Pertanyaan di balik, apakah syarat menjadi seorang Sahabat harus mampu ijtihad? Jawabannya tidak ada syarat itu. Sebab seorang Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dan beriman kepada Nabi. Tidak harus mampu ijtihad kepada Qur’an dan Hadis.
Justru kita temukan beberapa riwayat hadis tentang perintah Nabi untuk mengikuti Sahabat lain yang lebih ahli di bidang ilmu tertentu, misalnya bacaan dan ilmu Qur’an, sebagaimana hadis Sahih:
«ﺧﺬﻭا اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ – ﻓﺒﺪﺃ ﺑﻪ -، ﻭﺳﺎﻟﻢ، ﻣﻮﻟﻰ ﺃﺑﻲ ﺣﺬﻳﻔﺔ، ﻭﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ، ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ»
“Ambillah Al Qur’an dari 4 orang, Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz dan Ubay bin Ka’b” (HR Bukhari)
Bahkan di hadis lain para Sahabat diperintah untuk mengikuti 2 Sahabat agung sepeninggal Nabi:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ
تعليق الذهبي قي التلخيص : صحيح
Dari Hudzaifah, Nabi bersabda: “Ikutilah 2 orang setelahku, Abu Bakar dan Umar.” (HR al-Hakim) Adz-Dzahabi: “Sahih”.
Sahabat Ijtihad
Kalau ada yang membantah bahwa Nabi mengizinkan Sahahat Muadz bin Jabal untuk ijtihad. Ya betul. Tapi perlu diketahui bahwa Sahabat Muadz ini sudah masuk kategori Sahabat yang memiliki kemampuan untuk ijtihad, sebab Nabi bersabda:
ﻭﺃﻓﺮﺿﻬﻢ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻭﺃﻗﺮﺅﻫﻢ ﺃﺑﻲ ﻭﺃﻋﻠﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺤﻼﻝ ﻭاﻟﺤﺮاﻡ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ (ﻋ) ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ.
“Paling ahli ilmu waris dari umatku adalah Zaid bin tsabit, paling ahli Al Qur’an adalah Ubay bin Ka’b dan paling mengeri halal dan haram adalah Muadz bin Jabal” (HR Abu Ya’la dari Ibnu Umar).
Dan tidak ada dalil untuk semua Sahabat diharuskan ijtihad sendiri-sendiri langsung ke Qur’an dan Hadis.
Di masa Sayidina Umar pun, beliau masih memerintahkan untuk mengikuti para Sahabat yang memiliki kemampuan ijtihad, seperti dalam riwayat berikut:
عَنِ الشَّعْبِىِّ قَالَ : كَتَبَ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى شُرَيْحٍ إِذَا أَتَاكَ أَمْرٌ فِى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاقْضِ بِهِ وَلاَ يَلْفِتَنَّكَ الرِّجَالُ عَنْهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللَّهِ وَكَانَ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاقْضِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللَّهِ وَلاَ فِى سُنَّةِ رَسُولِهِ فَاقْضِ بِمَا قَضَى بِهِ أَئِمَّةُ الْهُدَى
Umar menulis surat kepada Syuraih (Tabiin, seorang Qadhi. Wafat 78 H): “Jika ada masalah, maka jawablah dengan al-Quran. Jika tidak ada maka dengan sunah Nabi. Jika tidak ada, maka putuskanlah dengan pendapat para imam yang dapat hidayah.” (Sunan al-Baihaqi)
Bahkan metode ini berlanjut ke masa Tabiin. Imam Aly bin Abdillah Al-Madiniy (w.234 H) dalam kitab Al-Ilal meriwayatkan perkataan Masruq :
لَمْ يَكُنْ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم من لَهُ صُحْبَة يَذْهَبُونَ مَذْهَبَهُ وَيُفْتُونَ بِفَتْوَاهُ وَيَسْلُكُونَ طَرِيقَتَهُ إِلَّا ثَلَاثَةٌ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ.
Tidaklah diantara para sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam yang memiliki murid-murid yang bermazhab dengan mazhabnya, dan berfatwa dengan fatwanya, dan menempuh metodenya
kecuali tiga sahabat, yakni: [1] Abdullah binMas’ud (di Kufah) [2] Zaid bin Tsabit (di Madinah) dan [3] Abdullah bin Abbas (di Makah).
Dari ketiga Sahabat yang dilanjutkan hingga Tabiin dan generasi sesudahnya hingga sampai kepada Imam-imam Mazhab. Jadi bermazhab memiliki mata rantai hingga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.