Penulisan mushaf dengan rasm Usmani sejatinya telah dilakukan sejak zaman Khalifah Usman bin Affan seiring dengan meluasnya Islam waktu itu. Alasannya cukup logis, yaitu munculnya polemik tentang perbedaan bacaan al-Quran yang mengundang tanda tanya di kalangan kaum Muslim sendiri, khususnya mereka yang tidak pernah mendengar bacaan Nabi Muhammad SAW secara langsung. Hanya saja, saat itu ilmu tentang rasm belum terbukukan.
Kemudian, para Ulama terdahulu berupaya untuk mencoba merumuskan kaidah-kaidah dari rasm tersebut, sebab mereka menilai bahwa ilmu rasm merupakan disiplin ilmu yang bisa dibilang cukup rumit dan pelik.
Ridwān al-Mukhallalātī dan ‘Alī Muḥammad al-Ḍabbā’ adalah di antara sekian banyak yang mengakui hal tersebut. Rasm sendiri bukanlah kaligrafi atau seni tulisan, melainkan bentuk tulisan huruf al-Quran tanpa menyertakan titik, harakat, maupun tanda baca. Sederhananya, rasm adalah batang huruf itu sendiri. Terlepas dari gaya font hurufnya.
Dalam sejarah pencetakan mushaf, Ṣubḥi Ṣāliḥ mengatakan, di antara yang pertama kali ditemukan adalah di Bandaqiyyah atau kota Venice, Italia pada tahun 1530 M. Namun, keberadaan mushaf tersebut tak diinginkan oleh penguasa gereja setempat hingga akhirnya dilenyapkan atas perintah Paus. Upaya pencetakan mushaf kemudian dilakukan oleh Abraham Hinkelman pada tahun 1694 M di Hamburg, Jerman, dan selang empat tahun kemudian diikuti oleh Ludovico Maracci di kota Padova, Italia. Hanya saja, ketiga cetakan tersebut tak banyak disebut dalam perkembangan sejarah dunia Islam.
Satu setengah abad berselang, muncul mushaf cetakan Saint Petersburg pada 1787 M atas perintah Tsarina Catherine atas disepakatinya perdamaian Küçük Kaynarca. Perjanjian ini dilakukan usai perang Rusia-Turki yang mengakibatkan jatuhnya sebagian wilayah Turki kepada Rusia. Perintah pencetakan ini dimaksudkan agar keturunan Muslim Turki dapat mengakses kitab suci dengan mudah.
Meski demikian, dari beberapa mushaf tersebut tak ada informasi yang menunjukkan detail mushafnya. Termasuk dari sisi rasm yang digunakan.
Memasuki abad 14 hijriah, muncul sekian banyak cetakan mushaf. Syaikh ‘Abd al-Fattāḥ al-Qāḍī mengatakan, dulu saat di Mesir dan negara-negara Timur mulai berkembang banyak percetakan, fokus mereka umumnya tertuju pada pencetakan mushaf al-Quran. Hal yang dilakukan penerbit adalah berlomba-lomba menerbitkan mushaf dengan tampilan dan inovasi seindah dan semenarik mungkin. Namun sayangnya mushaf-mushaf tersebut tidak mengikuti kaidah Usmani, melainkan menganut rasm Imlāʹī.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama, hingga kemudian muncul seorang Ulama dalam bidang rasm, yakni Ridwān al-Mukhallalātī (w. 1311 H/ 1893 M). Dalam sejarah pencetakan mushaf di kalangan Islam, Ṣubḥi Ṣāliḥ mengatakan, mushaf al-Mukhallalātī ini menjadi mushaf pertama yang dapat diterima oleh berbagai negara dalam hal kesesuaian penulisan dan tanda bacanya. Di bagian akhir mushaf ini disebutkan, penulisan tanda waqafnya mengikuti kaidah Zakariyyā al-Anṣārī sebagaimana dalam kitab al-Maqṣad yang meliputi enam huruf, yakni waqf kāfī (ك), waqf ḥasan (ح), waqf jāʹiz (ج), waqf ṣāliḥ (ص), waqf mafhūm (م), dan waqf tām (ت).
Sayang sekali mushaf yang dicetak pada tahun 1308 H/ 1890 M di percetakan al-Bahiyah milik Abu Zaid ini, kurang diminati karena tampilannya yang dinilai kurang menarik. Bahkan disebut juga karena kualitas yang buruk, baik kertas yang digunakan maupun hasil cetakannya. Tapi bagaimanapun, mushaf ini disebut-sebut sebagai mushaf paling dikenal dan cukup prestisius di masa awal abad 14 H.
Upaya menghasilkan cetakan mushaf yang berkualitas terus dilakukan. Pada tahun 1337 H/ 1918 M, para masyayikh al-Azhar Mesir membentuk sebuah lajnah atau panitia untuk mencetak mushaf dengan mengikuti qiraat ‘Āṣim bin Abī al-Najūd riwayat Ḥafṣ bin Sulaimān. Mushaf ini selanjutnya ditulis tangan oleh Muḥammad ‘Alī al-Husainī dengan dibantu tim yang terdiri dari Hifnī Naṣīf, Muṣṭafā ‘Anānī, dan Aḥmad al-Iskandarī.
Semua upaya ini memperoleh dukungan penuh dari Raja Fuad I, dan akhirnya dicetak secara massal pada tahun 1342 H/ 1923 M. Dalam cetakannya, mushaf yang dikenal dengan Mushaf Mesir atau Mushaf Raja Fuad I ini menggunakan enam tanda waqaf, yakni waqf lāzim (م), lā waqf fīh atau mamnū’ al-waqf (لا), waqf jāʹiz (ج), al-waṣl al-aulā (صلي), al-waqf al-aulā (قلي), dan waqf mu’ānaqah (∴__∴).
Pada perkembangannya, hampir seluruh percetakan al-Quran di dunia Islam mengacu pada penulisan mushaf Mesir ini, seperti Irak, Suriah, dan Saudi Arabia. Termasuk di antaranya adalah Mushaf Madinah yang kemudian melakukan beberapa pengembangan dan penyesuaian.
Di Mesir, upaya terhadap pengembangan mushaf ini diteruskan oleh Syaikh ‘Alī Muḥammad al-Ḍabbā’ (w. 1376 H/ 1956 M), dan selanjutnya diserahkan kepada Majma’ Buhūṡ al-Islāmiyyah al-Azhar al-Syarīf (Lembaga Penelitian Islam al-Azhar) di bawah komando Syaikh ‘Abd al-Fattāḥ ‘Abd al-Ganī al-Qāḍī (w. 1403 H).
Mushaf inilah yang pada akhirnya menjadi tonggak baru mushaf al-Quran dengan rasm Usmani yang paling banyak diterima oleh umat Islam, yang umumnya dikenal dengan sebutan Muṣḥaf Ḥafṣ edisi Mesir tahun 1923 M.