Sejarah Perang Karbala yang Luput dari Kita

Sejarah Perang Karbala yang Luput dari Kita

Peristiwa Karbala bukan sekadar sejarah atau Syiah semata, ia milik semua umat Islam

Sejarah Perang Karbala yang Luput dari Kita

Bagaimana Karbala menjadi kota penting bagi umat Islam yang dilupakan & sejarah peperangan yang membuat ‘luka’ dalam sejarah?

Karbala adalah sebuah kota di Irak yang berjarak sekitar 100 km di sebelah Barat Daya Baghdad. Menurut data pada tahun 2003, Karbala mempunyai jumlah penduduk sekitar 572.300 jiwa. Historis kota Karbala merupakan salah satu tempat yang suci bagi kaum muslim. Mengapa?

Perdebatan sengit kepemimpinan khalifah pasca terbunuhnya Ali bin Abi Thalib rupanya tidak juga redam. Kebencian Muawiyyah berlanjut pada kepemimpinan Yazid, anaknya. Ia tidak segan-segan menghukum kaum muslim yang tidak memihak kepadanya. Hal inilah yang juga terjadi pada kaum Syiah yang menetap di Kuffah. Mendengar hal tersebut, akhirnya Husain memberanikan diri datang ke Kuffah atas “undangan” dan permintaan tolong kaum Syiah di sana.

Husain kemudian berangkat dari Semenanjung Arabia. Ia mengumpulkan keluarga, kerabat dan pengikutnya yang masih tersedia. Setidaknya terkumpul sekitar 70 orang pasukan. Sekalipun pada kenyataannya akan sulit untuk menaklukkan kekuasaan Yazid yang sedang sangat berjaya, Husain tetap berangkat demi menyingkap tirani atas ketidakadilan yang diberlakukan Yazid terhadap kaum Syiah terutama yang berada di Kuffah.

Perjalanan rupanya tidak berjalan mulus. Karena pemimpin politik di Kuffah pada saat itu di bawah tekanan Yazid bin Muawiyyah dan melarang rombongan Husain memasuki kota tersebut. Akhirnya Husain memutuskan untuk berkemah di luar kota Kuffah. Tepatnya di lembah Karbala yang kering dan landai. Di tempat itulah, Husain dan pengikutnya di bunuh secara brutal oleh Shemr dan pasukannya.

Peristiwa perang Karbala yang terjadi pada 10 Muharram tahun 61 H. Selepas menunaikan sholat Subuh, Husain keluar dari tendanya dan menatap satu persatu pasukan yang kini tengah mengepung ia dan pengikutnya. Nadirsyah Hosen menuturkan berdasarkan kitab Tarikh Ath Thobari, Husain berpidato dengan begitu indah dan menyentuh hati,

Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal kalian untuk membunuhku dan mencederai kehormatanku. Bukanlah aku ini putra dari anak perempuan nabimu, bukankah aku ini anak dari washi dari keponakan nabimu yang pertama kali beriman kepada nabi? Bukankah Hamzah pemuka para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far yang akan terbang dengan dua sayap itu adalah pamanku? Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian sendiri bahwa Rasulullah saw pernah berkata tentang saudaraku dan aku? Kata Baginda Rasul: Keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga. Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan dan sungguh itu benar dan aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyakanlah kepada para sahabat nabi, Jabir bin Abdullah Al Anshori, Abu Sai’d Al Khudri, Sahal bin Sa’ad, Zaid bin Al Khom dan Anas bin Malik. Dan semuanya akan memberi tahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”

Pasukan yang di bawah pimpinan Shemr yang berjumlah 4000 orang tersebut tidak mempedulikan apa yang disampaikan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka memaksa Husain untuk mengakui kekhalifahan Yazid bin Muawiyyah. Ibnu Katsir bercerita dalam Al Bidayah wa Nihayah menceritakan bagaimanan pasukan Shemr memukul kepala Husain dengan pedang hingga berdarah. Husain membalut luka di kepalanya dan merobek kain jubahnya dan dengan cepat balutan kain tersebut memerah karena darah.  Serangan datang dari segala penjuru. Semua pasukan mati terbunuh, perempuan dan anak ditangkap dibiarkan kehausan. Ibnu Katsir menuturkan bahwa yang melemparkan tombak kepada Husain adalah Shinan bin Amar, lalu ia menggorok kepala Husain dan menyerahkannya kepada Khawali bin Yazid.

Itulah sepenggal cerita peristiwa Karbala yang sampai saat ini menjadi peristiwa penting. Tidak hanya bagi kaum Syiah, tetapi bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Peristiwa yang mengorbankan sosok cucu nabi yang sudah dijamin kemuliaannya oleh Rasulullah. Pada hari ini, kita diperkenankan untuk tidak melakukan kegiatan yang sifatnya bersenang-senang untuk menghormati matinya cucu Rasulullah.

Lalu bagaimana dengan kaum Syiah yang merayakan 10 Muharram dengan melukai diri sendiri? Berikut penuturannya.

Menurut Ihsan Ali Fauzi (2011) setidaknya ada 2 alasan kenapa kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib menjadi begitu penting. Pertama, di antara 12 Imam yang dipercayai oleh kaum Syiah, Husain adalah satu-satunya imam yang mati akibat klaim atas kekhalifahan melalui perlawanan senjata. Ini berbeda dengan imam lainnya yang mempertahankan politik Syiah dengan jalur konstitusional dan membuat kesepakatan untuk berdamai, serta ada pula yang memilih menjalani kehidupan ulama yang tentram dengan mengasingkan diri di tempat yang lebih aman.

Alasan kedua adalah karena unsur perjalanan kematian Husain menjadi daya tarik dan membakar semangat Syiah untuk melakukan perlawanan menentang tatanan politik yang mapan. Enayat berkata : Husain adalah satu-satunya Imam yang tragedinya dapat berfungsi sebagai unsur mitologi yang positif bagi kelompok Syiah mana saja yang militan dan sekaligus sedang ditindas.

Alasan lain menurut Gus Muwafiq (2018) karena Syiah mempunyai ikatan kekeluargaan dengan Sayyidina Husain. Keluarga Sayyidina Husain, Syiah tidak melakukan tindakan apapun maka kemudian mereka menyesali dengan melukai diri sendiri. Wujud kecintaan sekaligus penyesalan atas kelalaian mereka yang sangat mencintai keturunan Rasulullah saw.