Ungkapan sejenis “takutlah hanya kepada Allah Swt, jangan takut virus Corona” secara hakikat tauhid jelas sahih. Hanya saja, tepat di detik yang sama, saya kira ia sungguh rawan menempiaskan gejala kecerobohan-kecerobohan yang mendalam secara tauhid, syariat, dan sosial. Mari cermatilah, telitilah, dan hati-hatilah.
Saya akan mengkajinya dengan merujuk pada babaran bernas Prof. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, Al-Mishbah, terhadap surat al-Hasyr ayat 23. Rangkaian ayat ini dimulai dari ayat sebelumnya, yakni 22, hingga ayat terakhir, yakni 24. Namun, dalam pemahaman saya, nampaknya akan lebih lengkap lagi bila rangkaian ayat tersebut ditarik dari ayat 18.
Ayat 18 bertutur tentang perintah Allah Swt kepada orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah Swt (sampai dikatakan dua kali dalam satu ayat), kemudian “hendaklah seseorang (kita) menjadikan apa yang telah terjadi (masa lalu) sebagai bahan evaluasi, introspeksi, muhasabah, demi masa depan yang lebih baik.”
Ayat 19 bertutur tentang peringatan jangan sampai kita menjadi golongan orang-orang yang melupakan Allah Swt (bisa akibat tidak introspektif, tidak mengambil pelajaran, kepada masa lalu tadi) dengan akibat Allah Swt akan melupakan kita. Orang yang berada di posisi demikian disebut kaum fasik.
Sebelum menukiki ungkapan-ungkapan luas di sosial media oleh sebagian kalangan yang mengibarkan panji-panji ketauhidan di hadapan pagebluk Corona ini, terlebih dahulu saya hendak menakiki sebuah riwayat dari atsar sahabat, yakni Umar bin Khattab. Atsar sahabat atau qaulus shahabah, sekadar untuk kita ketahui, merupakan salah satu dari sumber hukum Islam menurut ilmu Ushul Fiqh. Bahkan, di tangan Imam Malik yang hidup di Madinah, qaulus shahabah ditempatkan pada tangga yang sangat tinggi, dibanding kaidah-kaidah Ushul Fiqh lainnya.
Dalih Imam Malik sangat meyakinkan: “kehidupan para sahabat merupakan cermin paling jernih, dekat, dan otoritatif dengan praktik hidup Rasulullah Saw.”
Suatu hari saat menjabat khalifah, Umar bin Khattab berkunjung ke Syiria (Syam, Damaskus). Sebelum masuk kota, beliau dan rombongan disambut sejumlah umat Islam yang mengabarkan bahwa sedang terjadi pagebluk di dalam kota.
Umar bin Khattab lalu memutuskan untuk balik arah, pulang ke Madinah. Ia sempat ditanya sama orang-orang Damaskus dengan ungkapan yang sejenis dengan apa yang dikatakan sejumlah orang di sosial media kini: “Wahai Amirul mukminin, takutlah hanya kepada Allah Swt, apa pun takdir-Nya, itulah yang pasti terjadi, hidup dan mati….”
Umar bin Khattab menimpali bahwa keputusannya untuk menghindarkan risiko terinfeksi wabah di Damaskus itu merupakan jalan untuk mendapatkan takdir-Nya yang lain (the other fate) di hadapan kemungkinan takdir-Nya berupa paparan wabah jika terus memasuki kota.
Salah seorang sahabatnya, Abdurrahman bin ‘Auf, lalu mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika wabah itu terjadi di wilayahmu berada, maka janganlah meninggalkannya.”
Hadis tersebut ditashih oleh Imam Bukhari melalui riwayat Abdullah bin Amir. Status hadis bernada lockdown ini sahih.
Mari cerna dan renungkan mendalam catatan sejarah valid tersebut. Jika sejarah tersebut kita tarik kepada ayat 18 di atas, mafhumnya ialah hendaknya kita menjadikan atsar (tauladan) Umar bin Khattab tersebut sebagai bahan evaluasi dan introspeksi di hadapan pagebluk Corona hari ini. Jika terus ditarik kepada ayat 19, tujuannya tiada lain adalah agar kita tidak menjadi golongan orang-orang yang tidak introspektif hingga berisiko terdampak kemadharatan-kemadharatan paparan Corona tersebut. Ya, saya paham, mafhum ini tentu bisa dibantah.
Tetapi, sebelum dibantah di tengah jalan, mari lanjutkan dulu dengan mengulik paparan Prof. Quraish Shihab terhadap ayat selanjutnya, 23. Ayat ini berbunyi:
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Memaksa, Yang Maha Sombong. Maha Suci Allah dari segala apa yang mereka persekutukan.”
Agar singkat, mari berfokus saja pada tafsir al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa), al-Jabbar (Yang Maha Memaksa), dan al-Mutakabbir (Yang Maha Sombong).
Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Segalanya. Mutlak, secara tauhid, wajib kita meyakini. Ke-Maha-an Allah Swt menjadikan-Nya Maha Perkasa (al-Aziz). Itu artinya tiada selain-Nya yang benar-benar hakiki perkasa, termasuk kita.
Lalu, rentetannya, Dia Swt mampu betul untuk memaksakan apa saja terjadi atau tak terjadi, tanpa kecuali (al-Jabbar). Termasuk wabah Corona yang tak pernah kita bayangkan akan mengguncang dunia sedahsyat ini. Allah Swt lah yang menciptakan virus Corona, Allah Swt pulalah yang menjadikannya menyebar luas penuh ancaman mematikan begitu, pun Allah Swt jugalah yang bisa menghentikannya. Kapan pun, bagaimanapun jalannya kelak, itu mutlak menjadi keyakinan tauhid kita.
Lalu, terakhir, dengan segala Keperkasaan-Nya (al-Aziz) yang mampu Memaksa (al-Jabbar) apa saja, Allah Swt sangat berhak menyandang sifat Sombong (al-Mutakabbir). Masuk akal betul buat kita pahami kepantasan dan keniscayaan sifat tersebut semata bagi Allah Swt.
Tafsiran Prof. Quraish Shihab terhadap al-Mutakabbir ini sangat memikat hati. Beliau mengatakan bahwa kesombongan mengandung konsekuensi untuk selalu mengerek kewujudan dan kemampuan diri sembari meniadakan kewujudan dan kemampuan liyan. Kesombongan adalah menempatkan diri sendiri sebagai peniada bagi selainnya. Siapa pun dan apa pun itu.
Ketika definisi tersebut menjadi sifat Allah Swt, sungguhlah ia masuk akal, patut, dan memang niscaya bagi-Nya. Kita bisa memahami dan menerimanya tanpa ragu. Namun, ketika sifat tersebut diambil dan dipegang oleh manusia, siapa pun, bahkan seorang raja macam Fir’aun, ia sungguh sedang mengidap dua masalah serius.
Pertama, kebodohan.
Orang sombong adalah sebenar-benarnya orang bodoh yang bahkan untuk sekadar mengetahui bahwa dirinya selalu dhaif, lemah, nisbi, dan fana saja tak mampu. Mana ada seorang manusia, sehebat apa pun modal intern dan eksternnya, yang mampu benar-benar sejati perkasa dan memaksakan apa pun kepada siapa pun? Jelas tak ada.
Ketiadaan modal sejati ini seyogianya telah cukup untuk membuat kita menyadari bahwa kita tak pantas sama sekali untuk memanggul sifat sombong.
Kedua, kebebalan.
Pada dasarnya, sekecil apa pun sinyalnya, hati dan akal kita bisa memindai bahwa diri ini sungguh-sungguh tak perkasa, tak bisa memaksa, karenanya tak laik sombong. Pengakuan hati dan akal tersebut jika tak mampu mencegah diri untuk tak sombong, sangat patut ditahbis kebebalan.
Sekarang, mari takik korelasi tafsiran tersebut dengan kumandang pekik publik sejenis “takutlah hanya kepada Allah Swt, jangan takut Corona” itu.
Pada satu sisi, pekik tersebut mencerminkan kedalaman tauhid kepada ke-Maha-an Allah Swt. Al-An’am 162 mensinyalir: “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah untuk/milik Tuhan seru sekalian alam.”
Atau, pada al-Baqarah ayat 156 (ini ayat yang sangat sering kita ucapkan): “Ketika mereka ditimpa oleh suatu kejadian, mereka berkata: inna lillah wa inna ilaihi raji’un, sesungguhnya kami milik Allah Swt dan kepadaNya lah kami kembali.”
Jika benar murni demikian situasi rohani kita, pekik ini adalah keluhungan tauhid. Luar biasa. Saad bin Abi Waqash, sebagai tamsil pembanding, ketika memimpin pasukannya mengepung benteng musuh, ia berkirim surat tauhid kepada pimpinannya: “Hidup mati kami milik Allah Swt; dunia seisinya yang sangat kalian cintai itu tidaklah ada artinya bagi kami dibanding kerinduan kami kepada surgaNya Swt….”
Apa benar segempal itukah taqrir pekikan tersebut di hati? Silakan jawab sendiri, Allah Swt saksinya.
Bahkan jikapun benar sementereng itu hunjamannya di dalam hati, saya kira publikasi luas pekik-pekik tauhid tersebut tetap “bermasalah” pada aspek syariat dan sosialnya. Apalagi jika tak benar. Sontak ia makin ketindihan masalah serius secara tauhidnya.
Menyandarkan tricky-nya hal tersebut pada paparan Prof. Quraish Shihab di atas, kerawanan yang sangat pejal mendera diri kita ialah terjatuhnya hati kepada mengambil sifat al-Mutakabbir Allah Swt. Itu jelas bukan hak kita, tak pantas didaku manusia. Ini blas bukan hal sepele. Ini sungguh perkara istaqamu-nya tauhid di hati, bukan lagi lisan.
Kita yang mutlak fana, nisbi, dan dhaif ini, bagaimana logisnya berani meniadakan kemungkinan takdir terinfeksi virus Corona tersebut jika bukan karena adanya gejala kesombongan? Bukankah itu sepadan dengan menyombong di hadapan Allah Swt untuk menterjadikan paparan virus tersebut sebagai ketetapan-Nya? Bukankah itu artinya kita sedang mengerek wujud diri yang notabene dhaif dan fana ini sembari menenggelamkan Wujud Allah Swt yang Maha Kuasa? Dan seterusnya.
Di titik ini, berhati-hatilah.
Jangan sampai kita malah terjungkal pada ketakaburan, bukan ketauhidan. Jangan sampai kita malah sombong di saat memekikkan takbir keagungan-Nya. Periksalah saksama diri masing-masing dengan timbangan-timbangan akal, pikiran, ilmu, rasa, perasaan, dan nafsu diri dengan mendalam. Ini persoalan pertama.
Kedua, tak kekurangan ayat dalam al-Qur’an yang menyerukan kita untuk berikhtiar. Hadisnya pun ruah. Hadis riwayat Abdullah bin Amir di atas hanya satu di antaranya. Tentulah Anda juga pernah mendengar hadis Rasulullah Saw yang memerintahkan seorang Badui mengikat ontanya terlebih dahulu sebelum ditinggalkan dengan bertawakal kepada ketetapan Allah Swt yang nanti akan terjadi.
Here is an *Islamic perspective* on coronavirus.
Prophet Muhammad saw a man leave his camel w/ out tying it.
He asked: “Why don’t you tie your camel?” The man said: “I trust God.”
Muhammad replied: “Tie your camel, then trust in God.”
So yes, pray, but also use COMMON SENSE.
— Dr. Craig Considine (@CraigCons) March 21, 2020
Inilah ranah syariatnya.
Ketika Allah Swt memerintahkan kita untuk berikhtiar, wajib hukumnya bagi kita untuk patuh menjalankannya tanpa syarat. Tanpa bla-bla-bla, tanpa menye-menye, tanpa iyig. Bukankah ini sepelaminan saja dengan ayat yang menyeru kita untuk berdoa, maka wajib hukumnya bagi kita sebagai hamba untuk berdoa, memohon kepada-Nya, kendati jelas saja kita pun mafhum betapa Allah Swt Maha Mengetahui isi hati kita, hajat kita, walau tak dikatakan. Maka berikhtiar ya berikhtiar saja, berdoa ya berdoa saja, menjaga diri dari risiko paparan virus Corona ya menjaga diri saja.
Jika syariat-Nya ini tak dijalankan, sudah pasti kita telah melakukan suatu kesilapan. Kelak ia akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya.
Ketiga, virus Corona ini secara ilmu sains dinyatakan bisa menular dengan sangat luar biasa, sampai kepada perilaku sosial keseharian kita yang sangat sederhana, seperti bersalaman dan berbincang dengan orang lain.
Jika Anda mengabaikan rekomendasi ilmu otoritatif ini, dengan kilah tauhid bahwa Allah Swt lah penentu segala kejadian, lalu Anda ternyata menjadi barrier/carrier bagi terpaparnya orang lain, tanpa syak dapat dikatakan bahwa keabaian tersebut merupakan madharat kepada liyan, dan itu adalah kesalahan, dosa, cum maksiat. Perilaku tersebut jelas ada tanggung jawabnya kelak di pengadilan-Nya.
Pungkasan, saya ingin menambahkan satu poin refleksi di sini. Jumenengnya tauhid seyogianya kekar gempal di dalam hati belaka. Bukan sebaliknya, malah diproklamirkan, dirayakan, dikerek tinggi bagai kibar bendera, agar semua orang tahu.
Publikasi umbul-umbul tauhid di tengah pagebluk virus Corona yang menggemparkan ini sungguh sangat riskan dan hanya akan menjerembabkan kita kepada desir-desir gejala kesombongan rohani di satu sisi, plus di sisi lain melukai rasa aman dan nyaman orang lain, serta rawan melecut ketegangan dan konflik sosial. Bukankah, seluruh risiko tersebut mutlak madharat tanpa ragu? Dan, ya, menghindarkan madharat jelas wajib hukumnya.
Maka, mari renungkan. Semoga bermanfaat. Moga-moga Allah Swt senantiasa menjaga keselamatan kita semua, juga tauhid hakiki lillahi ta’ala di hati kita. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.
BACA JUGA Pagebluk Corona dan Ujian Ketauhidan Kita ATAU Artikel-artikel tentang Virus Corona lainnya