Perang Argumen Soal Lockdown & Kemungkinan Anggaran yang Dibutuhkan untuk Realisasinya

Perang Argumen Soal Lockdown & Kemungkinan Anggaran yang Dibutuhkan untuk Realisasinya

Apakah Lockdown yang resmi belum diberlakukan berpotensi menghabiskan anggaran kita?

Perang Argumen Soal Lockdown & Kemungkinan Anggaran yang Dibutuhkan untuk Realisasinya

Perang argument untuk mendorong pemerintah melakukan lockdown terus banjir di sosial media. Saya pun ikut sepakat jika Indonesia harus melakukan lockdown dengan catatan semua kebutuhan untuk lockdown harus dipenuhi oleh negara. Ketika Indonesia lockdown, hal yang perlu diingat tidak semua masyarakat memiliki kemampuan yang sama. Dalam standar ekonomi misalkan, ada tiga kelas ekonomi di Indonesia yaitu kelas ekonomi atas, menengah dan bawah. Masyarakat ekonomi kelas atas misalkan, ketika harus Work From Home (WFH) atau lockdown sekalipun, akan ada banyak waktu yang tersedia untuk keluarga. Sedangkan masyarakat kelas ekonomi menengah, mereka berpotensi untuk menjadi masyarakat ekonomi bawah. Dan masyarakat ekonomi bawah berpotensi bisa meninggal jika tidak memperhatikan mereka.

Di sisi lain, penanganan pemerintah untuk dalam menghadapi covid-19 pun dinilai lamban. Hal ini pun menimbulkan banyak kekecewaan di masyarakat. sedangkan angka kematian terus meningkat setiap harinya. Apalagi setelah pemerintah tidak mengeluarkan keputusan untuk lockdown.Pemerintah pusat dalam hal ini Jokowi lebih memilih Darurat Sipil ketika keadaan atas wabah covid-19 ini semakin memburuk. Keputusan tersebut semakin membuat masyarakat membandingkan pengambilan keputusan Indonesia dengan negara lainnya. Misalkan Donald Trump yang menghibahkan gajinya selama 3 bulan untuk menghadapi covid-19 di Amerika Serikat. Lalu, Malaysia menggratiskan internet selama lockdown. Hal yang paling jelas dengan negara Vietnam yang dinilai bisa menekan angka kematian atas wabah yang ada di seluruh Indonesia.

Hingga akhirnya, Dewan Guru Besar FKUI mendorong pemerintah Indonesia  untuk mendorong lockdown. Skemanya anggarannya pun cukup jelas, hanya membutuhkan Rp 4 triliun untuk biaya makan tiga kali sehari diperuntukan kepada 9,6 juta warga DKI Jakarta selama 14 hari dalam menghadapi lockdown. Anggaran itu pun dianggap masih sangat relevan jika dibandingkan dengan pemasukan pajak yang diterima Indonesia. Namun, berapa anggaran jika angka subsidi makan tersebut pukul rata dengan provinsi lainnya di Indonesia?

Maka anggaran yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk biaya subsidi selama 14 yaitu sekitar Rp 136 triliun. Namun, setiap provinsi ini memiliki luas wilayah yang berbeda dengan Jakarta, anggaplah anggaran yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 150 triliun. Dalam penanganan covid-19 ini tidak hanya anggaran pencegahan, melainkan untuk menyembuhkan pasien covid-19. Biaya fasilitas kesehatan untuk para pasien, makan dan pembelian obat pun harus diperhitungkan. Apalagi Indonesia membeli alat test rapid covid-19, ingat barang dari luar negeri ini tidak cuma-cuma. Belum lagi dengan obat untuk para pasien tersebut. anggaplah, sekitar Rp 50 triliun ini habis untuk penanganannya yang terkena covid-19.Lalu, berapa APBN 2020?

Perlu diketahui, penanganan pemerintah pusat untuk menghadapi covid-19 ini berdasarkan APBN 2020  yang sudah disahkan pada 2019. Pada tahun ini misalkan, sebesar Rp 2.500 triliun untuk anggaran belanja pada APBN 2020, sedangkan anggaran yang bisa leluasa digunakan oleh pemerintah pusat (anggaran belanja pemerintah pusat) sebesar 1.683 triliun. Anggaran inilah yang bisa digunakan pemerintah pusat untuk menanggulangi dan penanganan masyarakat yang terkena imbas covid-19. Selama ini pemeritah Indonesia telah mengalih anggaran Ujian Nasional dan Mudik 2020 untuk penanganan covid-19.

Selain mendorong adanya lockdown, perlu dipikir juga skema anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk masyarakat yang terkena imbas dari covid-19 ini. Jika hanya menggunakan APBN 2020, nampaknya tidak akan cukup untuk pencegahan, pengobatan dan penanganan bagi masyarakat yang terkena dampak. Sehingga, perlu adanya prioritas masyarakat yang harus diperhatikan yang akan mendapatkan dampak terbesar covid-19 yaitu kelas masyarakat ekonomi menengah dan bawah. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, kelas ekonomi menenah di Indonesia pada 2020 mencapai 85 juta orang.

Nah, pemerintah pusat sudah menyatakan fokus pada penanganan masyarakat ekonomi kelas bawah yang terkena dampak covid-19. Jokowi tidak tanggung-tanggung, ada enam kebijakan untuk masyarakat dengan kelas ekonomi bawah. Pertama jumlah kepala keluarga penerima manfaat PKH meningkat hingga 10 juta. Kedua jumlah nemerima kartu sembako menjadi 20 juta kepala keluarga yang akan menerima 200 ribu yang akan diberikan 9 bulan ke depan. Ketiga, digratiskannya biaya listrik bagi rumah dengan pelanggan listrik 450 VA. Keempat, Kartu Pra-Pekerja yang akan diluncurkan dengan masing-masing orang akan menerima Rp 1 juta perbulan yang diberikan 4 bulan ke depan. Kelima, antisipasi kebutuhan pokok. Keenam kerianganan pembayaran kredit.

Penanganan bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ini bisa diambil alih pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota. Sebab, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki pemasukan dari pajak,  yang mana DKI Jakarta memiliki pemasukan yang cukup besar diantara provinsi lainnya. Pengelolaan anggaran untuk lockdown ini sangat bisa dilakukan oleh pemerintah daerah mengingat Indonesia memiliki aturan otonomi daerah. Serta kehadiran negara bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat di Indonesia. Dari pembagian tugas tersebut, hal yang paling utama adalah data klasifikasi ekonomi masyarakat. sebab, berdasarkan pengalaman penulis data tersebut seringkali tidak pernah sama. Terkadang, pemeritah menggunakan data lama untuk masyarakat penerima manfaat tersebut. Serta pemerintah desa yang kurang objektif untuk menerima bantuan.