Dalam wawancara yang dilakukan oleh Fox, Reza Aslan seorang akademisi dengan gelar Ph.D dengan pengalaman 20 tahun dalam studi tentang Yesus, berhadapan dengan reporter. Di sana kita bisa melihat bagaimana sebuah prasangka bekerja. Meski telah menjelaskan bahwa sebagai akademisi ia telah memiliki gelar di empat studi namun hal ini tak membuat reporter FOX menihilkan legitimasi akademi Aslan. Sebagai muslim convert, sebelumnya ia kristen, Reza dihakimi dianggap memiliki bias dalam penulisan buku terbarunya “Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth.”
Tapi apakah salah sebuah penghakiman?
Bagi saya penghakiman adalah hal yang sah dan wajar dengan syarat. Maksudnya apabila si reporter telah membaca dan memahami benar konteks buku tersebut, ia berhak untuk bertanya dan menyanggah konten dari klaim yang dibuat buku tersebut. Sayangnya, anda bisa lihat sendiri, baik si reporter atau orang-orang yang bertanya perihal konten buku Zealot bukan hanya tidak membaca, tapi malah meniadakan fakta bahwa Azlan adalah sejarawan profesional dengan pengalaman lebih dari dua dekade dan pengakuan akademik dalam studi New Testamen serta fasih dalam biblical Greek. Dalam banyak hal, saya percaya ini adalah sebuah gejala zaman kalatidha. Zaman dimana nalar dimatikan dan menghamba pada prasangka.
Gejala prasangka ini menggurita pada siapapun. Di Islam kita mengenal kaum takfiri yang taklid buta dan gemar mengkafirkan dengan dalil seadanya. Ada juga kaum pembenci yang mendakwa islam sebagai agama brutal, misoginis, anti toleran hanya dari satu dua ayat atau muslim yang ia temui. Belum lagi tuduhan kaum yang mengaku modern berpendidikan, yang menuduh Islam anti Hak Asasi Manusia hanya dari satu dua ijtihad yang dilakukan ulama, dengan menafikan keberadaan pengakuan hak Islam atas yang lain. Lantas bagaimana kita sebagai muslim menghadapi prasangka ini?
Dalam QS. al-Hujurat ayat 6 kita telah diberikan peringatan perihal ini. Bahwa “akan datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,” dalam hal ini ia bisa saja pendapat dan juga komentar, “maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Tapi seperti biasa ada baiknya kita memahami konteks turunnya ayat ini sebelum membuat konklusi cetek ala para bigot.
Ayat ini diturunkan setelah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang baik, yang berkisah tentang al-Haris bin Dlirar al-Kuza’I dari Suku al-Musthaliq. Saat itu al-Harus diminta Rasullullah untuk mengajak kabilahnya masuk islam, setelah menyatakan kesediaan dan kesanggupan Rasul meminta ia agar menarik zakat. Setelah zakat terkumpul al Haris menunggu utusan dari Mekkah yang sebelumnya memang diminta untuk datang mengambil zakat.
Namun karena utusan yang ditunggu tidak datang, al-Haris setelah berkonsultasi dengan para tetua Suku Al-Musthaliq memutuskan datang sendiri untuk mengantarkan zakat. Di perjalanan al-Walid, yang menjadi utusan Rasullullah melihat al-Harits. Karena prasangka yang kurang baik akhirnya al-Walid takut mengira al-Harits akan menyerang dirinya karena dendam masa lalu. Sesampainya di Mekkah al-Walid mengabarkan cerita palsu karena prasangka yang ia bikin. Akhirnya tentu kita ketahui bersama al-Haris datang dengan selamat dan al-Hujurat ayat 6 diturunkan.
Bahaya dari prasangka adalah kebencian. Ia lahir dari ketakutan karena kita malas mencari kebenaran di atasnya. Boleh jadi prasangka juga lahir dari pengetahuan yang sepotong-sepotong akan satu hal dan melahirkan penghakiman atas dalil tersebut. Islam tidak selamat dari hal ini. Saya meyakini bahwa sebagai Agama Islam sudah sempurna, namun pelaku dan tafsir akan ajarannya seringkali bopeng dan degil sehingga melahirkan wajah yang keji dan barbar.
Asy-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir menawarkan pemaknaan terhadap frasa fatabayyanu yang ada dalam Quran. Menurutnya tabayyun bermakna memeriksa dengan teliti. Ia juga menawarkan tafsir tatsabbut yang artinya tidak terburu-buru mengambil kesimpulan seraya melihat berita dan realitas yang ada sehingga jelas apa yang sesungguhnya terjadi. Jika setiap orang, tidak hanya muslim, berpegang teguh pada dua konsep ini niscaya kita tidak akan menemukan kebencian dan prasangka keji atas segala sesuatunya.
Gejala prasangka dan kejumudan iman yang menjangkiti muslim memang begitu parahnya. Sampai-sampai Muhammad Abduh, pemikir dan ulama muslim cemerlang asal Mesir, berkata dengan nada gelisah “Al-Islamu mahjubun bil-muslimin,” keimuliaan Islam ditutupi oleh perilaku oknum orang Islam itu sendiri. Lantas bagaimana cara kita menghadapi hal ini? Bukan hanya kepada kaum islam sendiri namun juga kaum non muslim dan kaum ateist.
Saya pribadi beranggapan bahwa hal pertama yang mesti dilakukan oleh Muslim adalah mengakui bahwa peradaban agama seringkali dibangun dengan darah. Bahwa dalam Quran juga Hadits ada ayat dan seruan yang tidak sesuai dengan konteks norma dan akal sehat hari ini. Untuk itu kita perlu mengenyampingkan ego dan mulai membuka diri pada diskusi sehat, bukan debat berdasarkan prasangka.
Islam hari ini memang telah dikooptasi oleh tafsir miring dari ulama-ulama yang tekstual dan anti perubahan. Golongan fundamentalis yang menganggap bahwa tafsir dan kontektualitas ayat serta hadits tidak boleh berubah dan harus pakem menurut pandangan mereka sendiri. Ulama-ulama macam ini yang membuat wajah islam menjadi kerdil dan terlihat garang. Tapi apakah kemudian Islam harus menanggung derita prasangka keji hanya dari satu atau sebuah kelompok dominan yang berkelakuan keji? Saya pikir tidak.
Untuk itu kita perlu melakukan perlawanan terhadap wajah marah Islam ini. Muhammad Al Faydl, pemikir muda NU dan mahasiswa paska sarjana Sorbone University, pernah dengan tegas menyerukan usaha perbaikan. “Agama perlu direbut dari orang-orang yang “merasa tahu” atas agama.” katanya dengan jeda, “Orang-orang yang “merasa mengerti” atas keinginan Tuhan terhadap nasib umat-Nya.” Dalam esai berjudul Mengawamkan Agama itu Al Faydl merasa sudah cukup bagi kaum muslimin untuk membiarkan para pendompleng agama ini mencatut nama mulia Islam.
Dalam usaha meluruskan prasangka ini ada baiknya kaum muslim berpegang pada usaha untuk berbagi pengetahuan, bukan masalah klaim kebenaran. Misalnya: ketika ada bigot atau non muslim yang bertanya bahwa wujud intoleransi islam adalah pada egoisme penggunaan pengeras suara ketika adzan. Kabarkanlah bahwa banyak ulama yang menentang hal ini. Bukan karena menganggap pengeras suara adalah bid’ah, ini tafsir cetek yang menghina nalar, namun lebih dari itu berdasarkan pada hadits Nabi la dlarara wa la dlirara fil Islam dalam Islam, tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain.
Allah sendiri berfirman dalam QS Annahl 16 ayat 125 yang berbunyi ”Dan, ajaklah mereka berdebat dengan cara yang baik.” Selain itu kita bisa belajar menjadi rendah hati dan mau belajar dari Imam Abu Hanafi. Ia dalam satu riwayat berkata pada muridnya “Ini adalah pendapatku terbaik yang kami temukan, dan bila ada orang lain yang bisa menemukan yang lebih baik lagi, maka ikutilah dia.” Keras kepala dan kebencian secara tendensius tak membawa apapun kecuali penderitaan itu sendiri.
Akhirnya prasangka hanyalah konstruksi. Ia lahir dari pengalaman yang terus menerus berulang sehingga alam bawah sadar kita menganggap hal itu adalah kebenaran. Sayangnya tidak semua orang punya keberanian untuk belajar dan mencari tahu. Kebanyakan dari kita adalah pemalas yang menyandarkan diri terhadap satu tafsir dan satu fragmen yang kita anggap benar. Semoga Allah melindungi kita dari kezaliman atas sesuatu yang tidak kita ketahui. Wallaahu ‘alam bish-shawab.