Pulang kampung kali ini bagi saya terasa berbeda. Karena saya tidak lagi harus menempuh jarak ratusan kilometer Jakarta-Ponorogo dan menghabiskan waktu berjam-jam di dalam bis menikmati macet pantura. Tahun ini saya juga tidak hanya pulang kampung ke Ponorogo melainkan juga ke Sragen, tanah kelahiran istri saya. Tentu pulang kampung kali ini lebih istimewa dibanding tahun-tahun sebelumnya. Terlebih ini adalah lebaran pertama saya bersama istri.
Kembali ke Ponorogo adalah kembali ke masa kecil saya. Tempat di mana hari raya selalu disambut dengan perasaan syahdu dan penuh kegembiraan. Masjid samping rumah saya biasanya akan menyewa dua kereta kelinci untuk mengangkut jamaah menuju stadion tempat berlangsungnya salat Id. Keberadaan kereta kelinci tentu menjadi pemandangan unik. Sebab tidak ada jamaah masjid lain yang menggunakan kendaraan serupa. Kereta kelinci dipilih karena selain mampu menampung banyak jamaah juga untuk menampakkan semangat guyub rukun warga.
Selepas melaksanakan salat Id, warga berkumpul di masjid untuk melakukan halal bi halal. Ada sambutan dari takmir masjid dan sesepuh, lalu dilanjutkan dengan saling bersalaman dan bermaafan. Tak lupa nasi bungkus dibagikan seusai acara. Menunya sederhana tapi terasa khas dan nikmat: nasi kuning, perkedel kentang, kering tempe, irisan telur dadar dan suwiran ayam goreng. Makan bersama di masjid ini adalah bentuk ungkapan rasa gembira sekaligus syukur.
Di keluarga saya, di hari hari pertama lebaran, sebagaimana lazimnya keluarga lain, ada tradisi sungkeman. Pertama adalah sungkeman di keluarga kecil. Jadi saya dan adik-adik saya sungkem kepada kedua orang tua. Barulah kami akan pergi ke rumah nenek, di mana keluarga besar akan berkumpul. Setelah menikmati opor ayam di rumah nenek, barulah kami akan mengular untuk sungkem kepada kepada kakek-nenek dan bersalaman dengan seluruh anggota keluarga. Usai sungkeman menjadi saat yang dinanti oleh anak-anak kecil, karena mereka akan menerima uang lebaran atau sangu dari sanak saudara. Di momen inilah anak-anak kecil mersasa punya uang banyak dan bisa membeli apapun. Ketika saya kecil dulu, uang lebaran yang terkumpul saya belikan celengan harimau dari tanah liat yang dijual di pasar malam di alun-alun kota.
Kuliner
Kesempatan pulang kampung artinya juga merupakan kesempatan untuk icip-icip kuliner daerah yang tidak dijumpai di tempat lain. Hari pertama lebaran saya akan menjumpai ayam lodho di rumah saya. Masakan yang hampir mirip opor itu sebenarnya berasal dari Tulungagung tapi beberapa tahun terakhir ini orang tua saya selalu menjadikan ayam lodho sebagai sajian lebaran. Ayam lodho biasanya dinikmati dengan sego gurih hangat. Aroma dan rasa ayam lodho selalu membuat saya kangen suasana lebaran di kampung halaman.
Penganan yang hampir selalu saya temui di setiap rumah di kala lebaran adalah madumongso. Terbuat dari ketan dan berwarna hitam pekat, madumongso memiliki rasa manis legit. Biasanya madumongso dibungkus dengan kertas tipis warna-warni setelah sebelumnya dibungkus dengan plastik. Sayangnya, jajanan khas lebaran itu sudah mulai raib dari rumah-rumah, digantikan kue-kue yang lebih kekinian.
Ketika berada di Ponorogo tentu tidak lengkap rasanya jika kita tidak makan sate ayam, makanan khas Ponorogo. Sate ayam Ponorogo berbeda dengan sate ayam Madura dan sate ayam daerah lain. Perbedaan paling mencolok adalah dari segi ukuran daging dan bumbu yang digunakan.
Sate Ponorogo pada dasarnya memiliki dua “mazhab”. Yakni “mazhab” Gang Sate dan Setono. Gang Sate adalah suatu gang di kota Ponorogo yang penuh dengan penjual sate. Salah satu yang terkenal di Gang Sate adalah Sate Pak Sobikun. Warung satenya sudah dikunjungi banyak artis dan tokoh. Terlihat dari foto SBY, Jokowi dan pesohor lain yang terpajang di dinding warung. Ciri sate Ponorogo dari Gang Sate ini adalah dagingnya berukuran besar dan dipotong filet dengan bumbu kacang yang tak terlalu pedas. Sebaliknya, sate Ponorogo dari desa Setono berukuran lebih kecil dan bumbu kacangnya cukup pedas. Saya lebih suka sate Setono. Favorit saya adalah Sate Pak Keceng yang biasa mangkal di depan Sasana Praja, Ponorogo.
Sebetulnya masih banyak kuliner lain yang saya buru selama berada di Ponorogo untuk mengobati rasa kangen. Seperti nasi goreng merah (berwarna merah karena saus tomat, yang paling enak ada di Depot Maksih Jl. Jaksa Agung), petulo (Jl.Uripumoharjo), intip ketan (Jl. Pahlawan), es dawet gempol Barokah (Jl. Imam Bonjol), nasi pecel Mbok Rah (Jl. Soekarno Hatta) dan lain-lain.
Kuliner kampung halaman adalah penanda. Sesuatu yang membuat kita kembali. Lebaran merupakan momen terbaik untuk kembali fitri dan kembali icip-icip makanan khas daerah.
Selamat lebaran. Selamat kulineran.