Perusakan Makam Kristen di Solo Adalah Bukti Praktik Intoleransi Usia Dini

Perusakan Makam Kristen di Solo Adalah Bukti Praktik Intoleransi Usia Dini

Perusakan Makam Kristen di Solo Adalah Bukti Praktik Intoleransi Usia Dini

Sebuah insiden yang diduga bakal menambah daftar panjang intoleransi terjadi lagi belum lama ini. Sebuah pemakaman umum dirusak oleh sekompi anak-anak, tepatnya di pemakaman umum Cemoro Kembar kelurahan Mojo, Pasar Kliwon Solo pada hari Rabu, 16/6.

Seperti yang dilansir Cnnindonesia.com, perusakan makam tersebut dilakukan oleh  sekitar 10 anak murid sebuah lembaga pendidikan di daerah setempat. Hasil pemeriksaan dan investigasi menyebutkan bahwa ada sekitar 12 makam yang mengalami kerusakan. Alasannya bisa dibilang norak, yaitu sentimen keimanan.

Yang mengejutkan adalah makam-makam yang rusak tersebut merupakan makam orang-orang Kristen yang dapat diidentifikasi melalui simbol salib yang hancurdi sekitar makam. Mirisnya, pelaku utama dari perusakan makam tersebut adalah anak-anak setingkat Sekolah Dasar (SD). Menurut data investigasi, anak-anak tersebut merupakan anak didik Kuttab Millah, sebuah lembaga belajar non-formal untuk anak-anak yang diasuh oleh Muhammad Wildan.

Banyak spekulasi mengenai motif dibalik perilaku anak-anak tersebut, namun motif paling masuk akal adalah benih-benih intoleransi pada benak anak-anak tersebut. Lembaga pendidikan sangat berperan dalam memupuk benih-benih itu pada anak didiknya. Kejadian ini tentu sangat memprihatinkan. Menurut psikologi pendidikan, anak-anak setara sekolah dasar berada pada fase pembentukan karakter. Pada usia ini, anak belajar untuk menemukan identitas dirinya. Dalam proses identifikasi inilah, seorang anak perlu mendapatkan bimbingan tentang apa yang dia perbuat dan apa yang dia katakan. Orang dan benda disekelilingnya tentu ikut membangun karakter pada dirinya karakter itu nantinya yang akan menjadi fondasi anak-anak untuk menjalani hidup di fase-fase berikutnya. Mirisnya, justru identitas diri anak-anak tersebut bertemu dengan pembimbing yang salah. Lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, justru menjadi mentor dan membentuk mereka menjadi individu yang antipati terhadap perbedaan.

Tentu kita ingat kasus Zakiah Aini, seorang mahasiswi terduga teroris dan simpatisan ISIS yang menyerang Mabes Polri atas nama jihad fi sabilillah April lalu. Ambisi Zakiah tersebut tentu tidak berdiri sendiri, guru-gurunya berhasil menanamkan paham intoleransi dalam diri Zakiah sehingga membentuk pribadi Zakiah yang berani melakukan tindakan ekstremisme. Hal ini hampir persis dengan anak-anak perusak makam di Solo, diseminasi nilai-nilai intoleransi sejak dini akan memberi pengaruh besar pada pola pikir dan tindakan anak-anak tersebut kelak ketika sudah dewasa dan mengenal lebih banyak warna.

Ada dua pihak yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak, orang tua di rumah dan guru di sekolah. Keduanya tentu mempunyai cara masing-masing dalam mendidik anaknya, namun nilai-nilai mendidik anak yang dilakukan Luqman yang diceritakan dalam al-Qur’an dapat menjadi pedoman pokok bagaimana mendidik anak. Kebijaksanaan Luqman dalam mendidik anak-anak bahkan menjadi kisah tersendiri dalam al-Qur’an, artinya umat Islam sudah mempunyai landasan moral dan pedoman tentang bagaimana orang tua harusnya menanamkan pendidikan karakter pada anak. Dalam QS. Luqman: 18 disebutkan,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Dengan jelas Luqman mengajarkan anak-anaknya untuk bersikap rendah hati sepanjang hidup dan menjaga hubungan baik orang-orang di sekitar. Hal ini luput dari lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan intoleransi pada anak-anak. Alih-alih bersikap rendah hati dan membina hubungan baik dengan sesama, anak-anak ini justru diajarkan untuk membanggakan agama dan identitas diri secara berlebihan, perasaan superioritas ini berimplikasi pada kecenderungan anak untuk mendiskreditkan pihak yang tidak sama dengan identitasnya. Di sinilah kemudian benih intoleransi bekerja.

Ada dua spekulasi mengenai skenario awal bagaimana perusakan makam tersebut bisa terjadi, pertama lembaga pendidikan tersebut memang dengan sengaja menyuruh anak-anak didiknya untuk berbuat kerusakan, kedua, anak-anak tersebut secara sadar diri merusak makam karena mereka yakin itulah yang seharusnya mereka lakukan. Kedua skenario ini sama-sama berbahaya, akan tetapi skenario kedua mempunyai dampak jangka panjang yang lebih mengerikan.

Jika anak-anak tersebut secara sadar diri dan penuh keyakinan menghancurkan makam orang Kristen, yang berarti itu simbol kebencian terhadap non-muslim, maka artinya mereka telah menyerap “dengan baik” doktrin intoleransi. Mengapa demikian? Intoleransi merupakan bibit yang akan mengantarkan pada paham radikalisme. Paham radikalisme merupakan bibit yang akan mengantarkan pada sikap ekstremisme. Tentu kita tahu bentuk konkrit dari sikap ekstremisme, yaitu kerusakan fisik yang bertujuan untuk menciptakan teror. Melihat fenomena di Solo, artinya anak-anak ini telah sampai pada fase ekstremisme sejak dini. Jika hal ini tidak mendapat pengawasan dari negara, tidak menutup kemungkinan anak-anak ini akan tumbuh menjadi algojo-algojo teror yang bisa menciderai semangat persatuan dan pluralisme di Indonesia. Tidak usah jauh-jauh berbicara pluralisme, bahkan anak-anak korban indoktrinasi radikalisme ini bisa semakin menciderai citra Islam sebagai agama yang damai dan rahmah.

Berita gembiranya adalah bahwa masyarakat di sekitar Kuttab Millah mendukung penutupan lembaga belajar tersebut. Berdasarkan berita-berita yang tersebar di media arus utama, penduduk kelurahan Mojo tegas menolak aksi-aksi semacam itu, mereka mendukung penutupan lembaga pendidikan yang terindikasi radikal dan meminta pemerintah kota Surakarta untuk mengambil langkah tegas dalam mendindaklanjuti kasus tersebut agar tidak terulang di kemudian hari.

Bukan hanya ada pada masyarakat di desa Mojo, semangat memberantas radikalisme ini tentu juga harus ada pada diri kita. Paham radikalisme tidak mengenal batas geografis, kita perlu mengecek adik-adik kita, apakah ada perilaku-perilaku ganjil seperti sering menghakimi orang lain atau bahkan menjelek-jelekkan agama lain. Kita harus peduli terhadap lingkungan kita, karena kitalah agen-agen perdamaian itu. Siapa yang hendak menjaga anak-anak dan adik-adik kita selain diri kita sendiri.

Wallahu a’lam bisshawab …