Politik Misoginis dan Seksis Mewarnai Pilkada 2024, Mau Maju kok Pikirannya Mundur Gitu

Politik Misoginis dan Seksis Mewarnai Pilkada 2024, Mau Maju kok Pikirannya Mundur Gitu

Politik Misoginis dan Seksis Mewarnai Pilkada 2024, Mau Maju kok Pikirannya Mundur Gitu

Pilkada tahun 2024 di depan mata dan para politisi yang ikut serta mewarnai kontestasi Pilkada sibuk untuk melakukan serangkaian kampanye  untuk mendongkrak simpati publik agar terpilih. Berbicara tentang kampanye, tentu ada banyak strategi yang dilakukan oleh para politisi

Di tengah merebaknya media baru yang memudahkan penyebaran informasi dan penggiringan opini terhadap suatu topik, baliho, spanduk yang terpampang di jalan raya masih menjadi salah satu upaya yang tidak pernah lepas oleh para politisi untuk berkampanye.

Ada fenomena yang membuat kita tidak habis pikir sebagai masyarakat. Sebuah spanduk besar yang terpampang di suatu jalan dengan foto calon pasangan bertuliskan “Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang).”

Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, arti tulisan itu adalah ‘Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria’.

Belum selesai dengan fenomena tersebut, Calon Wakil Gubernur Banten Dimyati Natakusumah menyebut perempuan jangan diberikan beban yang berat, salah satunya menjadi gubernur. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat debat perdana Pilkada Banten (16/10).

Dua fenomena di atas, setidaknya mengingatkan kita semua bahwa politik misoginis masih mewarnai Pilkada 2024. Ketika bicara demokrasi, seharusnya tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan.

Keterwakilan perempuan dalam politik, menjadi bagian dari proses perjalanan demokrasi yang berjalannya. Sebab tidak bisa dikatakan sebuah demokrasi, apabila masih ada peminggiran terhadap perempuan. Meski demikian, budaya misoginis dan seksis dalam politik ini tidak hanya terjadi di Indonesia.

Di Amerika Serikat, Nikki Haley, kandidat calon presiden dari Partai Republik, menngalami serangan seksis, mulai dari ketika mencalonkan diri, melaksanakan debat di stasisun telebisi, hingga pemilihan pendahuluan di New Hampshire. Penyerangan verbal yang kerap dialami oleh politisi perempuan, masih sering ditemukan dalam kontestasi politik. Padahal, pemerintah sudah jelas-jelas mendorong keterlibatan perempuan dalam politik. Budaya seksis dan misoginis semacam ini, tidak boleh dinormalisasi. Sebab akan berdampak terhadap bagaimana perilaku masyarakat dalam memilih pemimpin.

Kampanye di atas, sama sekali tidak melihat wilayah Jawa Timur, di mana semua calon gubernurnya adalah figur perempuan. Siapapun yang akan jadi pemimpin di Jawa Timur, tetap pemimpinnya adalah perempuan.

Sudah seharusnya budaya peminggiran perempuan, seksis semacam itu harus dihapuskan. Politisi-politisi yang masih menggunakan pendekatan misoginis dalam kampanye, berarti ia tidak memiliki celah lain untuk menjadi lawan yang sehat dalam politik.

Bicara Kemajuan, Kok Pikirannya Mundur?

Di Indonesia, keterlibatan peran perempuan dalam politik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup baik.

Berdasarkan hasil analisis Perludem, Anggota legislatif perempuan diperkirakan akan mencapai 128 dari 580 kursi atau setara 22,1 persen. Jumlah itu lebih tinggi 1,6 persen dari hasil Pemilu 2019, sebanyak 20,5%. Peningkatan ini bisa dilihat dari kebijakan affirmative action dengan metode zipper system. Metode tersebut bekerja dengan menempatkan nomor urut kandidat laki-laki selang-seling atau vis-a-vis dengan nomor urut kandidat perempuan.

Jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2004-2009 dengan kebijakan affirmative action tanpa metode zipper system, sebanyak 11,6 % perempuan yang ada di parlemen.

Data ini lebih sedikit dibandingkan dengan pemilu tahun 2009-2014, dimana terdapat 18% perempuan yang ada di parlemen. Artinya, pemerintah terus mendorong agar perempuan terlibat aktif dalam ranah politik untuk menjadi pemimpin masyarakat.

Meskipun belum mencapai target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, kesadaran tentang keterwakilan perempuan dalam politik, semakin meningkat seiring berjalannya waktu.

Tentu, ini harus didukung oleh lingkungan yang memiliki perspektif gender dan mendorong penuh terhadap pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik. Sayangnya, ini tidak dimiliki oleh semua politisi.

Artinya, jika calon pemimpinnya saja masih misoginis, bagaimana mau mengusung kemajuan, wong pikirannya saja masih terbelenggu oleh pikiran patriarkis (red:mundur).

Padahal, ada banyak topik yang bisa dikampanyekan, mulai dari pendidikan, ekonomi, kesejahteraan masyarakat, tapi kok, malah menyerang jenis kelamin. Bagaimana rakyat mau percaya terhadap perubahan dan kemajuan, sedangkan calon pemimpinnya tidak mendukung upaya pemerintah terhadap peningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik?

Pesan bagi para politisi yang masih misoginis, jangan berpikir memimpin masyarakat dahulu sebelum bisa berpikir inklusif dan berkemajuan.

Sebab ketika menjadi pemimpin di masa yang akan datang, kalian akan dihadapkan dengan segudang masalah kesehatan perempuan, angka stunting, pernikahan dini, kekerasan seksual, dan segudang masalah yang membutuhkan perspektif gender untuk bisa diselesaikan dengan ciamik. Teruntuk kita semua, mari menjadi bagian dari masyarakat yang mendukung terciptanya politik berperadaban dan berkemajuan.