Mana yang Lebih Penting, Hilirisasi Material atau Hilirisasi Etika dan Moral?

Mana yang Lebih Penting, Hilirisasi Material atau Hilirisasi Etika dan Moral?

Dari debat cawapres kemarin, kita dipertontonkan mana calon pemimpin yang serius berdebat, dan mana calon pemimpin yang hanya berkepentingan untuk menyetok bahan video TikTok “savage” bagi para buzzernya.

Mana yang Lebih Penting, Hilirisasi Material atau Hilirisasi Etika dan Moral?

Debat cawapres keempat, sebagai salah satu dari rangkaian agenda Pemilu 2024, membahas isu penting yang erat kaitannya dengan diskursus ekologis. Ketiga cawapres beradu gagasan (tapi saya kurang yakin kalau tiga-tiganya, sih) mengenai  pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.

Isu-isu di atas menjadi isu yang sangat krusial dan penting. Semua lapisan elemen dari berbagai medium baik itu pemerintah, pembuat kebijakan, tokoh agama dan masyarakat, akademisi, juga masyarakat sipil, mengemban beban yang besar untuk mengatasi berbagai permasalahan kompleks menyangkut ekologi masa kini. Tidak heran jika isu-isu tadi menjadi satu dari sekian isu utama yang dibahas pada debat pemilihan presiden dan wakil presiden.

Jika ditelusuri, beragam problem ekologi kontemporer disebabkan dari dua sumber utama; paradigma antroposentris (pandangan yang melihat bahwa manusia pusat dari kosmos dan mengesampingkan keberlangsungan alam), dan kedua adalah, penerapan sistem ekonomi kapitalistik, yang juga lahir dari paradigma antroposentris.

Itu kenapa, problem ekologi sangat mungkin diatasi jika semua elemen dari berbagai medium bekerja sama. Tokoh agama dan masyarakat bisa mengambil peranan penting dalam mengubah paradigma, sedangkan pemerintah dan policy maker dapat berperan dalam membuat dan menetapkan kebijakan yang mengutamakan keberlangsungan dan eksistensi ekologis.

Sayangnya, dari ketiga calon wakil presiden, hanya calon nomor urut 01 dan 03 yang intens mengorbitkan tawaran gagasan yang menitik beratkan kepentingan ekologis di dalam gagasan mereka. Sedangkan calon nomor urut 02, masih menjadikan pemerataan pembangunan, hilirisasi, dan kepentingan-kepentingan yang hanya “menguntungkan” manusia sebagai gagasan utamanya. Mereka tidak banyak menawarkan gagasan yang berorientasi pada kepentingan ekologis.

Ini, misalnya, sudah terlihat jelas dari penyampaian visi-misi pada sesi awal debat, yang sekaligus memperlihatkan di mana keberpihakan ketiga calon wakil presiden hingga debat berakhir.

Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden nomor urut 01, menjadikan etika lingkungan sebagai basis gagasan yang ia tawarkan. Keseimbangan antara alam dan manusia tidak boleh  berat sebelah. Ia juga mengkritik pengadaan Food Estate sebagai proyek gagal yang menghilangkan kesejahteraan petani, masyarakat adat, sekaligus merusak lingkungan. Di sisi yang lain, ia juga mengerucutkan gagasannya pada keadilan iklim, keadilan ekologis, keadilan antar generasi dan keadilan sosial.

Berbeda dengan Muhaimin, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden nomor urut 02, menekankan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam. Ia menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan nikel dan timah terbesar di dunia. Dengan tetap melanjutkan ide hilirisasi, Gibran juga menyampaikan gagasan untuk tetap melakukan transisi ke energi terbarukan.

Akan tetapi perlu dicatat, walaupun di dalam visi-misinya banyak disematkan terminologi yang “green-green”, harus disadari bahwa ia hanya membungkus kapitalisme ke dalam format wajah yang baru; green capitalism (kapitalisme hijau).

Marina Walker, di dalam tulisannya yang berjudul Enacting the Corporation: An American Mining Firm in Post-Authoritarian Indonesia, mengulas secara lugas mengenai kapitalisme hijau. Dengan menjadikan perusahaan tambang Newmont dan masyarakat Sumbawa sebagai bukti etnografis, ia menggambarkan bagaimana kapitalisme bertransformasi dengan wajahnya yang lebih “hijau”, sopan, dan ramah.

Welker memaparkan berbagai macam upaya perusahaan tambang Newmont agar terlihat lebih ramah lingkungan, berpihak pada masyarakat lokal, dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan lingkungan dan alam. Seperti, misalnya, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat lokal, dan mengadakan agenda pelepasan penyu ke pesisir pantai yang nantinya menghasilkan citra positif perusahaan pada masyarakat setempat.

Di sisi lain, Mahfud MD sebagai calon wakil presiden nomor urut 03, di dalam gagasanya, memperlihatkan diskursus ekologis yang beririsan kuat dengan nilai-nilai agama, kearifan lokal dan konstitusi. Mengutip QS al-Rum/30: 41, Mahfud MD berpandangan bahwa keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam harus terus dijaga. Spirit dari ayat tersebut yang nantinya akan mengkonstruksi program-program yang ia tawarkan.

Tidak berhenti sampai di situ, Mahfud MD juga mengkritik praktik industrialisasi, pemanfaatan sumber daya alam yang rentan menghasilkan konflik vertikal dan horizontal, juga subsidi pupuk yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan dan jumlah petani. Selanjutnya, di dalam debat, ia juga menyinggung problem deforestasi, juga memasukkan emisi karbon sebagai variabel yang wajib diperhitungkan pada perkembangan suatu negara. Mahfud juga memiliki ide menarik yang jarang dikutip media. Ia menyampaikan, berbasis pengalamannya, bahwa para aktivis lingkungan juga perlu dijadikan sebagai subjek hukum.

Di samping mengulas tawaran gagasan yang disampaikan ketiga calon, media sosial diramaikan dengan beberapa tindakan kurang etis yang ditunjukkan oleh Gibran Rakabuming selama berdebat. Mulai dari gestur celingak-celinguk “mencari jawaban” saat menjawab pertanyaan dari Mahfud MD, hingga merendahkan kepakaran dengan ejekan terhadap gelar profesor.

Saya tidak menjelaskan terminologi ini, karena beliau kan sudah profesor”, ujar Gibran.

Komisi Pemilihan Umum sudah memperbarui peraturan debat, yaitu peserta debat harus menjelaskan singkatan atau terminologi asing ketika menyampaikan argumen dan gagasan. Akan tetapi, Gibran tetap ngeyel untuk tidak menjelaskan terminologi asing pada sesi tanya jawab dengan Mahfud MD, dengan dalih kalau Pak Mahfud sudah bergelar “profesor”.

Dari debat cawapres kemarin, kita mengetahui mana calon pemimpin yang serius menawarkan gagasan-gagasan berorientasi ekologis, dan mana calon pemimpin yang masih berparadigma kapitalis-antroposentris, yang seakan mengatakan: “Indonesia ini adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, masih ada banyak hal yang bisa kita eksploitasi (lagi).”

Dari debat cawapres kemarin, kita dipertontonkan mana calon pemimpin yang serius berdebat, dan mana calon pemimpin yang hanya berkepentingan untuk menyetok bahan video TikTok “savage” bagi para buzzernya. Oh iya, toh katanya, debat juga tidak mempengaruhi hasil survei elektabilitas, kan?

Dari debat cawapres kemarin juga, kita disadarkan bahwa “hilirisasi” moral dan etika harus lebih diutamakan, di samping hilirisasi hal-hal material. Karena moral dan etika, kalau dari dalam masih mentah, maka akan memproduksi sikap dan perilaku yang tidak memiliki nilai sama sekali.

(AN)