Pandemi Corona, Gus Dur, dan Kerancuan Pikir “Umat Islam”

Pandemi Corona, Gus Dur, dan Kerancuan Pikir “Umat Islam”

Yang dzohir dijawab dengan urusan batin, yang batin dijawab dengan sesuatu yang dzohir. Di tengah kekalutan pandemi corona ini dunia memang sedang terbalik.

Pandemi Corona, Gus Dur, dan Kerancuan Pikir “Umat Islam”

Virus corona jenis baru atau COVID-19 telah resmi dinaikkan levelnya oleh WHO menjadi pandemi, yang artinya wabah ini sudah tersebar secara global. Kita semua bertanggung jawab untuk memutus rantai penyebaran dengan cara hidup yang dianjurkan WHO. Kita tidak perlu terlalu panik dan parno yang mengakibatkan panic buying, sebab WHO telah memberikan petunjuk agar tetap sehat seperti memakai masker untuk yang sakit, bersin dan batuk pada tisu, rutin membersihkan tangan dan stop menyentuh mata, hidup dan mulut dengan jari.

Tetapi, terlalu menyepelekan bukanlah merupakan jawaban, karena virus ini bisa berada di diri seseorang meskipun belum muncul gejala seperti batuk kering, pilek dan demam. Sehingga hidup sewajarnya dengan semangat tawassuth (moderat) adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh.

***

Ini mengingatkan saya pada gagasan Gus Dur tentang Kosmopolitanisme peradaban Islam, serta penolakan beliau pada formalisasi Islam. Dalam paragraf terakhir dari salah satu esai paling popular Gus Dur yang berjudul Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, beliau mendorong betul umat Islam untuk menata ulang serta mempersiapkan konsep universalisme dengan sikap hidup yang kosmopolit sehingga tidak menjadikan umat Islam hanya menjadi objek perkembangan peradaban.

Gus Dur mendorong umat Islam untuk ikut serta berperan menentukan arah gerak kemajuan dunia. Hal ini dicontohkan dengan, misalnya, saat Gus Dur menjadi ketua PBNU, dalam mendorong pemuda NU untuk belajar ilmu di luar keilmuan pesantren. Konon, sebelum Gus Dur menjadi ketua PBNU, sulit sekali menemukan sarjana dari kalangan NU, tapi saat ini banyak sekali kaum sarungan yang mengenyam pendidikan tinggi dengan bidang yang sangat beragam, seperti farmasi dan robotika.

Bisa dibayangkan bahwa maksud Gus Dur mendorong pemuda NU untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan adalah untuk perluasan cakrawala dan menyesuaikan kondisi yang mulai memasuki era otomatis. Pada esai itu juga, Gus Dur menuliskan beberapa contoh ulama’ Islam yang sebetulnya tidak hanya menguasai ilmu keislaman, tetapi bidang-bidang lain, seperti Imam Hasan Al-Basri yang terkenal sebagai tokoh tasawuf, tetapi beliau juga adalah salah satu tokoh dalam bidang bahasa. Ada juga Imam Al-Khalil Ibn Ahmad Al-farahidi yang tidak hanya seorang ulama’ saleh, tetapi juga paham tentang ilmu filsafat.

Tentu saat ini kita mengharapkan hadirnya orang Islam yang memiliki gaya hidup kosmopolit, yang tidak hanya pandai tentang keilmuan Islam, tetapi juga fasih dalam bidang kedokteran, biologi, ekonomi, sosiologi dan lain-lain. Hal ini diharapkan akan membuat Islam ikut berperan dalam menentukan masa depan peradaban. Islam, dengan begitu, tidak perlu dijadikan bangunan formalitas yang akan membuatnya kering, tetapi nilai-nilai Islam menyusup dalam setiap sendi kehidupan, misalnya medis.

Di titik inilah gagasan Gus Dur menemui konteksnya dengan fenomena merebaknya pandemi corona. Dalam hal ini, tentu umat Islam yang kosmopolit akan menjadi garda depan dalam mengingatkan umatnya untuk menjaga kebersihan dan memperkuat imut, karena umat yang sudah hidup dalam alam kosmopolit dengan sumbangan keilmuan medis yang dikuasai, annadhofatu minal iman tidak hanya jadi selogan, tetapi mengejwantah dan dengan sadar dipahami serta diamalkan. Sehingga tidak lantas membuat klaim bahwa qunut adalah faktor kunci amannya suatu daerah dari pandemi corona.

Kenapa demikian? Pandemi corona adalah sebuah realita dzohir yang tentu pendekatannya juga memerlukan pendekatan dzohir pula. Bukan berarti doa menjadi tidak penting, tetapi doa tanpa usaha tentu akan sia-sia. Toh tanda doa dikabulkan adalah bukan selesainya doa, tetapi usaha apa yang akan dilakukan setelah doa.

Umat Islam yang memiliki watak kosmopolit tentu tidak hanya mengandalkan kepasrahan total pada Allah dengan doa, tetapi turut serta berperan dalam mencari vaksin untuk COVID-19, karena banyak dokter-dokter Islam yang ikut tergabung dalam tim riset pencarian vaksin yang saat ini ditunggu-tunggu masyarakat dunia.

Kenapa di awal tulisan ini saya menyebutkan bahwa penolakan Gus Dur pada formalisasi agama juga menemukan konteksnya pada merebaknya pandemi corona?

Ini ada hubungannya dengan adanya seruan bahwa vaksin dari COVID-19 adalah air wudhu. Ya, air wudhu. Untuk Anda yang belum tau, wacana ini menyebar di beberapa kelompok umat Islam. Tidak hanya itu, kepercayaan ini juga didukung dengan hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani. Luar biasa bukan.

Hal ini sungguh berbahaya, karena ketika telah membawa kepercayaan semacam itu pada urusan medis, tentu akan rancu dalam penagihan siapa yang akan bertanggung jawab ketika solusi masalah itu bocor.

Qunut, misalnya, sempat dikatakan sebagai musabab bebasnya Indonesia dari COVID-19. Namun kenyataannya, saat ini sudah ada kasus COVID-19 di Indonesia. Lalu, apakah lantas qunut umat Islam se-Indonesia tiada berguna?

Kalau kita menggunakan kepercayaan bahwa wudhu bisa menangkal COVID-19, tentu tinggal menunggu waktu untuk dikatakan bahwa wudhu menjadi kegiatan yang sia-sia. Padahal, qunut dan wudhu tidaklah seartifisial itu.

Masih merujuk pada umat yang mengganggap vaksin COVID-19 adalah air wudhu, mereka juga adalah golongan yang paling getol untuk menyusun metode pendeteksian babi secara saintifik lalu menamainya pendeteksi kehalalan. Ketika urusannya adalah yang dzohir seperti pandemi corona , solusinya adalah wudhu. Kenapa ketika urusan halal-haram yang tak dzohir ini solusinya adalah metode saintifik. Sungguh aku ingin menantang mereka tantang caranya membedakan ayam yang dipotong dengan membaca basmalah dan tanpa basmalah melalui metode saintifik yang mereka buat.

Mungkin inilah pingitan dari usaha formalisasi agama yang diwaspadai Gus Dur sejak dulu. Risiko yang sudah terlihat dari formalisasi agama adalah kerancuan pikir. Yang dzohir dijawab dengan urusan batin, yang batin dijawab dengan sesuatu yang dzohir. Pantas saja mereka juga membenci filsafat, karena alam pikirnya memang disengaja untuk dibuat rancu.