroperasi dalam sistem pemerintahan tanpa perlu mengundurkan diri dari dinas militer.
Inilah bentuk lain dari penghancuran supremasi sipil melalui jalur hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Landau dalam teorinya tentang abusive constitutionalism: ketika perubahan konstitusi atau hukum dilakukan untuk merusak demokrasi dari dalam, bukan untuk memperbaikinya.
Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, BNPB, BNPT, dan berbagai lembaga lainnya akan diisi oleh prajurit aktif yang tetap terikat pada garis komando militer. Ini bukan sekadar perampasan jabatan, ini adalah penyusupan struktural yang akan mengikis independensi hukum dan birokrasi sipil. Bagaimana mungkin seorang perwira aktif yang ditempatkan di Kejaksaan Agung dapat bertindak independen, sementara ia masih tunduk pada perintah Panglima TNI? Bagaimana mungkin Mahkamah Agung bisa menjalankan prinsip keadilan, ketika hakimnya masih terikat pada hierarki komando yang menuntut kepatuhan absolut?
Ini bukan hanya soal jabatan dan institusi, ini adalah soal bagaimana hukum di negara ini akan ditegakkan. Jika militer memiliki kekuatan dalam sistem hukum, maka siapa yang akan mengadili mereka ketika mereka melakukan pelanggaran? Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa militer bukan hanya tidak tersentuh hukum, tetapi juga memiliki rekam jejak panjang dalam mempertahankan impunitas.
Dari pembantaian 1965-66 yang menewaskan lebih dari 500.000 jiwa, pendudukan brutal di Timor Leste yang menyebabkan lebih dari 200.000 korban, hingga penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998, militer selalu berada di atas hukum. Kasus-kasus seperti Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989 tidak pernah mendapatkan keadilan yang sejati, karena militer selalu memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab tetap kebal dari konsekuensi hukum.
Setelah Reformasi, pola ini tidak berubah. Penembakan warga Paniai di Papua pada 2014 hingga kini masih belum terselesaikan, dan kasus-kasus serupa terus berulang di berbagai daerah tanpa ada hukuman yang berarti bagi pelaku. Kini, mereka bukan hanya ingin mempertahankan impunitas atas kejahatan mereka, tetapi juga membangun sistem yang memungkinkan mereka memiliki kontrol langsung atas hukum dan kebijakan negara.
RUU ini tidak hanya membuka pintu bagi militer untuk kembali mendominasi birokrasi, tetapi juga memberi mereka kekuasaan dalam bidang keamanan domestik dengan dalih penanggulangan ancaman siber dan narkoba. Dalih ini adalah topeng yang sama yang digunakan di negara-negara lain yang jatuh ke dalam militerisme terselubung. Duterte di Filipina memberi militer kewenangan dalam perang narkoba, dan hasilnya adalah lebih dari 30.000 pembunuhan di luar hukum tanpa proses peradilan. Meksiko mengerahkan militer dalam perang narkoba, dan hasilnya adalah negara yang semakin terjebak dalam kekerasan, kartel yang semakin kuat, serta pelanggaran HAM yang semakin brutal.Indonesia sedang menuju ke arah yang sama.
Perubahan lain yang tak kalah berbahaya adalah perpanjangan masa jabatan Panglima TNI yang kini berada sepenuhnya dalam kendali Presiden. Ini adalah contoh nyata dari abusive constitutionalism, di mana hukum dimanipulasi untuk mengonsolidasikan kekuasaan, melemahkan prinsip demokrasi, dan memperkuat dominasi eksekutif atas institusi militer.
Alih-alih memastikan profesionalisme dan netralitas TNI, perubahan ini justru menciptakan mekanisme politik yang membuat militer semakin bergantung pada kekuasaan Presiden. Dengan kendali penuh atas masa jabatan Panglima TNI, Presiden tidak hanya mendapatkan alat politik yang kuat, tetapi juga membangun sistem patronase dalam tubuh militer, di mana loyalitas tidak lagi diberikan kepada konstitusi atau kepentingan negara, melainkan kepada siapa yang memberikan mereka kekuasaan.
Ini adalah langkah klasik dalam proses militerisasi politik, di mana pemimpin sipil tidak lagi sekadar memimpin, tetapi menggunakan militer sebagai perpanjangan tangan untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Jika dibiarkan, kebijakan ini akan mengarah pada militer yang semakin berpolitik dan Presiden yang semakin bergantung pada dukungan militer untuk mempertahankan kekuasaan, menciptakan lingkaran setan antara politik dan militer yang berujung pada erosi demokrasi secara bertahap.
Strategi ini telah digunakan di banyak negara sebelum mereka jatuh ke dalam otoritarianisme berbasis militer. Militer yang dikendalikan oleh kepentingan politik akan semakin sulit dikontrol, dan yang terjadi adalah semakin menguatnya aliansi antara elit politik dan militer dalam mengendalikan negara dengan cara-cara yang semakin jauh dari prinsip demokrasi.
Lebih dari sekadar ancaman politik, ini adalah pintu gerbang menuju kekuasaan absolut yang kebal hukum dan tak tersentuh pengawasan. Salah satu ancaman yang paling berbahaya dari ekspansi militer ke ranah sipil adalah korupsi yang mengakar dan semakin tak tersentuh.
Laporan Transparency International telah lama mengungkap bahwa TNI memiliki jaringan bisnis gelap yang mencakup kepemilikan lahan perkebunan ilegal, tambang ilegal, serta monopoli proyek-proyek negara yang seharusnya berada dalam kendali sipil. Tak hanya itu, dalam berbagai kesempatan, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa pengadaan alutsista kerap diduga menjadi ladang korupsi. Namun, kasus-kasus ini hampir selalu mandek, hilang dalam pusaran impunitas, atau bahkan tidak pernah disentuh sama sekali.
Baca juga: Gus Dur Ngajarin Pembatasan Kekuasaan, Kini Saatnya Kita Lawan RUU TNI
Kini, dengan masuknya prajurit aktif ke dalam lembaga-lembaga sipil, korupsi ini bukan hanya akan terus berlangsung, tetapi akan semakin tersembunyi dan semakin sulit untuk dibongkar.
Bagaimana mungkin ada transparansi, jika mereka yang seharusnya diawasi justru menjadi bagian dari sistem pengawas itu sendiri? Ini bukan sekadar ancaman terhadap transparansi dan akuntabilitas, ini adalah perampokan terbuka atas anggaran negara yang dilegalkan dengan regulasi.
Jika revisi ini disahkan, jangan berharap bahwa militer akan berhenti di sini. Ini adalah awal dari strategi bertahap untuk merebut kembali posisi mereka dalam pemerintahan sipil. Hari ini mereka masuk ke Kejaksaan dan Mahkamah Agung, besok mereka akan masuk ke KPU dan Bawaslu dengan dalih menjaga stabilitas pemilu.Setelah itu, kita akan melihat bagaimana prajurit aktif mulai masuk ke jabatan eksekutif tanpa perlu melepas status militer mereka, dan pada akhirnya, kita akan menyaksikan kembalinya model pemerintahan seperti era Orde Baru: negara yang secara formal tampak demokratis, tetapi sepenuhnya dikendalikan oleh militer dari balik layar.
Ini bukan sekadar ancaman terhadap supremasi sipil, ini adalah ancaman terhadap eksistensi demokrasi itu sendiri.Jika kita membiarkan ini terjadi, maka dalam satu dekade ke depan, Indonesia tidak akan lagi menjadi negara yang diperintah oleh hukum dan rakyat, tetapi oleh komando militer yang menyamar dalam struktur pemerintahan.
Inilah saatnya untuk melawan. Bukan hanya sekadar menolak, tetapi menghancurkan RUU ini sebelum ia menjadi alat yang mengubur kebebasan sipil untuk selamanya. Jika kita membiarkan ini berlalu tanpa perlawanan, maka kita sedang menyerahkan republik ini kepada mereka yang telah berkali-kali terbukti menggunakan kekuasaan bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk melindungi diri mereka sendiri.
Pemerintah dan DPR telah menunjukkan dengan jelas bahwa mereka tidak lagi peduli dengan amanat Reformasi.Mereka lebih memilih untuk membangun ulang model kekuasaan Orde Baru dalam bentuk yang lebih terselubung tetapi lebih berbahaya. Militer yang tunduk pada hukum telah menjadi mitos, dan kini, mereka ingin kembali berkuasa dengan cara yang lebih licik.
Kita tidak boleh tertipu oleh retorika stabilitas dan efektivitas. Jika kita tidak bertindak sekarang, dalam waktu dekat, kita akan menyaksikan lahirnya kembali negara yang dikendalikan oleh tangan-tangan berseragam, di mana rakyat tidak lagi berdaulat, tetapi hanya sekadar objek yang harus tunduk pada perintah mereka.