Dinamika hadis abad ke-21 mempertemukan persinggungan hadis dengan media baru, yaitu internet dan media sosial sebagai kepanjangannya. Pertautan hadis dan media sosial ini tentu perlu diapresiasi. Bagaimanapun wasiat luhur Kanjeng Nabi bisa semakin membumi. Namun, di sisi lain merebaknya model penyajian hadis yang cepat saji dan menguatnya pola penafsiran yang cenderung sewenang-wenang serta tidak memiliki otoritas keilmuan yang mapan melahirkan sesuatu yang ironi. Selain itu juga banyak sekali dijumpai fenomena-fenomena unik berkaitan dengan hadis-hadis Nabi yang tidak ditemukan di dunia nyata.
Latar belakang itulah yang membuat Miski Mudin menulis buku Islam Virtual: Diskursus Hadis, Otoritas, dan Dinamika Keberislaman di Media Sosial. Buku ini berangkat dari pengamatan panjang akan realitas yang eksis di media sosial terutama berkaitan dengan hadis-hadis Nabi.
Bagi Miski, semangat keberislaman yang menggebu di kalangan pengguna media sosial harus disertai dengan pemahaman yang matang akan teks-teks hadis. Di samping itu adanya sosok ‘agen’ yang mengunggah pemahaman tentang hadis dengan model dan metode yang tekstual. Hal inilah yang terkadang melahirkan pemahaman yang tertutup dan tunggal. Padahal sebagai sebuah teks, sudah mafhuh bagi kita bahwa hadis membuka ruang untuk dipahami secara beragama dengan tentu meninjau konteksnya.
Sebagai ahli hadis generasi muda, dalam buku ini Miski memotret fenomena transmisi-transformasi hadis dalam realitas maya. Dalam mengindetifikasi hadis di ruang virtual ia menemukan setidaknya beberapa bentuk dan model hadis. Pertama, digitalisasi literatur hadis dan programisasi. Kedua model hadis ini tentu memudahkan pengkaji. Melalui digitalisasi pengkaji hanya perlu mengunduh dari perangkatnya, tentu lebih efisien dari buku. Sementara melalui software hadis, pengkaji dimudahkan tidak hanya untuk menemukan matan hadis, namun juga dapat melacak perawi pertama hadis, perawi terakhir, para kodifikator, kualitas hadis, hingga halaman dan jilid berapa keberadaannya dalam kitab-kitab hadis. Namun, lagi-lagi model hadis ini biasanya diminati oleh mereka yang menguasai bahasa Arab. Jadi menggunakannya perlu kapasitas keilmuan bahasa serta ilmu hadis.
Kedua, yang menarik minat kajian Miski adalah maraknya fenomena hadis yang bertransmisi dan bertransformasi ke video dalam bentuk audioisasi dan visualisasi hadis berupa meme atau poster. Yang menjadi menarik, kedua model ini dapat kita jumpai di Facebook, Instragram, WhatsApp, Line, Blog, Twitter, Youtube, dan sebagainya.
Pergeseran Otoritas
Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah keterangan bahwa model hadis audiovisual dan visual dominan disampaikan oleh mereka yang tidak memiliki otoritas keilmuan untuk menafsirkan teks-teks agama yang selama ini dianggap sakral atau disampaikan oleh mereka yang punya otoritas keilmuan namun cenderung tekstualis dan ekstrimis. Singkatnya, otoritas pemahaman atas hadis di era media sosial ini mengalami pergeseran.
Dalam konteks komik dan meme hadis misalnya, penulisnya dapat disebut punya otoritas dalam memahami hadis. Ironinya kita sebagai konsumen tidak mengetahui kapasitas keilmuan dari pemilik akun. Jangankan tahu kapasitasnya, bahkan identitasnya pun kita tidak tahu. Sebagai follower kita dibutakan oleh banyaknya follower dan like akun-akun tersebut. Cukup mengejutkan juga Miski menarik kesimpulan jika dilihat dari genealogis pemikiran mereka memahami hadis merujuk pada ulama-ulama Arab Saudi, seperti Albani, Ibn ‘Utsaimin, Al-Fauzan dan beberapa tokoh yang berafiliasi ke paham Wahhabi. Mengenai genealogi pemahaman hadis ini senada dengan yang dituliskan oleh Nur Kholik Ridwan dalam Sejarah Lengkap Wahhabi.
Konten Hadis dalam Model Audiovisual dan Meme
Merebaknya dalil cepat saji ini juga turut mempengaruhi konten-konten dalam audiovisual dan meme hadis. Dalam bukunya, Miski tampak memperlihatkan ketertarikannya terhadap meme hadis. Konten atau pesan hadis yang kerap dikreasikan dan diformat semenarik mungkin. Adapun hadis-hadis tersebut berkutat tentang bid’ah, perintah memelihara jenggot, hadis-hadis tasyabbuh seperti larangan merayakan valentine, tahun baru, mengucapkan ulangtahun, serta hadis-hadis berkaitan dengan perempuan, seperti aurat perempuan, menghindari fitnah, perempuan di rumah saja, dan sebagainya. Mengenai konten hadis ini Miskin melakukan pembacaan hadis secara kritis serta memahami konteksnya. Tentu dengan ulasan-ulasan khas pengkaji hadis.
Akhirnya, fenomena meme hadis ini memang mencuat karena beberapa faktor, di antaranya keinginan untuk mempertegas identitas keberagamaan. Dalam konteks Islam, bisa disebut jika masih ada upaya mempertegas identitas pada aliran apa seseorang berafiliasi di tengah keberagaman aliran keagamaan. Termasuk eksisnya meme hadis dapat dijadikan indikasi sebagai upaya peneguhan identitas keberagamaan tertentu, sebagaimana kelompok anti-bid’ah.
Faktor lainnya, apalagi kalau bukan tentang ekspresi kesalehan. Pada dasarnya, kesalehan seseorang tidak bisa kita ukur hanya dengan postingan hadis. Namun, di dunia virtual, hal ini akan menjadi salah satu indikator kuat dan paling dominan.
Pada gilirannya, apakah hadis di hadapan media sosial masih otoritatif ataukah kian lebur sebagaimana otoritas-otoritas keagamaan lainnya?
DATA BUKU
Judul Buku : Islam Virtual: Diskursus Hadis, Otoritas, dan Dinamika Keberislaman di Media Sosial
Penulis : Miski Mudin
Penerbit : Bildung
Cetakan : 2019
Tebal : xxxii+244 halaman
ISBN : 978-623-7148-13-5