Kita patut bersyukur melihat banyaknya aksi solidaritas antar warga Indonesia mengecam tindakan terorisme yang terjadi di tanah air baru-baru ini. Mereka bergandengan tangan satu sama lain dengan menunjukkan simpatinya kepada para korban. Masyarakat dari berbagai kelompok bersatu menyerukan dan membuktikan diri bahwa mereka tidak gampang terpecah-belah. Ajakan untuk merekatkan kembali persaudaraan antar sesama manusia dan sesama bangsa Indonesia kembali menggema.
Rasa syukur dan optimis inilah yang patut kita jadikan bekal untuk menjalani Ramadhan di tahun ini. Suka-cita perlu kita bangkitkan sebagai bekal menjalankan ibadah puasa sambil merajut tali persaudaraan dan kemanusiaan kembali. Dengan harapan, perasaan campur aduk antara sedih, prihatin, marah karena peristiwa terorisme, bisa terobati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? Introspeksi adalah langkah awal untuk memperbaiki keadaan. Ramadhan adalah bulan yang baik untuk introspeksi (muhasabah) dengan dilandasi keikhlasan dan kejujuran.
Dari peristiwa terorisme yang terjadi, kita perlu jujur mengakui bahwa terorisme bisa berkembang di sini. Paham ini terbukti bisa merasuki siapa saja, membius akal sehat dan mencabut hati nurani seseorang yang sudah terkena hasutannya.
Sebagai umat Islam secara spontan hati kecil kita menyangkal bahwa para teroris itu bukan Islam. Agama kita mengajarkan perdamaian, tidak membenarkan kejahatan, melukai orang, apalagi pembunuhan. Namun kita juga tidak bisa mengelak bahwa para teroris itu mengaku beragama Islam. Mereka mendasarkan tindakannya berdasarkan doktrin agama yang dianut.
Dengan berintrospeksi kita sadar bahwa virus kebencian yang akut bisa mendorong orang menjadi teroris. Orang yang telah diselimuti pandangan kebencian menjadi hilang akal sehatnya dan tertutup hati nuraninya. Pada titik yang paling ekstrem, kebencian itu telah menghapuskan sisi kemanusiaan manusia.
Lihatlah para teroris itu, kebencian yang mereka idap telah menjauhkan mereka dari keluarga dan orang tua, menutup diri dari lingkungan tetangga. Lebih mengikuti khayalan tentang surga, mereka rela bunuh diri, bersama anak-anak yang masih balita. Tidak peduli tindakannya menelan banyak korban.
Oleh karena itu, kita tidak bisa lagi membiarkan agama Islam yang kita anut tampil dengan wajah kebencian. Agama perlu dijalankan dengan kasih-sayang. Pandangan sempit yang melihat dunia hanya terbagi dua kelompok, yakni teman dan musuh, perlu diluruskan. Apalagi akhir-akhir ini ajakan untuk bermusuhan sering dibungkus dengan mengatasnamakan agama, sehingga kita perlu hati-hati menyikapinya.
Sebagai kaum beriman kita perlu mawas diri bahwa hidup yang penuh warna-warni adalah ujian untuk saling mengenal, memahami, dan mendewasakan. Perbedaan di antara manusia adalah rahmat yang tidak layak disangkal.
Selain bulan untuk melakukan introspeksi, Ramadhan adalah momentum yang baik untuk belajar mendalami dan memperkaya ilmu. Manfaatkan bulan puasa untuk lebih memperkaya pengetahuan agama dengan belajar kepada kyai, guru atau ustadz yang memiliki otoritas keilmuan. Sebab belakangan ini banyak orang yang sebenarnya kurang secara ilmu tapi sudah berani tampil menjadi ustadz, dan enggan untuk belajar lagi.
Malapetaka bermula ketika orang yang dianggap alim keliru dan diikuti banyak orang, sehingga menyesatkan mereka. Di dalam Mu’jam al-Amtsal, Syeikh Ahmad bin Muhammad al-Maidani mengingatkan:
إذا زل العالم زل بزلته عالم
“Jika seorang Alim keliru maka alam ini juga akan ikut keliru disebabkan kekeliruannya”
Mengenai keilmuan seseorang, Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi juga pernah menyampaikan ilustrasi yang layak direnungkan:
“Manusia itu ada empat macam: pertama, seorang yang tahu dan tahu kalau dia tahu, orang tersebut adalah orang alim (berilmu), maka ikutilah. Kedua, orang yang tahu tetapi dia tidak tahu kalau sebenarnya dia tahu, yang seperti ini adalah orang lalai, maka ingatkanlah. Ketiga, seorang yang tahu kalau dirinya tidak tahu maka dia adalah jahil (bodoh), maka ajarilah. keempat, orang yang tidak tahu dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, maka yang seperti ini adalah orang pandir, sebaiknya kita hindari.”
Karena itu kita perlu mengapresiasi umat Islam di Indonesia yang memiliki tradisi mengaji di bulan Ramadhan. Masyarakat umum bisa datang di pesantren atu majlis ta’lim untuk belajar agama dari sumber kitab-kitab keislaman langsung kepada kyai atau ustadz secara langsung. Tradisi ini masih bertahan sampai sekarang. Bahkan beberapa kyai atau ustadz sudah mulai menyiarkan dengan live streaming acara ngaji kitab melalui kanal facebook, sehingga bagi yang jaraknya jauh bisa mengikutinya.
Ramadhan juga momentum untuk mengasah kepekaan sosial dan mengembangkan sikap simpati kepada orang lain. Imam Syafi’i mengingatkan kita untuk selalu bersikap simpati kepada orang lain melalui kutipan syair berikut:
وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَة# وَلَكِنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي الْمَسَاوِياَ
Pandangan simpati dapat menutup segala cacat, sebaliknya pandangan benci menampakkan segala cacat (keburukan).
Di dalam Islam, sikap rendah hati (tawadlu’) bisa dilatih dengan cara memandang orang lain lebih baik dari diri sendiri sehingga kita perlu menaruh hormat dan tidak congkak. Jika kita melihat orang yang lebih tua, kita menganggap ilmu dan pengalamannya lebih kaya. Jika melihat orang yang lebih muda, kita melihat orang tersebut dosanya lebih sedikit sehingga tetap lebih baik dari diri kita sendiri.
Bersikap rendah hati berarti menghormati yang tua dan menyayangi yang lebih muda. Prinsip yang telah menjadi budaya masyarakat Indonesia secara turun-temurun. Dengan menumbuhkan simpati kepada orang lain, berarti kita sedang menjalankan nilai agama sekaligus menjunjung tinggi budaya bangsa tercinta.