Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Allahu Akbar Walillahilham.
Puji syukur kepada Allah, Tuhan Semesta Alam yang kami agungkan. Tuhan pemberi rahmat, damai dan rejeki bagi kami kaum tani yang hanya tahu cara bercocok tanam bukan berdebat dan mempertahankan pendapat.
Kami tinggal di Kawasan Dataran Tinggi Dieng, 35 kilometer dari Kota Banjarnegara, 40 Kilometer dari Kota Wonosobo dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Pekalongan. Jalan berkelok panjang, kanan dan kiri jurang serta naik turun kebanyakan. Bisa anda bayangkan sepelosok apa tempat kami tinggal. Kami hidup dengan kasih sayang Tuhan yang berlebih, tanah subur dan air yang kaya. Tuhan yang kami rasa tak pernah mengajarkan kebencian, karena jika Tuhan membenci kami, tentu kentang dan wortel yang kami tanam tak pernah mau dipanen.
Bagi kami, Hari Raya Idul Fitri merupakan wahana tawaf silaturahmi, berkumpul dan saling menelanjangi diri dengan ungkapan maaf yang teratur. Sowan, sungkem, tertunduk, mengucap selamat sambil meminta maaf adalah cara kami untuk menghindari rasa benci dan curiga. Saling tersenyum meski tentu ada yang disembuyikan dalam hati. Tentu kami pernah berbeda pandang tentang berbagai hal. Tentang harga pestisida, harga sayur yang turun naik sampai urusan ngaji dimana. Termasuk juga tentang tempat jamaah tarawih yang dipilih. Antara satu mushola dengan mushola yang lain berbeda cara mengerjakan. Ada yang khuysuk dan lama, ada pula cepat dan cerkas. Itu soal selera, soal kenyamanan dalam berdekatan dengan Tuhan.
Desa kami memang amat mesra dengan adzan dan iqomah yang satu sama lain saling bersahutan di setiap 5 waktunya. Mengingatkan kami bahwa cangkul harus segera diletakkan dan gubug harus segera dibersihkan untuk sholat dan wiridan. Setidaknya ada 5 mushola tempat kami berjamaah, Memang terbagi dan untuk desa seukuran ini, berlebih bisa jadi. Namun sekuat-kuatnya kami memegang ego untuk sholat di mushola sendiri. Tetap, Masjid tempat kami menyatukan diri. Bukan karena tak muat berjamaah Sholat Ied, desa kami banyak Kyai, orang yang punya pengetahuan agama tinggi, sampai sturuktur takmir tak muat diisi. Tapi Masjid bagi kami lebih dari sekedar tempat ibadah, tempat untuk kembali merajut fitrah, bersalaman memutar setelah jamaah. Begitu Indah.
Namun, lain halnya dengan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Kami mendengar, bahwa banyak dari halayak orang kota sana menjadi pembenci ulung. Menolak duduk bersama dengan orang yang punya pandangan lain, berteriak keras dan berkata kasar memaki orang lain sampai tak mau mengsholati jenazah pendukung yang beda nomor, Kami hanya bisa membayangkan bagaimana hidup di tengah kebencian dan hasrat untuk menang sendirian. Satu sama lain tak mau membantu karena alasan agama, namun bukannya agama hadir untuk menghilangkan rasa benci karena ketidakadilan dan saling menyayangi antar sesame makhluk? Kami tak tahu, mungkin mereka yang terdidik lebih bisa menjawab. Kami hanya ikut pesan Kyai, bahwa Allah iku dzat kang welas asih ing ndalem dunyo lan akhirat.
Kami juga mendengar bahwa banyak masjid-masjid jadi sarang pembenci. Surau-surau sekonyong-konyong jadi belati. Kata-kata kafir juga mudah didapati dan ajakan berperang menjadi dengung keseharian. Bahkan di Hari Raya Idul Fitri pun ada orang-orang yang menebar kebencian dan menuduh kesesatan dengan ingin memboikot jamaah karena khotib yang akan berkhutbah. Kami pernah merasakan hal yang sama sebenarnya, ada khotib yang pernah berselisih, tapi kami tetap melaksanakan sholat Ied dengan berjamaah tanpa ada yang menyendiri di rumah karena tak mau mendengarkan khotbah.
Kami hanya berpikir, untuk urusan pengisi khutbah itu masalah kecocokan. Tapi jangan pernah samakan masjid dengan griya pijit yang dengan seenak hati memboikot, mengolok-olok dan menjelekkan para pengisinya. Baik, mungkin itu soal kecocokan. Kami juga berpikir kalau mungkin orang sana lebih tahu rasionalisasi sedang kami terbatas akses informasi.
Ah, mungkin saja kami yang terlalu primitif yang masih suka mencari makan dengan berkotor dan berkeringat sampai kaki kami retak. Mungkin kami saja yang lebih tertinggal, karena kami masih suka bersilah melingkar meski kami beda pandang. Mungkin saja kami yang terlalu terbelakang, karena kami masih tetap datang kenduri meski siangnya kami saling memaki. Kami hanya meyakini, bahwa masjid adalah tempat mempersatukan, bukan tempat menyebar kebencian dan Idul Fitri adalah cara Allah mengajarkan kasih sayang dan merekatkan persinggungan. Tapi sudahlah, kami hanya berbagi cerita tentang kami orang-orang desa yang hanya punya satu masjid dan satu tempat untuk bertahlil, tasbih dan tahmid.
Kami hanya ingin mengucapkan sugeng riyadi untuk para pembenci, tak malukah anda dengan kami para tani yang tak sekolah tinggi?
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Allahu Akbar Walillahilham.
Fajrul Falah Wangsaguna, penulis adalah Santri Ponpes Nailul Ula Yogyakarta.