Ketika bulan suci datang, saya selalu diliputi rasa romantisme. Romantisme itu meliputi banyak hal, dari mulai perilaku atau sikap hingga suasana ”alam”. Misalnya, saya merasakan suhu udara di masjid-masjid atau di langgar-langgar, dan bahkan di pasar-pasar ”meningkat”. Atau saya dengan gembira berkumpul setelah shalat tarawih untuk tadarus. Atau saya ingat misalnya, saat Ramadan tiba, sebulan penuh saya tidur di masjid.
Saat tengah malam tiba, saya dan belasan teman berebut menabuh kentongan, membagikan waktu untuk warga. Dan tak lupa, ini yang agak aneh tapi nikmat sekaligus, Ramadan melahirkan makanan dan minuman khas. Romantisme semacam ini, saya kira telah menjadi ingatan kolektif bagi setiap Muslim di manapun berada.
Saat ini, romantisme tersebut telah mengalami komodifikasi, dijual di macam-macam media. Ramadan dalam ilustrasi seperti ini tampak seperti karnaval rutin, sebulan dalam setahun.
Dari segala suasana Ramadan di manapun yang pernah saya alami, yang paling mengesankan dan meninggalkan atsar (jejak) yang tak terlupakan bagi saya adalah suasana Ramadan di pesantren. Di pesantren, kebersamaan dan kesederhanaan, serta aktitivitas-aktivitas yang sarat makna, dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar slogan yang gegap-gempita. Di sana, ingatannya bukan saja pada sesuatu yang bersifat trivial seperti ilustrasi di atas. Ada apakah Ramadlan di pesantren?
Sewaktu saya mesantren di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta misalnya, saya merasakan suasana Ramadan yang lebih ngeh ketimbang di tempat manapun. Lampu di tempat-tempat pengajian menyala sampai tengah malam. Begitu juga lampu yang ada di bilik-bilik pesantren, hampir tidak ada yang mati. Di siang hari, suasana kesibukan dan ghirah para santri lebih terasa lagi.
Hal ini menandakan aktivitas pengajian atau kegiatan belajar mengajar meningkat tajam, baik pengajian umum yang diikuti belasan hingga ratusan santri ataupun tadarus Al-Quran atau muthola’ah kitab kuning yang bersifat individu. Kesan pertama saya menjalani Ramadan di pondok sangat melelahkan, tapi sekaligus merasa produktifitas saya sebagai santri mengingkat secara signifikan.
Suasana lain yang lebih menyegarkan lagi adalah banyaknya santri dari luar kota masuk ke Krapyak. Mereka datang dari Jakarta, Cirebon, Tegal, Purworejo, Kebumen, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Semarang, Solo, Kediri, dan kota-kota lain di Jawa, bahkan dari Madura.
Pertama kali saya menyangka kedatangan mereka untuk mendaftar dan kemudian menjadi santri dalam jangka waktu yang lama (menetap), tapi ternyata tidak. Mereka datang hanya untuk mengikuti pengajian selama Ramadan. Lebih khusus, kebanyakan dari mereka, mengikuti pengajian-pengajian di mana risalah-risalah almaghfurlah KH. Ali Maksum (Pengsuh Pondok Pesantren Krapyak setelah almaghfurlah KH. Munawir) dibaca.
Memang, tiap Ramadan pesantren Krapyak mem-balah (membaca) karya-karya Mbah Ali –begitu KH Ali Maksum biasa dipanggil- hingga khatam. Saya masih ingat, ada tiga judul risalah Mbah Ali yang populer dan saya pernah mengikuti pengajiannya, yaitu Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah, Risalah Shiyam, dan Jawami’ul Kalim.
”Ngalap berkah Mbah Ali,” begitu jawaban yang selalu saya dengar ketika ditanya apa tujuan ngaji Ramadlan di Krapyak.
Suasana yang sama saya rasakan ketika saya mesantren di Nurul Ummah, Yogyakarta. Berbeda dengan di Krapyak yang khas dengan risalah-risalah Mbah Ali Maksum, di pesantren yang berlokasi di Kotagede ini menggelar karya agungnya Imam Al-Ghozali, Ihya Ulumuddin. [bersambung]