Meski masyarakat Indonesia tidak asing dengan istilah perubahan iklim, ternyata pemahaman mereka terhadap istilah tersebut masih tergolong rendah. Demikian menurut hasil penelitian terbaru dari Development Dialogue Asia (DDA).
Development Dialogue Asia (DDA), sebuah inisiatif komunikasi strategis yang berfokus pada agenda mitigasi perubahan iklim, menggelar acara talk show yang bertajuk Pesan Penggugah Harapan pada Rabu (11/01). Acara tersebut digelar di Ruang Kota Tua, MULA by Galeria, Cilandak Town Square, Jakarta Selatan. Selain itu, juga digelar diseminasi hasil penelitian “Bagaimana Orang Indonesia Memahami Perubahan Iklim”.
Communication Strategist DDA, Mardiyah Chamim, mengatakan bahwa penelitian tersebut merupakan salah satu cara DDA untuk memahami publik Indonesia, mengetahui wawasan mereka terkait perubahan iklim, serta bentuk keikutsertaan mereka dalam aksi kolektif.
“Karena, kalau kita berhenti pada hal-hal yang rumit dan eksplanatoris saja, maka kita akan mengacuhkan publik,” tutur Mardiyah.
Bertugas sebagai presentator hasil penelitian adalah Paramita Mohamad, CEO Communication for Change (C4C). C4C sendiri merupakan lembaga yang mendesain dan melakukan penelitian ini. Perempuan yang akrab dipanggil Mita ini menjelaskan, penelitian yang berjalan selama hampir 2 tahun dan dimulai sejak Agustus 2021 itu dilakukan melalui tiga tahapan.
“Pertama, fokus ke discussion dulu, karena kita tidak mau berasumsi cara nanya ke orang tentang perubahan iklim yang bener seperti apa? Jadi, kita mulai dari ‘How do we ask question?’. Kemudian, surveynya. Kemudian, setelah kita tahu moral orang Indonesia seperti apa, kita melakukan pengujian besar kualitatif lagi,” ungkapnya.
DDA bersama C4C mengadakan survey dengan melibatkan 3.490 responden dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Mita menjelaskan, ada beberapa provinsi yang jumlahnya ditambah karena wilayah yang bersangkutan menjadi perhatian khusus. Antara lain, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Barat, dan Papua.
Mita melanjutkan, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia umumnya (rentang usia 16 s.d. 60 tahun) menganggap perubahan iklim dan pemanasan global adalah hal yang abstrak, masih terjadi di kemudian hari, dan bukan menjadi urusan mereka.
Pemahaman Masyarakat Tentang Perubahan Iklim
Hasil penelitian menunjukkan, 9 dari 10 orang Indonesia mengaku pernah mendengar istilah perubahan iklim. Akan tetapi, ketika mereka ditanya arti dari istilah tersebut, sebanyak 56 persen tidak benar-benar memahaminya.
“Ketika ditanya lagi, ‘Perubahan iklim itu apa?’, sekitar 56 persen menjawab, ‘Kurang lebih sama dengan musim pancaroba’,” beber Mita. Menurutnya, itu menunjukkan bahwa masyarakat banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu.
“Dan hanya 1 dari 3 orang (yang mengetahui) bahwa pemanasan global itu really happening (benar-benar sedang terjadi),” sambungnya.
Hal menarik lainnya terkait pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim adalah munculnya rasa cemas ketika masyarakat mulai memahami istilah perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya.
“Di satu sisi, orang jadi paham (tentang perubahan iklim). Tapi, (di sisi lain) juga jadi cemas. Mereka paham, tapi kemudian jadi ngeri (cemas),” ujar Mita.
Pesan yang Efektif dan Mudah Dicerna
Upaya menanggulangi dampak perubahan iklim secara kolektif akan sulit dilakukan ketika masyarakat belum memahami fenomena perubahan iklim itu sendiri. Itulah yang mendorong DDA untuk menyusun sebuah pesan yang dapat menjelaskan fenomena perubahan iklim dengan efektif dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan pesan yang dipilih adalah perumpamaan “selimut polusi”.
“Selimut polusi” adalah perumpaan yang digunakan untuk menggambarkan keadaan bumi yang diselimuti oleh gas karbon yang tertahan di atmosfer. Semakin banyak gas karbon yang berasal dari aktivitas industri hingga kendaraan bermotor, semakin tebal pula ‘selimut’ bumi di atmosfer. Semakin tebal ‘selimut’, semakin panas pula bumi yang diselimuti.
Untuk menguji efektivitasnya, DDA menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) sebanyak 14 kali di Jakarta, Jayapura, Tarai Bangun (Riau), Kisaran (Sumatera Utara), Tegal, Demak, dan Semarang (Jawa Tengah). Selama FGD berjalan, mereka mengamati reaksi dari para partisipan setelah mendengarkan perumpamaan “selimut polusi” itu.
Hasilnya, DDA menemukan indikasi bahwa pesan tersebut mampu menggugah kesadaran para partisipan. Mereka menjadi paham bahwa berbagai fenomena seperti suhu yang semakin panas, cuaca ekstrem, kekeringan, hingga gagal panen, adalah dampak dari perubahan iklim.
“Semua orang tahu, kalau pakai selimut panas. Akhirnya, mereka langsung connect (paham). ‘Oh, makanya sekarang jadi panas banget kalau musim kemarau’,” jelas Mita.
Turut hadir dalam acara talk show dan diseminasi hasil penelitian Verena Puspawardani (Koaksi) dan Robby Irfani (The Conversation Indonesia). Selain acara yang disebutkan, C4C juga menyelenggarakan pameran hasil riset di sekitar lokasi acara talk show tersebut. [NH]