Dua minggu menjelang perhelatan Piala Dunia 2022, suasana parlemen PrancisĀ geger geden. Saat Carlos Martens Bilongo, anggota partai France Unbowed –partai berhaluan kiri–, menyampaikan pendapatnya terkait ratusan orang (baca: imigran) menyebrangi Laut Tengah dan berharap singgah di Prancis, tiba-tiba dari seberang ada salah satu anggota parlemen, Gregoire de Fournas menyela dan menyeletuk, begini:
“Mereka seharusnya kembali ke Afrika.”
Sontak, celetukan itu membuat Bilongo sedikit terhenyak dan selanjutnya gelombang ekspresi kemarahan dari sebagian besar anggota parlemen meletup. Mereka saling bersahut-sahutan dan intinya adalah cara yang dilakukan Founas, anggota partai National Rally mencoreng prinsip demokrasi dan nilai-nilai kesetaraan yang dianut Prancis.
Semenjak partai National Rally berhasil menguasai parlemen Prancis, Marine Le Pen beserta antek-anteknya, yang saat ini dipimpin oleh Jordan Barella, tak berhenti untuk mendengungkan glorifikasi kaum putih atas imigran, khususnya Afrika.
Prancis, Piala Dunia, dan Imigran
Kehadiran pesepak bola imigran di tubuh timnas Prancis sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Tujuh tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, negeri yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya itu menghelat Piala Dunia edisi ketiga pada 1938. Pada tahun itu pula, Indonesia berpartisipasi untuk kali pertama –meskipun pada saat itu menggunakan nama Hindia Belanda.
Raoul Diagne, yang mendapat julukan sebagai Laba-laba Hitam, berhasil menjadi bagian timnas Prancis yang kala itu mampu menembus babak perempat final. Ia lahir di Guyana-Prancis dan memiliki darah Senegal. Negara yang disebut terakhir berhasil mencetak sejarah dengan mengalahkan saudara tuanya di Piala Dunia 2002.
Selepas itu, gelombang imigran yang menjadi bagian timnas Prancis mengalami pasang surut. Puncaknya adalah ketika perang kemerdekaan Aljazair meletus antara tahun 50an hingga 60an. Dampaknya, beberapa pemain berdarah Aljazair yang bermukim di Prancis, dan salah satunya Rachid Mekhloufi.
Ia adalah salah satu pesepak bola yang sempat terpilih menjadi bagian dari skuad Prancis, tetapi ia lebih memilih pulang dan mengangkat senjata. Tentu saja, senjata yang digunakan adalah kaki-kakinya yang lebih memprioritaskan tanah asal dan tergabung dalam timnas bentukan National Liberation Front (NLF).
Nama Aljazair memang sangat lekat dan dekat bagi orang-orang Prancis. Selain Zinedine Zidane, fakta yang dapat terlihat adalah jumlah imigran terbesar di Prancis pada 2021: 887 ribu (Aljazair), 834,6 ribu (Maroko), 598,5 ribu (Portugal), dan 316,1 ribu (Tunisia). Kamu bisa lihat, tiga dari empat imigran berasal dari Afrika, khususnya Afrika Utara –wilayah yang kemudian dikenal sebagai Maghribi. Hal ini juga sekaligus menunjukkan betapa bersahabatnya Afrika sehingga layak disebut bagian dari Prancis.
Namun demikian, bagi sebagian masyarakat Prancis, Afrika adalah Afrika sedangkan Prancis adalah Prancis. Tengok saja sebuah film berjudul Days of Glory (2006) yang menampilkan peperangan antara Prancis dengan Jerman. Ada adegan unik dalam film itu saat pembagian ransum makanan. Hanya tentara berkulit putih yang berhak mendapatkan potongan apel, sedangkan mereka yang berkulit hitam, tidak. Tentu saja, hal tersebut menyulut kemarahan dan tampak ada diskriminasi yang kentara.
Jika film adalah adegan yang telah tersusun dalam dialog dan diarahkan oleh sutradara, lain halnya dengan ucapan Trevor Noah, komika di sebuah acara Daily Show. Ia berkata, “Afrika telah memenangkan Piala Dunia.”
Konteksnya adalah 17 dari 23 pemain timnas Prancis adalah imigran, dan sebagian besar di antaranya, Afrika. Kalimat yang pasti memantik reaksi keras dari pejabat teras Prancis karena menganggap menihilkan nilai-nilai Prancis.
Celotehan, tindakan, atau perbuatan rasisme bukan sekali dua kali ditujukan kepada pemain-pemain timnas Prancis yang berlatar belakang imigran. Namun, akan lebih menyakitkan apabila mereka sudah kaum imigran, kemudian teridentifikasi muslim.
Benar bahwa Prancis adalah negara Eropa yang paling banyak memiliki umat muslim. Mereka di atas Jerman dan Belanda. Meskipun menempati posisi teratas, bukan berarti ramah terhadap umat muslim.
Pada 2020, tindakan (baca: kasus) yang menyatakan anti-Muslim meningkat. Jika sebelumnya hanya berjumlah 154 pada 2019, pada tahun yang semestinya Covid-19 merebak dan menjadi 213 kasus.
Kasus tersebut bukannya perlu dikelola agar tidak meluas, malah semakin diperuncing oleh Emmanuel Macron. Pada 24 Agustus 2021, ia mencetuskan kebijakan yang pada intinya kelompok dan organisasi keagamaan harus menyesuaikan nilai-nilai Prancis.
Kebijakan tersebut menuai kecaman dam rotes yang tidak hanya dilakukan kelompok Muslim, melainkan juga Yahudi hingga Kristen Ortodoks. Sebab, jika mengutip pernyataan dari Jeremy Bentham tentang ruang panoptikon, tampak Prancis sedang mengimplementasikan hal tersebut. Anda boleh bebas berpendapat atau berekspresi apa pun namun di dalam ruang yang telah kami pantau dari segala penjuru.
Ini bukan sekali atau dua kali, Prancis mengeluarkan kebijakan serupa–meskipun sebelumnya lebih keras karena pada 2010 menerapkan UU Anti-Burqa. Namun, Prancis tetaplah Prancis. Mereka tetap ingin mempertahankan nilai Prancis–dengan glorifikasi kulit putih–meskipun banyak pertentangan sana-sini.
Malam ini, Prancis menghadapi raksasa Amerika Latin, Argentina dalam final Piala Dunia 2022. Kylian Mbappe, dan sebagian besar pemain Prancis, telah merasakan final pada edisi sebelumnya bahkan juara setelah menghempaskan Kroasia–yang kali ini berhasil menekuk Maroko pada perebutan juara ketiga di Piala Dunia 2022 tadi malam (17/12/2022).
Saya tidak akan kaget apabila Prancis memenangkan pertandingan tersebut dan akhirnya berhasil merengkuh trofi Piala Dunia untuk ketiga kalinya.
Namun, saya akan terkejut apabila Trevor Noah mengucapkan kalimat serupa seperti empat tahun lalu. Semestinya, lapangan sepak bola adalah tempat ketika mereka mampu mengeliminasi sebagian dari kekhawatiran mereka tentang situasi imigrasi dan status imigran mereka yang genting.