Misi utama Islam ialah membawa kerahmatan untuk alam semesta. Maka dari itu, semua ajaran Islam, baik ibadah maupun mu’amalah tidak terlepas dari misi utama ini. Kerahmatan Islam itu tidak hanya dirasakan dalam situasi damai, pun dalam kondisi perperangan kita masih dapat melihat betapa besarnya penghargaan Islam terhadap manusia, sekalipun musuh.
Dilihat dari sejarah Islam, terdapat banyak norma dan etika perang yang diajarkan oleh Rasulullah. Di antaranya ialah tidak boleh membakar pasukan musuh dengan api.
Imam Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H.) meriwayatkan hadis dari sahabat Abdullah bin Amr bin ‘Ash sebagai berikut:
Dari Abdurrahman bin Abdullah dari ayahnya yang berkata, “Kami bersama Rasulullah saw. dalam sebuah perjalanan. Lalu, (ketika), beliau membuang hajat, kami melihat seekor burung hummarah (emprit) dengan dua anaknya. Kami mengambil kedua anak burung tersebut. Lalu induknya datang dan mengepakkan sayapnya.
Nabi saw. datang lalu berkata, Siapa yang mengganggu burung itu dengan mengambil anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.” Lalu, Rasulullah saw. melihat sebuah sarang semut yang telah kami bakar. Beliau bertanya, “Siapa yang membakar sarang ini?”
Kami menjawab, “Kami.” Beliau bersabda, “Sungguh, tidak pantas menyiksa dengan api kecuali Tuhan pencipta api.”
Ketika mengutip hadis ini, Imam Abu Dawud memberi keterangan dalam bentuk judul bab “karahiyah harq al-‘aduwwi bin nar” yang berarti haramnya membakar pasukan musuh (lihat Sunan Abi Dawud, juz 3, hlm. 55).
Kata karahiyah dalam judul bab tersebut berarti haram. bukan makruh. Penggunaan kata karahiyah dengan pengertian haram sudah menjadi kebiasaan ulama salaf dari golongan ahli hadis. hal ini sebagai bentuk tata krama agar tidak dianggap lancang terhadap Allah. Allah tidak menyatakan haram demikian pula Rasulullah saw. Namun, ketika dipahami maksud Rasulullah adalah melarang. Larangan ini bersifat tegas (jazim) yang artinya sama dengan mengharamkan.
Haramnya membakar pasukan musuh adalah pendapat Imam Abu Dawud. Karena, dalam hadis tidak disebutkan keterangan pembakaran pasukan musuh. Bahkan, sebenarnya hadis tersebut tidak sedang membicarakan perang, tawanan, atau pasukan musuh. Hadis tersebut merupakan komentar Nabi Muhammad tentang perbuatan sebagian sahabatnya yang membakar sarang semut. Makhluk Allah yang tiada berdosa.
Kemudian, pernyataan Nabi tersebut diperluas pengertiannya oleh Imam Abu Dawud dalam konteks perang. Yaitu keharaman membakar pasukan musuh dengan api. Bisa jadi, Imam Abu Dawud melakukan qiyas aulawi. Yaitu menyamakan perbuatan yang melebihi kandungan hadis. Tentu saja, membakar manusia lebih kejam dibanding sekadar membakar semut.
Menurut Imam Abu Dawud, kekejaman yang lumrah terjadi dalam perang hendaknya tidak diperparah dengan melakukan kekejaman lain seperti membakar pasukan musuh dengan api. Lebih-lebih yang sudah ditangkap dan tidak berdaya.
Tapi, apakah sekarang masih ada peperangan? []