Kultum Ramadhan: Menjalankan Syariat Islam Semampunya, Bukan Seenaknya

Kultum Ramadhan: Menjalankan Syariat Islam Semampunya, Bukan Seenaknya

Kultum Ramadhan: Menjalankan Syariat Islam Semampunya, Bukan Seenaknya

Tidak ada keraguan bahwa syariat Allah Swt yang diperuntukkan (taklif) kepada manusia selain bertujuan untuk menata kehidupan manusia dalam kemaslahatan-kemaslahatan, juga disesuaikan dengan daya usaha dan kemampuan manusia itu sendiri. Surat al-Haj 77-78: “Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kalian menjadi orang-orang yang meraih kemenangan. Dan bersungguh-sungguhlah dalam (menuju) Allah Swt dengan sebenar-benarnya kesungguhan. Dia Swt telah memilihmu dan Dia Swt tidak menjadikan kepada kalian dalam urusan agama ini suatu kesempitan (kesulitan, keberatan).”

Ayat tersebut –bersama ayat-ayat setema yang amat banyak jumlahnya—menerangkan dengan sagat clear betapa muskil-lah ada bagian dari syariat Islam yang hanya akan memantik kerumitan, kerepotan, apalagi kemadharatan bagi hidup manusia (baik secara kemampuan melaksanakan maupun dampak bagi otentisitas kemanusianannya). Dalam ungkapan lugas Prof. Quraish Shihab, dikatakan bahwa beragama agama fitrah, yakni mengandung makna bahwa tidak ada satu pun petunjuk (kewajiban) agama (syariat Islam) yang bertentangan dengan jati diri dan naluri manusia untuk mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan kehidupan. Tentu, aspek kemudahan, kesederhanaan, dan kesenangan dalam melaksanakannya menjadi bagian dari keselarasan fitrah agama dan fitrah manusia itu.

Dengan nada bercanda, Mprop Picoez al-Kapithikani mengatakan, “Gusti Allah Swt itu tidaklah ‘gitu-gitu banget’ dalam membebankan suatu kewajiban kepada umat-Nya. Selalu ada jalan yang mudah dan memudahkan di dalamnya. Hanya seringnya manusia sajalah yang menjadikannya pelik, rumit, berat, dan bahkan berbahaya. Biasalah, perkara tafsir yang rumit dan pelik seiring dengan pelik dan rumitnya ia….”

Saya tertawa. Iya, betul, pada dasarnya Allah Swt hanya membebankan kewajiban syariat sesuai kemampuan manusia. Bahkan, antar orang saja bisa berbeda-beda. Bukankah itu merupakan rahmat agung dari Alah Swt kepada hamba-hambaNya, cermin nyata dari Maha Rahman dan Rahim-Nya? Ihwal hasilnya di mata Allah Swt, walau diyakini tak sama antara yang tinggi dan sedang amaliahnya, tentulah itu selalu menjadi rahasia-Nya.

La yukallifuLlahu nafsan illa wus’aha laha ma kasabat wa ‘alaiha maktasabat, Allah Swt tidak membebankan seseorang (kewajiban) kecuali sesuai kemampuannya, baginya apa yang dikerjakannya dan baginya (yang lain) apa yang dikerjakannya (QS. Al-Baqarah 286). Anda juga bisa mengecek langsung surat An-Nisa’ 28, Ali Imran 97, al-Baqarah 239, dll.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan)dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Maka kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya, dan bergembiralah (dengan pahala Allah Swt) dan bermohonlah pertolongan  (beribadahlah) kepadaNya di waktu pagi, petang, dan sebagian malam.” (HR. Bukhari).

Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd menuturkan (sebagai contoh) bahwa tidak selalu Rasulullah Saw menqasar (meringkas) shalatnya dalam setiap perjalanannya, tetapi pula tidak selalu beliau Saw menyempurnakan shalatnya dalam setiap perjalanannya. Kadang, beliau Sw menqasar, kadang lain menyempurnakan.

Hikmah dari praktik amaliah Rasulullah Saw ini kiranya bisa menjadi tuntunan nyata buat kita semua kini bahwa jika Anda sedang dalam perjalanan boleh saja bagi Anda untuk mengambil rukhsah (keringanan) dengan menqasar shalat, tetapi juga boleh bagi Anda untuk menyempurnakannya. Cara manapun yang Anda ambil, semuanya benar, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Soal yang mana yang lebih utama dan besar pahalanya, marilah semata mengatakan: waLlahu a’lam, Allah Swt lah yang Maha Lebih Tahu.

Prinsipnya, janganlah hanya berdasar nalar, lalu Anda menghakimi orang lain yang mengambil qasar sebagai kurang utama dan lebih kecil pahalanya dibanding Anda yang mengambil shalat sempurna macam biasanya. Sikap demikian sungguh tidak ada dasarnya sama sekali, malah rawan memicu rasa lebih baik cum sombong di dalam diri Anda (dan ini tercela) serta rawan menyakiti perasaan orang lain (dan ini pula tercela). Bukankah hanya akan menjadi kerugian yang nyata bila Anda masih saja mengambil sikap demikian itu?

Kita juga mendengar riwayat Rasulullah Saw perihal seseorang yang dikabari oleh beliau Saw bahwa Allah Swt mencintainya gara-gara ia senang membaca surat al-Ikhlas. Dalam kitab Sahih Bukhari, bab tauhid,  Sayyidah Aisyah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus seorang lelaki ke Syiria dan orang ini mengimami shalat rombongannya dengan sering membaca surat al-Ikhlas. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah Saw, hal itu dituturkan kepada beliau. Rasulullah Saw lalu bersabda, “Tanyakan kepadanya mengapa ia melakukan hal itu?” Maka ditanyakanlah. Dia berkata, “Karena surat al-Ikhlas itu adalah sifat Sang Rahmah dan aku suka membacanya.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Kalian beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Swt mencintainya.”

Lain waktu, ada riwayat lain perihal Mu’daz bin Jabal–beliau merupakan salah satu sahabat terkemuka sampai-sampai dijuluki sebagai ahli hukum Islam oleh Rasulullah Saw sendiri. Mu’adz dilaporkan oleh seseorang karena mengimami shalat dengan membaca surat al-Baqarah yang amat panjang.

Rasulullah Saw lalu menegur Mu’adz bin Jabal agar menyegerakan shalatnya bila sedang menjadi imam karena di belakangnya (makmum) ada berbagai jenis orang dengan kondisi, keperluan, dan kemampuannya.

Lalu ada riwayat dari Anas bin Malik. Beliau berkata,  “Ada tiga orang lelaki yang mendatangi istri-istri Rasulullah Saw untuk bertanya tentang ibadah beliau Saw. Saat mereka diberitahu, nampak mereka menganggapnya sedikit.

Lalu mereka berkata, “Bagaimana keadaan kami dibanding keadaan Nabi Saw yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.”

Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam selama-lamanya.”

Yang lain lalu berkata, “Saya akan berpuasa selama-lamanya dan tidak akan berbuka (atau tidak akan tidak berpuasa di siang hari).”

Yang satu lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita-wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.”

Kemudian datanglah Rasulullah Saw dan berkata kepada mereka, “Kalian yang berkata begini dan begitu, ketahuilah bahwa sesungguhnya akulah orang yang paling takut kepada Allah Swt dan paling bertakwa kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Maka siapa yang tak suka sunnahku, ia bukanlah bagian dari golonganku.” (HR. Bukhari Muslim).

Sampai di sini kiranya terang betullah betapa syariat Islam ini amatah mudah dan memudahkan, karenanya mestinya bisa pula diamalkan dengan senang dan menyenangkan dan gembira dan menggembirakan. Tanpa kesulitan, keberatan, maupun belenggu-belenggu kesusahan dan keterpaksaan. Wajar bila dikatakan betapa wajah sang mukmin –sebagaimana teladan Rasulullah Saw—adalah bassam (sumeh, murah senyum) dan bercahaya karena pancaran senang dan menyenangkan serta gembira dan menggembirakan tadi.

Umpama ada seseorang yang beriman dan berislam dengan cara pemahaman dan amaliah yang pelik, berat, menyulitkan, menyusahkan, dan melecutkan keterpaksaan-keterpaksaan, hingga wajahnya jadi tegang, kaku, saklek, tanda kurangnya bassam dan anwar dari wajahnya, cobalah renungkan ulang narasi-narasi di atas beserta rangkaian-rangkaian dalil dan tafsir-tafsirnya lebih jauh. Apalagi bila telah kebablasan kepada hak hidup dan beragama liyan yang Dia Swt nyata-nyata tak menghendaki semua manusia jadi satu iman, meletupkan usikan, kebencian, dan gangguan, perhatikanlah (mohon maaf) aura kegarangan dan kekelaman di wajahnya, betapa jauhnya cahaya rahmatan lil ‘alamin itu….

Namun begitu, pun berpagi-pagi kita sewajibnya memahami dengan fair bahwa makna dan maksud “Allah Swt tidak memberikan beban kewajiban melampaui kemampuan hamba-hambaNya” tidaklah sepadan dengan pengertian dan pemahaman kacau “seenak-enaknya, sesuka-sukanya, semau-maunya”. Itu sungguh dua hal yang jauh berbeda rohani dan esensinya.

Pasti sekali betapa beriman dan beribadah kepada Allah Swt haruslah dengan sepenuh totalitas. Itulah berislam dengan kaffah untuk menuju kepada hanifan musliman. Al-Baqarah ayat 208 mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam dengan kafah (holistik), dan janganlah kalian memperturutkan langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.”

Bila kafah dipahami sebagai totalitas hanifan muslimah (lurus dan berpasrah padaNya) dalam bertauhid (tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun) dan bertakwa (menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya), maka segala pemikiran dan perbuatan yang melanggar dua hal asasiah itu niscaya tergolong bagian dari langkah-langkah setan.

Apa yang dimaksud melanggar dalam konteks ini?

Kewajiban sebagai seorang mukmin ialah semata bertawajjuh kepada-Nya. Lalu kewajiban sebagai seorang muslim adalah mematuhi dan menjalankan semua rukun Islam tanpa kecuali. Plus memelihara dengan baik berbagai perkara terkait hak dan kewajiban antar-manusia. Selesai.

Ihwal bagaimana takaran tauhid itu, secara tauhid qashdi dan tauhid ittiba’i-nya (keyakinan dan mengikuti tuntutan Rasul-Nya Saw), sungguh antar-kita tak sama dan tak pernah saling tahu. Pokoknya beriman, bertauhid, bersyahadat, sudah. Berikutnya, biar diri setiap kita yang mengetahui, memperjuangkan, terus menyempurnakannya, lantas kelak Allah Swt lah yang memutuskan derajat kebenarannya.

Ihwal bagaimana takaran rukun Islam itu, secara lahiriah kita memang bisa melihat satu sama lainnya. Si A rajin shalat jamaah di masjid, si B telah berhaji dan rajin umrah, si C khusyuk betul di bulan Ramadhan, dan sebagainya, itu semua sudah cukup. Berikutnya, biar diri setiap kita yang mengetahui, memperjuangkan, terus menyempurnakannya, lantas kelak Allah Swt lah yang memutuskan derajat kebenarannya.

Tetapi sungguh musykil bagi setiap kita untuk mengetahui, apalagi menghakimi, takaran amal si A lebih baik dari si B, dan si C lebih tinggi dari si A namun lebih rendah dari si B. Bahkan kita tak bisa mengetahui kualitas amaliah diri sendiri di mata Allah Swt akan bernasib bagaimana: apakah diterima atau ditampik-Nya.

Bisa jadi seseorang rajin betul shalat jamaah di masjid plus sunnah dan puasa Senin Kamis, tetapi karena ia pelit kepada tetangganya yang miskin, Allah Swt tak mencintainya. Boleh jadi ada seorang ahli al-Qur’an, bahkan hafidz, yang tak dipandang oleh Allah Swt karena akhlaknya buruk kepada liyan. Dan boleh jadi ada seorang ahli ibadah, dari wajib sampai sunnah, yang secara sosial sangat terhormat, tetapi di mata Allah Swt tak terhormat sama sekali karena hatinya selalu merasa lebih baik daripada orang lain. Dan sebagainya, sebagainya.

Maka sungguh tak boleh mengatakan orang itu lebih rendah kualitas keimanan dan keislamannya dari tetangganya hanya karena penglihatan lahiriah kita kepada ilmu-ilmu dan amal-amal. Sungguh terlarang bagi siapa pun untuk menilai-nilai, apalagi menghakim-hakimi, urusan rohani dan amaliah orang. Bersibuklah menghisab diri sendiri sebelum kelak benar-benar dihisab, begitu nasihat Umar bin Khattab.

Saya kira narasi yang baik untuk kita pahami dan genggam bersama ialah kepada diri sendiri mari selalu berjuang keraslah untuk terus mengukuhkan iman dan takwa melalui pengembangan ilmu dan mengistiqamahi amaliah-amaliah salehah. Sekencangnya, semampunya, sekuatnya, dalam arti benar-benar berjuang. Inilah makna yang relevan begitu banyaknya kata “berjuanglah dengan sungguh-sungguh” dalam al-Qur’an, di antaranya ayat: “Dan bersungguh-sungguhlah dalam (menuju) Allah Swt dengan sebenar-benarnya kesungguhan” (QS. Al-Haj 78) dan ayat: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah Swt dan carilah washilah (jalan) menujuNya dan berjuanglah di jalaNya semoga kalian termasuk orang yang beruntung.” (QS. Al-Maidah 35).

Sebaliknya, kepada liyan, ke luar diri, seyogianya kita istiqamah untuk tidak merasa memiliki hak sama sekali untuk memaksakan bangunan pemahaman dan amaliah serupa yang kita pahami dan amalkan. Bukanlah pintu lebar seluasnya. Mengapa?

Pertama, jalan dan cara taqarub itu sungguh lebih luas dari samudera yang tiada batas (QS. Al-Kahfi 109). Kedua, Allah Swt lah yang Maha Mengetahui siapa yang paling baik dan benar jalan ilmu dan amalnya sehingga mendapatkan rahmat-Nya –sama sekali bukan hak kita (QS. Al-Baqarah 148; An-Nahl 9). Ketiga, di antara keragaman jalan beriman dan bertakwa itu, kita hanya diperintahkan olehNya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan hingga kelak kita semua diadiliNya (QS. Al-Maidah 48). Keempat, kita tak pernah tahu benar latar, kondisi, dan konteks hidup setiap orang lain. Tentu saja segala latar dan kondisi internal seseorang akan sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya, termasuk beriman dan bertakwanya. Kita hanya tepat untuk mengatakan, misal: “Siapa yang bersungguh-sungguh berusaha untuk mencari (keridhaan) Kami, maka sungguh akan Kami berikan petunjuk jalan-jalan Kami kepada mereka….

Maka seyogianya yang kemudian terekspresikan kepada liyan ialah semata rahmat, welas asih, cinta. Bukan paksaan, intimidasi, dan hegemoni. Umpama pun kita berposisi sebagai alim pendakwah, ber-amar ma’ruf nahi munkar, itu pun tak boleh melampui batas-batas kewenangan makruf selayaknya penyampai syariat-Nya dalam rupa kabar gembira (basyiran) maupun kabar peringatan (nadiran). Selebihnya, cukup doakanlah semoga semua kita senantiasa dihidayahi dan ditaufiki-Nya.

Jika Islam dijalankan dengan arah-arah demikian, niscaya kita akan menjelma individu yang kokoh ke dalam diri sendiri dan penuh rahmat ke luar diri, kepada liyan. Tak ada istilah “semampunya” kepada diri dalam lelaku iman dan takwa,  tetapi yang dipakai adalah “berjuang dengan sesungguh-sunguhnya perjuangan” (jahadu haqqa jihadih atau taqwaLlah haqqa tuqatih). Sebaliknya, kepada liyan, kita istiqamah menebar harapan dan optimisme cum rahmat Islam yang tentunya akan  produktif bila semata beraras pada hikmah (cinta, kebijaksanaan). Maka sampaikan kepada liyan bahwa Islam itu ringan dan meringankan, mudah dan memudahkan, senang dan menyenangkan, dan gembira dan menggembirakan.

Sama sekali bukan kegarangan….

Maka disebabkan rahmat dari Alah Swt lah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan lagi berhati kasar, tentuah mereka akan menjauhkan diri sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan buat mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusannya. Jika kemudian kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Al Imran 159).

Wallahu a’lam bish shawab.

BACA JUGA Kultum Ramadhan Lainnya di Sini