Kultum Ramadhan: Perihal Kesempurnaan Syariat Islam

Kultum Ramadhan: Perihal Kesempurnaan Syariat Islam

Apakah kesempurnaan syariat Islam, sebagaimana diisyaratkan surat al-Maidah ayat 3, memaksudkan segala aspek kehidupan umat muslim?

Kultum Ramadhan: Perihal Kesempurnaan Syariat Islam

Di Ramadhan ke-17 di tahun 2020 ini, yang lazimnya kita rayakan dengan luas melalui peringatan Nuzulul Qur’an, saya ingin menyajikan satu renungan penting yang sejak dulu menjadi salah satu diskusi panjang di antara para cendekiawan muslim. Yakni pertanyaan mendasar: apakah kesempurnaan syariat Islam –sebagaimana diisyaratkan surat al-Maidah ayat 3—memaksudkan meliputi segala aspek kehidupan muslim?

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama kamu dan telah Kucukupkan kepada kamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kamu.

Secara umum, di antara cendekiawan muslim terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini dan menyatakan bahwa syariat Islam telah benar-benar sempurna dalam artian yang sesungguhnya dalam menuntun dan mengatur kehidupan umat Islam. Sehingga wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk meyakini dan merujukkan perjalanan hidupnya hanya kepada syariat Islam.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan (saya kutip kalimat aslinya), begini:

“Ini adalah nikmat Allah Swt yang paling besar yang diberikan kepada umat ini (umat Islam), di mana Allah Swt telah memberi mereka agama yang sempurna sehingga tidak butuh kepada agama yang lain selain Islam, juga tidak butuh kepada Nabi yang lain selain Nabi mereka (Muhammad Saw). Oleh karena itu Allah Swt menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi, serta mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada hukum halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada hukum haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang telah beliau ajarkan dan syariatkan. Semua yang beliau beritakan adalah haq dan benar, tidak ada kedustaan dan kesalahan padanya, sebagaimana firman Allah Swt: ‘Telah Kusempurnakan kalimat Rabbmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil….’ (QS. Al-An’am 115). Yakni benar dalam berita-berita yang disampaikannya dan adil dalam segala perintah dan larangannya. Ketika Allah Swt telah menyempurnakan agama untuk mereka, maka sempurnalah nikmat. Untuk itu Allah Swt berfirman (QS. Al-Maidah 3), terimalah agama itu untuk kalian.  Sebab ia (Islam) adalah agama yang dicintai dan diridhai Allah Swt. Dia Swt utus Rasul Saw yang paling mulia untuk menyampaikannya dan Dia Swt turunkan bersamanya Saw kitabNya yang paling agung.”

Saya telah mengecek keterangan lengkap Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya terkait ayat tersebut dan tidak ada satu pun keterangan nyata atau sekadar indikasi yang mengisyaratkan kepada pernyataan “sempurna dengan tetapi atau dengan syarat”. Beliau berada di posisi syariat Islam adalah sempurna.

Sayyid Quthub dalam kitab Tafsir Fi Dzilalil Qur’an mengatakan bahwa yang dimaksud nikmat yang telah disempurnakan-Nya dan telah dicukupkan-Nya adalah agama Islam yang mencakup kesatuan ajaran yang lengkap, baik akidah, syariat, dan akhlak; merupakan satu kesatuan, baik yang berkaitan dengan pandangan soal ide dan keyakinan, syiar-syiar dan ibadah, halal dan haram, maupun yang berhubungan dengan ketentuan sosial.

Kini akan saya nukilkan dengan lengkap keterangan dari Prof. Quraish Shihab dalam kiab tafsirnya, Al-Mishbah. “At-Thabathaba’i dalam tafsirnya membahas perbedaan antara kata akmaltu yang diterjemahkan dengan Kusempurnakan dengan atmamtu yang diterjemahkan dengan Kucukupkan. Menurutnya, kata akmaltu digunakan untuk menggambarkan gabungan dari sekian banyak hal yang masing-masing sempurna dalam dalam satu wadah yang utuh, sedang atmamtu adalah menghimpun banyak hal yang belum sempurna sehingga dengan terhimpunnya ia menjadi sempurna. Ayat di atas menggambarkan kata akmaltu/Kusempurnakan untuk agama dan atmamtu/Kucukupkan untuk nikmat-nikmat.

Kita boleh bertanya mengapa untuk agama dinyatakan akmaltu dan untuk dikmat dinyatakan dengan atmamtu? Pemilihan akmaltu untuk agama memberi isyarat bahwa petunjuk-petunjuk agama yang beraneka-ragam itu kesemuanya, dan masing-masingnya, telah sempurna. Jangan duga petunjuk agama tentang shalat, zakat, nikah, jual beli, kewarisan, dan lain-lain mempunyai kekurangan. Tidak! Semua telah sempurna dan telah dihimpun dalam satu wadah yang dinamai din, yakni agama Islam.

Adapun nikmat, ia dicukupkan. Memang, banyak sekali nikmat Allah Swt, misalnya kesehatan, kekayaan, keturunan, kedudukan, dan lain-lain. Tapi jangan duga bahwa masing-masing secara berdiri sendiri telah sempurna. Kesemuanya, walau banyak, belmlah sempurna. Ia baru sempurna apabila dihimpun bersama dengan petunjuk-petunjuk agama. Petunjuk-petunjuk itulah yang jika digabungkan dengan aneka nikmat di atas menjadikan nikmat tersebut sempurna. Karena itu, jika Anda memperoleh kekayaan atau kesehatan, tanpa memperoleh petunjuk agama, nikmat itu –betapa pun banyakya—adalah nikmat yang masih kurang, belum cukup.”

Kedua, kelompok yang meyakini dan menyatakan bahwa kesempurnaan syariat Islam bukanlah dalam artian sebenar-benar meliputi segalanya. Faktanya, ada banyak hal yang tak dicakup al-Qur’an dan itulah medan ijtihad manusia untuk mengikhtiarkan hukumnya.

Narasi-narasi umum yang dibangun kalangan ini lazimnya sejenis ini:

“Kalimat tersebut (al-yauma akmaltu….) merupakan penggalan saja dari ayat sebelumnya yang berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib dan larangan untuk takut kepada orang kafir. Karena itulah, konteks ayat itu menimbulkan pertanyaan atas kata “sempurna”: apakah kesempurnaan itu berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan syariat Islam?

Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari Arafah saat Rasulullah Saw menunaikan ibadah haji (Wada’). Karena itulah sebagian ahli tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai shalat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap ptongan ayat ini turun saat Fathu Mekkah. Dengan demikian dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk takut kepada kaum kafir, penggalan ayat ‘kesempurnaan’ tersebut dibaca dengan makna, ‘Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian.’

Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah sempurna. Hal ini dikarenakan bahwa ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat al-Qur’an lain yang turun, seperti ayat berbicara tentang riba dan kalalah.”

Saya ingin memberikan komentar reflektif begini.

Memang terkesan sangat masuk akal untuk mengikuti pandangan kedua karena faktanya dalil-dalil syariat memang tak benar-benar secara sharih memuat dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat Islam –apalagi hingga akhir zaman—sehingga peran keilmuan dan kebudayaan umat Islam sendiri menjadi sangat penting untuk dibangun.

Ajukan satu pertanyaan saja di sini: “Bagaimana hukum internet menurut dalil syariat?”, seketika kita tahu bahwa tak ada dalil apa pun tentangnya.

Mari lanjutkan, plis jangan berhenti di sini.

Tetapi, tepat di detik yang sama, kita juga memahami bahwa argumen sejenis itu rawan masalah serius. Bagaimana tidak?

Ini bagaikan kita mengatakan dengan hasrat negasi sejak dini bahwa “ketiadaan dalil-dalil syariat” (sengaja saya beri tanda petik) yang meliputi segala aspek kehidupan umat Islam hingga hari ini saja, sebutlah perihal marketplace, vaksin, dan perawatan tubuh, membuktikan syariat Islam memang tidak sempurna. Bukankah logika kesempurnaan ialah meliputi segalanya dengan paripurna; sebaliknya, adanya ketidakparipurnaan dalam meliput segalanya adalah isyarat bagi ketidaksempurnaan?

Ketika kita mengatakan begitu, ia sontak menyeret pernyataan berikutnya bahwa syariat Islam ternyata sungguh tidak kafah, tidak paripurna; walhasil, logis dikatakan, syariat Islam berarti tidak meliputi segala kebutuhan umat dan tantangan zaman.

Jika demikian, kini mari renungkan: mau di kemanakan lantas keyakinan hakiki bahwa dzalikal kitabu la raiba fihi hudzan lilmuttaqin (itulah kitab al-Qur’an yang tiada keraguan sedikit pun di dalamnya sebagai petunjuk (hidup) bagi orang-orang yang bertakwa)?

Atau, mau ditaruh di manakah gerangan ayat wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin (Kami tidak mengutusmu (Wahai Muhammad Saw) kecuali sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam raya ini)?

Dan, mau didudukkan dengan cara apakah keyakinan pokok Ushul Fiqh bahwa syariat Islam shalih likulli zaman wa makan?

Narasi demikian juga rawan mengandung nibat-nisbat yang sensitif bertabrakan dengan esensi keimanan kepada al-Qur’an. Bagaimana mungkin kita menyatakan beriman tetapi di waktu yang sama atau kemudian kita menguarkan keraguan akan kemutlakan otoritasnya yang paripurna? Bukankah beriman nomor satu dan sejatinya adalah meyakini saja? Betul, cukup beriman saja. Lalu juga riskan bertentangan dengan surat al-Maidah ayat 3 dan al-An’am ayat 115 yang keduanya memuat kata akmaltu (sempurna) dengan bentuk fi’il madhi (lampau, artinya telah) dan tammat (juga berarti sempurna). Juga dengan surat Al-An’am ayat 36 (Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-kitab).

Berikutnya, dikhawatirkan ini akan menoktahkan efek psikologis di alam sadar kita bahwa karena syariat Islam memiliki sifat tak sempurna maka ia otomatis membuka konsekuensi logis berupa ruang-ruang luas seluasnya bagi usaha-usaha rasional menjawab persoalan-persoalan kehidupan (ijtihad) dengan posisi “lebih dulu” atau “mendahului” otoritas syariat Islam itu sendiri.

Situasi ini jelas tak sama dengan gerakan istinbath al-hukmi terhadap teks-teks syariat Islam dengan mendudukkan akal di belakang teks syariat (wahyu). Pada gaya pertama (akal didudukkan lebih dahulu), ia cenderung menarik kita kepada adanya kerawanan “pemaksaan rasionalisasi akal terhadap dalil syariat”. Jika benar demikian model ijtihadnya, bukankah ini kerawanan rohani berikutnya yang serius betul bagi integritas keimanan kita?

Mari renungkan dengan cermat, jeli, dan penuh kehati-hatian. Mencermati surat Ali Imran ayat 7 kiranya relevan di sini.

Dalam banyak tulisan dan kesempatan, saya telah mengatakan bahwa saya meyakini secara imani dan memahami secara rasional bahwa sungguh memang diperlukan ijtihad rasional terhadap sumber-sumber syariat Islam demi melahirkan bangunan hukum (fiqh) yang mampu menjawab realitas hidup umat dan tantanan zaman. Kepada fenomena perawatan tubuh, seyogianya ada fiqhnya. Kepada marketplace, seyogianya ada fiqhnya. Kepada demokrasi Pancasila, seyogianya ada fiqhnya. Semua hal memang harus ada fiqhnya demi senantiasa menaungi umat di bawah payung syariat Islam yang aplikatif.

Anda bayangkan bahwa seluruh bangunan fiqh yang karakternya dinamis sesuai dinamika zaman dan realitas umat bagaikan payung-payung yang amat banyak, berwarna-warni, dan terus bermunculan, bahkan yang kelak akan pula datang, dan keseluruhan payung itu dinaungi oleh semata langit luas bernama Syariat Islam.

Itu artinya seluruh bangunan fiqh, apa pun, yang diproduksi oleh ijtihad-ijtihad rasional yang tanpa henti dengan sendirinya menunjukkan dengan sifat jelas bahwa mereka tunduk kepada naugan langit syariat Islam itu. Itu artinya seluruh hal, aspek, dan realitas hidup manusia dilingkupi niscaya penuh oleh langit syariat Islam. Itu artinya payung syariat Islam adalah sebenar-benarnya kesempurnaan.

Sekali lagi, bukankah justru ini adalah kesempurnaan?

Apa yang saya metaforakan “langit luas syariat Islam” itu adalah asas keimanan yang tanpa perlu fafifu wajib kita iyakan. Ini yang paling pokok. Ini ushuliyah-nya.

“Pemilihan akmaltu untuk agama memberi isyarat bahwa petunjuk-petunjuk agama yang beraneka-ragam itu kesemuanya, dan masing-masingnya, telah sempurna. Jangan duga petunjuk agama tentang shalat, zakat, nikah, jual beli, kewarisan, dan lain-lain mempunyai kekurangan. Tidak! Semua telah sempurna dan telah dihimpun dalam satu wadah yang dinamai din, yakni agama Islam,” demikian tegas Prof. Quraish Shihab.

Jika sampai ada payung fiqh yang tidak bernaung di bawah langit syariat Islam, maka pertanyaanya ia sejatinya bersumber dari mana, merujuk ke mana, dan untuk apa diadakan jika kemudian mesti dijuluki fiqh atau hukum Islam? Mengapa tidak saja dijuluki “sesukaku” saja? Misalnya.

Saya memahami bahwa mekanisme lahirnya payung-payung fiqh itu benar-benar menuntut keterlibatan ilmu-ilmu pengetahuan yang luas. Tanpa fondasi ilmu dan rasionalitas yang kokoh, ia hanya akan menjelma payung yang jelek, bermasalah, tak layak pakai. Karenanya, wajib pula ada ruang luas ijtihad.

Akan tetapi, secara ontotogis, rasionalitas urgennya ruang luas bagi penggunaan ilmu-ilmu ilmiah dalam suatu metodologi yang rasional begitu tetap tidak relevan untuk dinyatakan sebagai bukti bagi ketidaksempurnaan syariat Islam. Sebab musykil bagi sebuah ijtihad serasional apa pun untuk tidak merujuk kepada sumber pokok syariat Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan sunnah. Jikapun ada yang dijalankan secara qiyashi kepada khazanah fiqh warisan para ulama terdahulu, karena misal tak diketemukan dalil yang sharih tentang perkara tersebut secara tekstualnya, tetaplah ia mesti diakui bahwa sumber qiyash itu pastilah merujuk kepada sumber pokok syariat Islam itu–yakni al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw.

Misal, ya.

Dikatakan bahwa kewajiban mendirikan negara Islam (khilafah) tidak terdapat ayat hukum dan hadis hukum secara terang, langsung dan tegas, serta berkuatan qath’i dalalah. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman ataupun interpretasi yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menolak kewajiban mendirikan negara Islam tidaklah berarti menolak syariat Islam.

Betul, memang begitu adanya, saya sepakat. Tidak ada dalil-dalil sharih tentang kewajiban menegakkan khilafah. Tetapi nyata adanya bahwa di dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw terdapat sejumlah keterangan yang mengandung pesan moral-etis perihal kepemimpinan dan hal-hal terkait. Ada lema syura (musyawarah), musawah (persamaan), ukhuwah (persaudaraan), tawazun (moderasi), kalimatun sawa’ (kesepakatan), syirkah (perserikatan), ra’iyyah (yang dipimpin, rakyat), ahlul halli wal aqdi, dan sebagainya. Seluruh lema itu tentulah merupakan rujukan syariat bagi setiap mujtahid dalam memformulasikan bangunan fiqhnya tentang kepemimpinan, pemerintahan. Tidak mengatakan syariat Islam menetapkan dengan terang bagaimana wujud khilafah Islamiyah adalah kesahihan yang saya amini benar; akan tetapi, hal ini tidak sahih sama sekali untuk dijadikan dalih bagi ketidaksempurnaan syariat Islam terkait tema tersebut. Saya pikir ini adalah dua hal yang telak berbeda, tak bisa diblurkan, karena sungguh rawan mempertaruhkan hal yang sangat ontologis pada keimanan dan keislaman kita.

Tamsil ini membuktikan kesempurnaan syariat Islam meliputi segalanya. Ihwal ada yang berbentuk qath’iyah dalalah sehingga tak lagi memerlukan tafsir manusia atau dzanniyah dalalah sehingga memerlukan tafsir manusia untuk diformulasikan juknisnya itu hal lainnya lagi. Sifat dzanniyah dalalah pada sebagian besar dalil syariat sama sekali bukanlah dalih logis untuk mengatakan syariat Islam tidaklah sempurna.

Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri mengatakan dengan lebih menukik: “Adanya dalil-dalil dzanni tidak bisa dikatakan sebagai syariat Islam mengandung ketidakpastian; sebab dalil-dalil dzanni pun jika telah dikelompokkan sedemikian rupa mengerucut jelas kepada kemuhkamatannya.”

Ibnu Taimiyah yang juga menyatakan jelas perihal peta qath’iyah dalalah dan dzanniyah dalalah dalam al-Qur’an menegaskan bahwa hukum Allah Swt (syariat Islam) terlandung di dalam keseluruh muhkamat dan mutasyabihat itu, dan semuanya adalah kepastian dan kebenaran yang mutlak. Ini juga menisbatkan pemahaman berikutnya bahwa tidaklah tawadhu’ bagi seorang mukmin untuk mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah golongan ayat yang tidak berkekuatan hukum tetap dan pasti, sehingga ia bisa ditarik ke mana-mana berdasar nalar ijtihadi yang tak terbatas, kendati memang ia “sekadar” berupa pesan-moral (moral-ethics dalam istilah Fazlur Rahman).

Ini sungguh merupakan hal asasiah yang seyogianya kita pahami bersama dengan sangat jernih dan tawadhu’. Dengan satu tujuan asasiah yang pula bersifat mutlak dalam konstruksi keimanan dan keislaman kita, yakni mengimani dengan paripurna syariat Islam ini sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah Swt dan RasulNya Saw dalam makna sebenar-benarnya sempurna dan paripurna.

Namun perlu berpagi-pagi saya jabarkan pula kepada pihak sebaliknya di titik tricky ini. Kepada kelompok yang meyakini dan mengatakan syariat Islam telah sempurna meliputi segalanya, seyogianya pula bersikap rasional dalam mencermati khazanah dalil-dalil syariat itu sendiri. Sisi yang bisa jadi masalah bagi kelompok ini ialah tatkala menutup mata terhadap pentingnya tafsir dan takwil rasional terhadap sumber-sumber syariat Islam. Ini hanya akan menjebak kita dalam penalaran sempit dan dangkal khas tesktualis yang nyata-nyata kebak kelemahan dan keterbatasan. Apalagi bila keyakinan tersebut telah dibingkai oleh vonis negasi kepada setiap usaha penafsiran terhadap dalil-dalil sebagai kelancangan mengutak-atik dan mengakal-akali kesucian dalil-dalil yang sempurna.

Mari bersikap tawadhu’ dan rasional sekaligus.

Mengimani kesempurnaan syariat Islam adalah wajib, bagian dari rukun iman, dan melakukan ijtihad-ijtihad yang berlandas keilmuan-keilmuan yang otoritatif dan moral bertanggung jawab adalah kebutuhan nyata umat Islam untuk menjawab dinamika perjalanan hidupnya, pada setiap tempat dan zaman masing-masing, hingga akhir zaman.

Imam Ghazali dalam kitabnya, Mujamu’ah Rasail, memberikan nasihat begini: “Jika ada seseorang alim yang mengatakan bahwa wudhu tidak wajib dalam menjalankan shalat berdasar kekokohan argumen rasionalnya, janganlah lantas pandangan ini menjadikannya menutup mata terhadap kemungkinan adanya nilai-nilai sunnah dalam amal wudhu tersebut yang diijtihadkan oleh ulama lainnya….”

Saya tercenung lama di hadapan nasihat ini. Bagaikan diusap kepala oleh beliau, saya menderaskan gumaman dalam hati: sebab al-Qur’an tak memuat ayat-ayat yang terang-terang menghukumi tentang twitter dan instagram, janganlah lantas pandangan ini menjadikan saya menutup mata terhadap adanya nilai-nilai moral-etik yang dikandung ayat-ayat al-Qur’an secara substantif perihal tata cara bergaul dengan orang lain–apalagi sampai mengatakan syariat Islam dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw tidaklah sempurna.

Selalu ada hal yang bisa kita jabarkan dan nyatakan secara rasional dengan berkilau akurat, tetapi pula selalu ada hal yang tak perlu kita jabarkan dan nyatakan atas dasar timbangan rasional semata. Ketawadhu’an bisa lebih arif di dalamnya.

BACA JUGA Kultum Ramadhan Lainnya di Sini