Mei 2018 tampaknya menjadi bulan yang berat bagi bangsa ini. Bulan yang sarat ujian. Belum usai kesedihan kita atas wafatnya sejumlah polisi dalam kerusuhan di Mako Brimob, bom meledak di tiga gereja Surabaya. Berlanjut dengan sejumlah teror lain yang menyasar aparat kepolisian. Yang paling menyayat dari semua berita adalah soal diikutsertakannya anak kecil dalam aksi teror.
Ketika kabar tentang bom Surabaya memenuhi media sosial, saya sedang menjadi juri lomba pildacil. Lomba itu diadakan oleh mahasiswa KPI IAIN Surakarta. Saya menilai penampilan satu persatu peserta dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi saya senang menyaksikan potensi-potensi dakwah dari anak-anak usia belia. Tapi di sisi lain saya terbayang aksi teror meledakkan diri yang sungguh sukar diterima akal sehat: dengan mengajak anak kecil.
Saya cukup takjub melihat bakat anak-anak usia 8-12 tahun di lomba pildacil ini. Sebagian besar dari mereka tampil amat percaya diri, dengan berbagai macam gaya yang mampu mencuri perhatian. Ada yang membuka dan menutup ceramah dengan pantun, menyisipkan lagu di tengah ceramah juga gestur-gestur lucu yang menggemaskan. Ekspresi dan intonasi yang mereka tampilkan boleh dikatakan lumayan.
Saya kira, para dai-dai cilik inilah yang kelak meneruskan estafet dakwah di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, “kaderisasi dai” macam ini memang marak. Lebih-lebih setelah televisi memberikan panggung yang luas. Tidak berlebihan kiranya jika menyebut mereka sebagai generasi yang akan memberi warna bagi dunia dakwah di Indonesia dua puluh atau tiga puluh tahun lagi.
Permasalahnnya, dakwah seperti apa yang kelak akan mereka sampaikan? Tentu kita tak berharap ada dari mereka yang menjadi dai takfiri, yang gemar mengkafirkan dan menyudutkan kelompok lain yang tak sepaham. Peserta yang saya nilai penampilannya membawakan tema-tema “standar”, seperti berbakti pada orang tua, mencintai Alquran, dan madrasah Ramadan. Saat ini mereka masih berada di jalur yang lurus.
Harapan agar dai-dai cilik ini menjadi dai yang menyejukkan di kemudian hari adalah harapan kita semua. Saya merasa para orangtua dan guru punya peran penting membimbing para calon dai ini dengan memberikan pemahaman Islam ramah, agama yang memberi rahmat bagi semesta. Peran para panitia penyelenggara lomba pildacil juga tak kalah penting. Kiranya mereka bisa membuat lomba pildacil dengan tema toleransi, teladan Nabi SAW berinteraksi dengan non muslim, bhineka tunggal ika dan tema-tema lain yang sejenis.
Faktanya, belantika dakwah di Indonesia tidak sepi dari problem. Belum lama kita mendengar pro kontra soal ustad-ustad yang memberi ceramah di masjid Tarqiyah Taqwa milik Telkomsel. Sejumlah kalangan menganggap ada beberapa ustad pengisi yang dianggap kerap menyampaikan ceramah provokatif. Telkomsel seharusnya lebih selektif memilih ustad. Tentu berlawanan dengan tujuan dakwah jika malah mendatangkan ustad yang punya jejak rekam menyulut perpecahan.
Kita mencatat penolakan ustad semacam ini tidak sekali dua kali terjadi. Sebagian besar penolak merasa terganggu dengan isi ceramah yang keras, menjelek-jelekkan, dan memberi label buruk pada kelompok lain. Padahal, semestinya dakwah disampaikan dengan jalan yang baik, karena tujuan dakwah itu sendiri adalah kebaikan. Termasuk di dalamnya menggunakan kata-kata yang menyejukkan dan bukan sebaliknya.
Maka, penting kiranya untuk menyiapkan kader-kader dakwah dengan pemahaman Islam yang luas dan berperilaku terpuji. Bukankah menifestasi dari Islam adalah akhlak yang baik?
Pildacil (atau ajang pencarian bakat sejenis), sebagai ladang persemaian, seyogyanya mendapat perhatian kita. Masa depan umat ada di pundak mereka.