Tahun 2017 baru saja berlalu. Sepanjang tahun itu, konflik telah menjadi pemandangan yang terus menerus meneror masyarakat di seantero dunia. Masyarakat terus merasa waswas dan khawatir terhadapat rentannya konflik seperti pembantaian etnis Rohingya, ketidakadilan politik di Palestina, hingga krisis terorisme yang tak hanya terjadi di Timur Tengah tetapi meluas ke dataran Eropa. Sementara di negeri ini, kekerasan telah menjadi bagian dari resistensi terhadap konflik kepentingan, yang ditandai dengan politisasi SARA, hingga pemberian label sesat terhadap keyakinan yang berbeda.
Siapapun yang memakai akal sehatnya akan berkesimpulan sama bahwa semua konflik yang berujung kekerasan merupakan perilaku yang tidak dibenarkan agama. Jika tidak kita hentikan dari sekarang, bisa jadi di masa yang akan datang, puluhan bahkan ratusan tahun mendatang, konflik kekerasan akan menjadi psiko-historis yang akan diwarisi kepada generasi mendatang. Tentu saja ini akan menjadi preseden buruk bagi generasi saat ini. Nah, tahun baru ini adalah momentum kelahiran kembali bagi kita. Ia menandai peralihan: dari masa lalu yang buruk ke masa depan yang baik dengan semangat perdamaian.
Sebenarnya, untuk mencari akar-akar perdamaian dalam Islam bukanlah sesuatu hal yang sulit, sebab kata Islam, yang berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman memiliki makna perdamaian dan penyelamatan. Dalam al-Qur’an disebutkan, menegakkan keadilan dan kedamaian adalah prinsip yang harus diutamakan. Begitu juga dalam sebuah hadis disebutkan, Islam yang paling utama (afdhal) adalah Islam yang senantiasa menebarkan perdamaian. Karena itu, melacak doktrin perdamaian dalam Islam adalah hal yang mudah.
Dalam aspek historis misalnya, perdamaian dalam Islam adalah sejarah yang cukup panjang. Ajaran perdamaian Islam telah mewujud dalam struktur kekuasaan berabad-abad. Sebab dalam sejarah kekuasaan Islam, utamanya pada dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ditemukan sejumlah orang-orang Yahudi dan Kristen yang menjadi bendahara, sekretaris, tim dokter bahkan penasihat raja. Artinya, dalam sistem kekuasaan sekalipun perdamaian harus diutamakan, karena tidak mungkin membangun tatanan masyarakat yang maju, adil dan sejahtera tanpa basis perdamaian yang kuat.
Masalah dan jalan keluar dari maraknya konflik dan aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini menurut penulis harus dimulai dari para juru ceramah, dai, kiai, ulama, dan pimpinan umat. Sebab, dalam struktur masyarakat ada dua kategori, yaitu yang ‘ditaati’ dan ‘menaati’, maka sistem yang berlaku adalah top down. Di sinilah komitmen para ulama untuk menebar perdamaian harus dilakukan, karena reformasi agama sesungguhnya adalah reformasi para pemimpinnya, yaitu reformasi ulama.
Yang menjadi problem adalah ketika justifikasi ulama atas problem sosial digali hanya melalui perspektif fikih yangketat yang cenderung hanya menghasilkan label halal-haram (hitam-putih). Akibatnya, banyak para pemuka agama yang gampang memberi label sesat, munafik dan kafir terhadap kelompok yang berbeda baik dalam agama, maupun pandangan politik. Dari sinilah problem muncul. Setiap stigma sesat itu melahirkan kebencian, dan kebencian bermetamorfosis menjadi konflik kekerasan.
Dalam hal ini, Muhammad Thahir bin Ashur dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah menggarisbawahi pentingnya menyelamatkan paradigma hukum dari sekedar perdebatan yang berkaitan dengan halal-haram menuju paradigma nilai-nilai luhur dalam Islam. Ia menggarisbawahi beberapa nilai penting seperti fitrah, persamaan, toleransi, dan kebebasan. Dengan paradigma itu, kampanye untuk mendorong tersebarnya gagasan perdamaian merupakan dakwah yang semestinya diprioritaskan.
Tak terkecuali partai politik yang merupakan lanskap dari publik harus menjadi teladan yang baik untuk membangun perdamaian, dan bukan justru menjadi provokator bagi aksi-aksi kekerasan. Jangan sampai muncul anggapan, negara yang sebagai besar penduduknya taat beragama, namun tak mampu meredam kekerasan. Justru sebaliknya, menjadikan kekerasan sebagai resistensi. Bahkan, tak jarang, kekerasan kerap mendapatkan justifikasi dari doktrin-doktrin keagamaan. Itu semua memberi bukti bahwa cara kita beragama tidak bisa menghasilkan apa-apa untuk melawan kedzoliman dan membumikan kedamaian.
Karena itulah, resolusi di tahun 2018 ini semestinya adalah suatu komitmen bersama untuk membumikan perdamaian dan menghentikan segala bentuk kekerasan. Bila kampanye Islam damai lantang, harapan untuk hidup damai masih tersedia di depan mata. Sebaliknya, bila kampanye tersebut lirih, bisa jadi masa depan bangsa ini gelap. Mudah-mudahan tahun 2018 dan seterusnya akan senantiasa cerah, secarah agama yang mengajarkan kepada kita perdamaian.