Perempuan Sering Dijadikan Fitnah Seksual untuk Menutup Mega Skandal

Perempuan Sering Dijadikan Fitnah Seksual untuk Menutup Mega Skandal

Menurut Dewi Chandraningrum, tubuh perempuan sering kali dijadikan alat untuk menyebarkan fitnah dengan mudah.

Perempuan Sering Dijadikan Fitnah Seksual untuk Menutup Mega Skandal

Fitnah seksual sering kali menjadi alat untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal besar dan dosa besar yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Tubuh perempuan sering dijadikan objek dalam narasi fitnah ini. Sejarah mencatat berbagai peristiwa di mana perempuan difitnah secara seksual untuk menutupi kejahatan yang lebih besar.

Dewi Chandraningrum, seorang aktivis perempuan dan dosen UGM, dalam diskusi “Benarkah Perempuan Dipinggirkan di Ruang Publik?” pada 5 Juli 2024, menyatakan bahwa tubuh perempuan sering kali dijadikan alat untuk menyebarkan fitnah dengan mudah.

“Tubuh perempuan itu dalam epos sejarah politik kenegaraan itu adalah sumber fitnah paling asik, paling gampang disirkulasi,” katanya.

Misalnya, pada tahun 1965, anggota Gerwani difitnah dengan tuduhan seksual, dan pada tahun 1998, perempuan etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan yang berujung pada fitnah seksual.

Selain itu, skandal korupsi besar sering kali ditutup-tutupi dengan fitnah seksual. Dewi menyebut contoh kasus korupsi timah triliunan rupiah yang dikaitkan dengan artis Sandra Dewi. Artis tersebut menjadi korban hujatan nasional akibat fitnah seksual yang disirkulasikan untuk mengalihkan perhatian publik dari pelaku utama korupsi.

“Korupsi timah triliunan yang menjadi fitnah sexual siapa? Sandra Dewi. Yang dihujat nasional, artis ini. Fitnah sexual lagi. Yang mencuri paling banyak ngak kelihatan,” tambahnya.

Menurut Dewi, pola ini terus berulang dan digunakan sebagai strategi oleh bos patriarki untuk menutupi dosa besar mereka. Fitnah seksual menjadi cara paling mudah dan efektif untuk menutupi skandal dan korupsi besar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali menjadi korban dari sistem yang patriarkis dan korup, di mana tubuh mereka digunakan sebagai alat untuk menutupi kejahatan yang dilakukan oleh ‘orang besar’.

“Jadi kalau ada skandal mega korupsi bla-bala, selalu nanti ada fitnah. Itu terus berlanjut, kalau ada fitnah sexual besar sekali, pasti si bos patriarki ini melakukan dosa besar,” jelasnya.

Fitnah seksual tidak hanya merugikan korban secara individu, tetapi juga menciptakan narasi yang merusak dan mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang lebih besar dan penting.

(AN)