Ramadhan di Rumah Aja, Mari Cerita Tentang Luasnya Khazanah Mazhab Islam Kita (1)

Ramadhan di Rumah Aja, Mari Cerita Tentang Luasnya Khazanah Mazhab Islam Kita (1)

Seluruh bangunan mazhab yang ada, yang kita kenal dan ikuti maupun yang tak pernah kita ketahui, merupakan “buah lezat” dari kerahmatan Islam itu sendiri.

Ramadhan di Rumah Aja, Mari Cerita Tentang Luasnya Khazanah Mazhab Islam Kita (1)
Ini gambar ka’bah yang kosong karena Covid-19

Mazhab-mazhab yang kita ketahui dan warisi hari ini sungguhlah amat luas, bahkan dapat dikatakan tak terbatas. Saking banyaknya. Apa yang disebut mazhab tak semata terbatas pada urusan fiqh, bisa juga kalam, tasawuf, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Mazhab adalah pandangan-pandangan pemikiran atau hukum seorang ulama atau sekelompoknya yang sealiran, yang terus-menerus berkembang seiring waktu di tangan generasi-generasi penerusnya sejalan dengan makin luasnya ia dianut di suatu lingkungan masyarakat Islam. Karena ada unsur terakhir inilah, banyak pula mazhab yang tak pernah kita kenal, apalagi dipahami dan diikuti.

Sebaliknya, ada pula yang terus meluas luar biasa lintas bangsa dan negara, serta zaman. Di antara yang terakhir ini ialah mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan mazhab Hanbali. Keempat mazhab terkenal ini dikembangkan terus oleh generasi-generasinya, sehingga boleh jadi di dalamnya terjadi perubahan dan pergeseran bentuk hukum-hukumnya –tak lagi sama persis dengan fatwa induknya.

Imam Ghazali, misal, yang menganut Mazhab Syafii mengembangkan metode qiyash dengan cara yang berbeda dengan Imam Syafii sendiri yang menyamakan antara qiyash dan mafhum muwafaqah. Khazanah itulah yang kini kita kenal sebagai Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.

Penting untuk selalu kita genggam di awal dan pertama kali dalam menyelami kajian setamsil ini, bahwa seluruh bangunan mazhab yang ada, yang kita kenal dan ikuti maupun yang tak pernah kita ketahui, merupakan “buah lezat” dari kerahmatan Islam itu sendiri. Inilah di antara bukti nyata kemukjizatan al-Qur’an yang rahmatan lil ‘alamin, abadi sepanjang masa dan relavan diterapkan dalam setiap zaman dan tempat.

Secara teknis, penyokong kerahmatan ini ialah dominannya wujud ayat al-Qur’an (juga sunnah Rasulullah Saw) yang bersifat “tidak detail ala juknis” –di luar hal-hal peribadatan murni dan mutlak (mahdhah). Wujud tersebut menjadikan urgen usaha-usaha ijtihad yang terus-menerus dari para ulama, selaras dengan realitas zaman dan tempat masing-masing, hingga dihasilkan suatu petunjuk teknis untuk mengamalkannya.

Dengan kata lain, ijtihad–dalam istilah Buya Husein Muhammad—merupakan keniscayaan sejarah peradaban Islam yang tak bisa dihentikan oleh siapa pun. Tentu, ijtihad yang dimaksud bukanlah ijtihad asal-ijtihad, sesuka-suka, semena-mana, atau yang belakangan trend ijtihad sembarang-orang atau asal-tahu-satu-ayat. Tidak begitu.

Ini semata perihal ijtihad yang sungguh-sungguh lillahi ta’ala berdasar kompetensi keilmuan yang holistik, yang oleh Prof. Quraish Shihab dinyatakan sebagai “usaha sungguh-sungguh untuk menemukan hukum/tuntunan agama melalui dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah. Ini membuka peluang bagi lahirnya tuntunan baru. Dalam konteks ini dapat dicatat bahwa tuntunan agama yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (murni/ritual), maka ia harus diterima sebagaimana adanya. Sedangkan selebihnya, yakni yang bukan ibadah mahdhah, maka setiap tuntunan hendaknya dicari ‘illat (motivasinya, tujuannya, konteksnya).”

Terjalinnya secara intrinsik antara karakter sumber syariat Islam (al-Qur’an dan sunnah) dengan potensi kecerdasan dan keilmuan para ulama untuk menakwilannya bertemu pada sifat-sifat asasiah syariat Islam yang berskala Ilahiah (Ketuhanan) di satu sisi dan insaniyah (kemanusiaan, humanistik) di sisi lainnya. Luar biasalah buahnya –dalam rupa berjubel mazhab.

Begini petanya–saya nukil dari Prof. Quraish Shihab:

Pertama, rabbaniyah, ilahiyah, ketuhanan. Ini karakter pertama yang mesti selalu digenggam oleh siapa pun (tak terkecuali kaum awam) bahwa syariat Islam datang dari Allah Swt dengan sebenar-benarnya kebenaran. Keyakinan pertama ini hendaknya mengatasi segala apa pun, termasuk pengertian alamiah bahwa syariat Islam membutuhkan tafsir manusia agar bisa diejawantahkan secara dinamis. Tepat di posisi ini jugalah sangat terbukti paparan saya sebelumnya bahwa syariat Islam telah sempurna dengan sebenar-benarnya kesempurnaan. Mengatakan sebaliknya, syariat Islam tidak sempurna, dengan argumen apa pun, sungguh riskan bertabrakan dengan prinsip pertama dan utama ini.

Kedua, insaniyah, kemanusiaan. Syariat Islam ditujukan kepada manusia, diwajibkan untuk diamalkan oleh manusia, demi kemaslahatan manusia itu sendiri.

Catat tebal di sini: syariat bukanlah kepentingan Allah Swt. Allah Swt tak membutuhkan sama sekali peribadatan apa pun dari kita–dalam artian, kemahakuasaan Allah Swt toh takkan berkurang atau bertambah sedikitpun dengan kepatuhan semua manusia dan jin ataupun kemungkaran manusia dan jin seluruhnya, sejak awal penciptaan (begitu dikatakan dalam sebuah hadis Qudsi yang terkenal). Syariat Islam, dengan demikian, dapat kita nyatakan sebagai juluran Rahman Rahim Allah Swt kepada kita semua.

Ketiga, alamiyah, bersifat universal dan meliputi segala apa pun. Sugguh nyata tidak benarnya pernyataan bahwa syariat Islam tidaklah sempurna, bukan?

Jika benar syariat Islam tak universal, pastilah ada sebagian dalam ajaran Islam yang kini dinyatakan kadaluarsa, ahistoris, dan karenanya tak berharga lagi untuk diikuti. Mari bedakan antara kesempurnaan syariat Islam sebagai sumber hukum Islam dengan pentingnya ijtihad terhadap sumber-sumber syariat itu. Yang pertama adalah kebenaran mutlak, yang kedua adalah sarana penyokong belaka untuk mem-breakdown yang pertama hingga terejawantah secara juknisnya. Saya tak bosan-bosan mengatakan hal ini demi menjaga muru’ah dan tawadhu’ rohani kita kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.

Jangan kasar gebyah-uyah, bersikap logical fallacy, hanya dikarenakan tak menemukan ayat tentang demokrasi dalam al-Qur’an, lalu gegabah menyatakan al-Qur’an sungguh tidak sempurna. Tidak begitu “cara mainnya”.

Keempat, wasathiyah, moderasi. Sifat ajaran Islam ini mendorong kita untuk berpandangan dan bersikap “pertengahan” dalam menjalankan perintah-Nya. Sikap wasathiyah ini jangan disamakan dengan mencla-mencle. Tidak. Melainkan sebenar-benar kerahmatan dari Allah Swt.

Wasathiyah ialah bersikap akomodatif terhadap dua sisi yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan tetapi acap sekilas terpandang sebagai pertentangan. Misal, terhadap kehidupan akhirat kita harus memperjuangkannya karena itulah rumah sejati kita. Tetapi hal demikian juga kudu diiiringi dengan sikap akomodatif terhadap kehidupan dunia. Keduanya dirangkul bersamaan. Rasulullah Saw bersabda: “Bekerjaah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati besok dan bekerjalah untuk duniamu seakan engkau akan hidup selamanya.” Keduanya kudu dijalani dan diusahakan dengan semangat besar.

Begitupun tatkala kita berjuang untuk kesuksesan duniawi, ia direm dengan perintah zakat dan sedekah. Terlalu cinta dunia akan menjadikan kita serakah dan kikir. Sedekah mengatasi hal tersebut dengan menganjurkan mengeluarkan harta, tapi juga tidak sampai pada derajat habis-habisan atau keborosan luar biasa. Ihwal ukurannya, setiap kita tak mungkin disamakan. Maka tak boleh mengatakan siapa sedekah seratus ribu, pahalanya lebih rendah jauh dibanding mereka yang sedekah satu juta. Sebab keduanya memiliki kondisi ekonomi dan kebutuhan yang tak sama.

Prof. Qurash Shihab memberikan pandangan keren perihal ini: “Ketika pandangannya mengarah ke langit, kakinya harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajari umatnya agar meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi. Hasilnya adalah dunia dan akhirat dipandang satu kesatuan yang berkesinambungan.”

Begitu tamsilnya–dan tentu bisa diluaskan kepada seluruh aspek kehidupan kita, baik dalam peribadatan maupun mu’amalat.

Kelima, wudhuh, kejelasan. Ajaran Islam selaras dengan akal sehat. Sebab itu adalah fitrah agama, sekaligus fitrah manusia. Ketika agama mengajarkan tentang berbuat baik kepada tetangga, yang non muslim sekalipun, itu selaras betul dengan akal sehat kita dalam hidup bertetangga. Saking jelasnya perkara relasi positif ajaran Islam dan akal sehat ini, sampai-sampai bisa dikatakan dengan mantap bahwa “kiranya cukup dengan menggunakan akal sehat, itu niscaya selaras pula dengan syariat Islam”.

Tentu, penting kita bedakan antara ajaran yang langsung bisa dicerna akal dengan yang tidak bisa dijangkaunya. Apa-apa yang tidak bisa dicerna akal sehat tidak berarti lalu tidak benar. Ini prinsipnya. Ketika kita mengatakan akal sehat adalah rasionalitas, sewajibnya kita pun paham di detik tersebut bahwa rasionalitas juga berdampingan dengan suprarasionalitas. Bukan irasionalitas.

Begini contohnya. Apakah siksa kubur benar ada? Akal sehat tak bisa menjangkaunya dengan bukti-bukti empiris. Ketidakmampuan ini adalah suprarasionalitas, bukan irrasionalitas.  Bukti suprarasionalitasnya ialah ketiadaan bukti empiris dan rasional terhadap adanya siksa kubur juga tak pernah bisa diiringi dengan bukti empiris dan rasional perihal ketiadaan siksa kubur itu. Ketika al-Qur’an mengatakan ada siksa kubur, dikuatkan lagi oleh keterangan-keterangan Rasulullah Saw, itu adalah kebenaran yang wajib diimani. Soal jalannya menggunakan suprarasionalitas, inilah bukti keterbatasan jangkauan akal rasional manusia.

Bukti lainnya ialah bahwa indikator-indikator ke arah memang adanya siksa kubur itu bisa dinalar secara rasional melalui jalan-jalan lainnya. Misal, pertanyaan-pertanyaan rasional seputar keadilan dampak-dampak antara perbuatan-perbuatan baik versus perbuatan-perbuatan buruk. Justru menjadi sangat tak masuk akal bila kita mengatakan tidak akan ada dampak apa-apa bagi segala bentuk perbuatan manusia. Di mana letak adilnya bagi orang jahat selama hidupnya dibanding orang yang saleh selama hidupnya?

Adapun irrasionalitas merupakan hal-hal yang langsung bisa dibantah oleh akal sehat, rasionalitas. Misal, di malam buta yang gerimis, seseorang mengatakan terang sekali langit malam ini. Rasionalitas langsung membantahnya dengan kokoh dan bahkan empiris. Dari indikator-indikator lainnya yang rasional, tak ada ruang kemungkinan bagi kebenaran pernyataan tersebut. Maka itu sesuatu yang irrasional.

Jadi, tegasnya, akal sehat cum rasionalitas adalah satu kebenaran yang berjalan seiring dengan kemungkinan-kemungkinan suprarasional. Sementara irrasionalitas merupakan hal yang sebenar-benarnya tak masuk akal, sehingga tertolak begitu saja.

Kepada hal-hal yang suprarasional, sikap terbaik sang mukmin ialah mengimaninya. Selesai.

Keenam, ‘adamul kharj, meringankan, tidak menyiksa dan menyusahkan. Asas maslahat dalam syariat Islam berdampingan dengan asas menolak keburukan, madharat. Dengan sifat hakiki demikian, mustahil syariat Islam menisbatkan kesulitan, kesengsaraan, dan kesusahan bagi umatnya.

Mari perhatikan bahwa jumlah kewajiban ibadah amatlah sedikit dibanding seluruh aspek kehidupan manusia. Itupun masih diberikan berbagai jenjang keringanan dan kemudahan sesuai konteks keadaannya. Seseorang sedang melakukan perjalanan, boleh men-jama’ (menggabung) bahkan meng-qasar (meringkas) shalat wajibnya. Jika di bulan Ramadhan, safar (perjalanan) dan sakit pun bisa jadi sebab sahih tidak berpuasa dulu.

Bahkan, jika sedang ditimpa kedaruratan, hal yang mulanya haram pun boleh diambil untuk meyelamatkan diri. Selalu ada exit door dalam hukum Islam, bukan untuk tujuan disemena-semenakan, melainkan sebagai bagian dari rahmat Allah Swt kepada manusia.

Begitulah karakter-karakter pokok dalam syariat Islam. Dengan berdasar hal-hal prinsipil tersebut, masuk akal betul jika lantas lahirlah begitu banyak pandangan pemikiran dan hukum tentang suatu hal–bahkan bisa berdasar dalil yang sama.

Bersambung di sini