Sewaktu saya menyantri di sana (Baca: Ramadan di Pesantren Tidak Menunggu Bedug Magrib Bagian 1) kitab fiqih-sufistik ini langsung diampu almaghrulah KH. Asyhari Marzuki. Sama dengan di Krapyak, animo untuk mengikuti pengajian tidak hanya datang dari santri tetap, tapi juga santri luar yang datang dari berbagai daerah.
Di Cirebon Jawa Barat, tepatnya di Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, saya mendengar di sana digelar kitab Kutubus Sittah (enam judul kitab hadits) secara ”estafet” saat Ramadan datang. Saya katakan secara estafet karena enam judul itu tidak dibaca semuanya dalam satu bulan, melainkan nyicil satu judul per Ramadhan.
Misalkan, Ramadan tahun ini dibaca Shahih Bukhori, Ramadlan tahun berikutnya Shahih Muslim, Ramadan setelahnya Sunan Nasai dan secara berturut turut, Sunan Trimidzi, Sunan Abu Daud, dan Sunan Ibnu Majjah.
Jadi, Kutubus Sittah baru selesai dibaca setelah melewati enam kali Ramadhan. Dan menginjak tahun ketujuh, akan dimulai dari awal lagi, Jami’ush Shahih Bukhori, Shahih Muslim, dan begitu seterusnya. Kutubus Sittah di-balah oleh KH. Ibnu Ubaidillah.
Pasar Kitab Kuning
Tiga tradisi pesantren saat Ramadan yang saya kisahkah hanyalah contoh kecil saja. Di pesantren lain, yang jumlah tidak kurang 25 ribu pesantren, di seluruh penjuru negeri ini juga berlangsung tradisi semacamnya, tentu dengan suguhan dan model yang beraneka ragam.
Kalau boleh saya menamakan, Ramadan di pesantren layaknya sebuah fesitival keagamaan dan kebudayaan sekaligus. Ya, Ramadan adalah semacam festival: Festival Kitab Kuning.
Di pesantren-pesantren Jawa, tradisi Ramadlan dikenal dengan sebutan Pasaran, Kilatan, atau Posonan. Mungkin karena situasinya seperti pasar, minus komersialisasi. Di pesantren saat Ramadan terdapat lapak-lapak atau warung-warung, berupa haloaqoh pengajian, yang menyajikan aneka jajanan atau barang-barang, berupa kitab-kitab kuning yang judulnya beraneka ragam.
Berbeda dengan festival kebanyakan yang terjadi di negeri ini yang tinggal rutinitas, rangkaian seremoni, tontonan/hiburan atau bahkan klangenan semata, dangkal, dan tidak lebih sebagai bagian dari ”pasar”.
Ramadan menjadi momen terjadinya persilangan budaya antarpesantren. Pesantren melepas para santrinya untuk pergi ke pesantren lain dan membebaskan santrinya memilih kajian kitab kuning yang dikehendakinya.
Pada saat yang sama, pesantren membuka diri untuk didatangi santri dari pesantren lain. Menjadi jelaslah, Ramadhan di pesantren tidak sekedar mengisi waktu luang, melainkan untuk memperdalam ilmu pengetahuan.
Menjadi jelas pula bahwa Ramadan di pesantren, bukan untuk menunggu bedug Maghrib, melainkan momentum untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu berjumpa, berbagi, belajar, secara dan sungguh-sungguh.
Pasar Kitab Kuning menawarkan kedalaman makna pada kehidupan beragama dan berbudaya di masyarakat Muslim Indonesia, lebih-lebih pada saat derasnya serangan budaya global, lengkap dengan hedonisme, individualisme, konsumerisme, dan rivalisme, seperti sekarang ini.
Tradisi Ramadlan di pesantren menjaga budaya yang mengedepankan substansi bukan seremoni, berbasis kebersamaan (berjamaah), bukan individualisme apalagi rivalitas, serta menggerakkan spiritualisme dan kesederhanaan yang produktif bagi kehidupan manusia, bukan hedonisme dan konsumerisme.
Akhirul kalam, selama menjalani sepuluh kali Ramadan di pesantren, saya berkesimpulan bahwa aktivitas-aktivitas Ramadlan di pesantren, dari pagi, siang, sore, hingga malam hari betul-betul memiliki ‘rasa’ yang tak ada bandingnya. Sekali lagi, Ramadan di pesantren tidak menunggu bedug Magrib. []
Hamzah Sahal, Pengurus PP RMI, aktif di NUTIZEN.