Refleksi Piala Dunia Qatar: Kontestasi Kelompok Arab di Indonesia Pasca Kemerdekaan

Refleksi Piala Dunia Qatar: Kontestasi Kelompok Arab di Indonesia Pasca Kemerdekaan

Refleksi Piala Dunia Qatar: Kontestasi Kelompok Arab di Indonesia Pasca Kemerdekaan

Terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 dengan segala isu-isu miring di awal ternyata semakin hari semakin memperlihatkan sisi baik. Pemerintah Qatar merasa tidak perlu mengeluarkan banyak statement melainkan cukup membiarkan masyarakat dunia merasakan sendiri pengalaman mereka bersama Qatar selama berada di sana. Selain merangkul orang-orang non-Arab, Piala Dunia Qatar 2022 juga menjadi titik tolak yang baik bagi persatuan bangsa Arab itu sendiri.

Mewujudkan persatuan bagi bangsa Arab sepertinya memang bukan sesuatu yang mudah. Sisi baiknya, hal itu menandakan bahwa mereka cukup berjarak dengan karakter primordial. Oleh karena itu perseteruan, pertandingan, dan atau kontestasi sangat mungkin terjadi di antara sesama mereka. Alih-alih loyal terhadap kesamaan sebagai orang Arab, pada beberapa kasus mereka cenderung lebih tunduk kepada ideologi dan kepentingan yang diyakini masing-masing.

Keturunan Arab di Indonesia juga mewarnai catatan kontestasi di antara bangsa Arab. Salah satunya terjadi pada tahun pertama pasca kemerdekaan Indonesia. Perseteruan itu tidak berlangsung dengan tembakan atau pertandingan sepak bola di lapangan, melainkan berbalas artikel di sebuah koran, harian Merdeka namanya. Duel itu adalah antara dua orang keturunan Arab, yakni Muhammad Alamudi dan Awod Alkasadi.

 

Belanda Ingin Merebut, Alamudi Menyambut

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memang sudah dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945, akan tetapi kenyataan itu tidak serta merta berjalan mulus. Terutama antara tahun 1945-1946, Republik Indonesia yang baru lahir masih dirintangi oleh masalah persatuan di kalangan elite politiknya. Beberapa elite politik berupaya untuk memiliki konstituennya sendiri. Kendati Sukarno dan Hatta telah terpilih sebagai pemimpin negara namun situasi tertentu pada akhir tahun 1945 membuat beberapa pihak merasa perlu tampil untuk menggalang dukungan dan legitimasi sebagai pemimpin Republik yang tepat.

Salah satu tokoh yang menurut George McTurnan Kahin (2013) dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia berupaya untuk menghimpun dukungan rakyat adalah Tan Malaka. Dalam upayanya itu, Tan Malaka disebut melakukan blusukan ke daerah-daerah. Walaupun pada akhirnya berhasil dihentikan oleh Soekarno. Oleh karena itu, periode antara 1945-1946 adalah masa-masa yang rapuh di mana kepemimpinan dan ke-Indonesiaan masih terus dipertanyakan. Hal itu diperparah dengan kedatangan Belanda yang diboncengi Sekutu dalam rangka “Pengamanan”.

Kedatangan Belanda untuk merecoki Kemerdekaan Indonesia dengan tawaran “kemerdekaan” di bawah Belanda adalah permasalahan baru, yang juga butuh dukungan. Dalam melancarkan aksinya, Belanda melibatkan agensi-agensi yang dianggap berpengaruh besar. Salah satu agensi Belanda adalah seorang tokoh keturunan Arab Surabaya yang bernama Muhammad Alamudi. Alamudi punya dua modal besar yakni latar belakang Arab dan sekaligus muslim pula.

 

“Ayat Allah” Jadi Dagangan Paling Laris

Dikutip dari harian Merdeka dengan judul Memperkosa Ajat Firman Allah yang terbit pada tanggal 29 Agustus 1946, dapat diketahui bahwa Alamudi telah berbicara dengan membawa ayat-ayat Allah sebagai “dagangan”-nya. Dia mengutip ayat-ayat tertentu dari Al-Quran sambil berbicara tentang keharusan memenuhi ajakan perundingan dengan Belanda.

Alamudi sendiri bukan seorang yang alim dalam urusan agama. Oleh karena itu untuk memperkuat argumentasinya dalam mendukung Belanda, dia membubuhkan legitimasi dari ulama atau kyai tertentu. Masyarakat awam tentu tidak akan mempertanyakan lebih lanjut terkait kapasitas Alamudi, sebab dia diselamatkan oleh identitas Arab dan muslim serta Ayat Al-Quran yang dikutipnya. Beruntung ada sosok Awod Alkasadi yang melawan dengan lantang Alamudi melalui tulisannya.

Awod Alkasadi menyatakan dengan tegas dalam harian yang dinukil di atas bahwa pernyataan Alamudi adalah fitnah dan tidak mewakili komunitas Arab-Indonesia. Alkasadi dengan semangat keIndonesiaan yang tinggi bahkan dengan segera melabeli Alamudi sebagai Warga Negara Belanda.

Sejatinya Alkasadi juga lebih berkonsentrasi kepada masyarakat keturunan Arab. Dia berupaya menjaga agar mereka tetap berada di belakang Indonesia dan tidak terpengaruh oleh Alamudi. Akan tetapi yang menarik adalah bagaimana Alamudi dan Alkasidi dapat meleburkan identitas Arabnya ke dalam nasionalisme yang lebih khusus. Kendatipun nasionalisme itu mendorong mereka ke dua kutub yang berbeda. (AN)