Pandemi Corona bukan Kiamat, Yang Wajar Saja Menyikapinya

Pandemi Corona bukan Kiamat, Yang Wajar Saja Menyikapinya

Dari pandemi corona kita jadi mengerti bahwa ada dua hal di dunia ini yang berada di luar kuasa manusia: Pertama adalah kehendak Tuhan. Apapun itu bentuknya. Sedang yang kedua adalah pemerintahan Presiden Jokowi dengan segala menteri-menterinya.

Pandemi Corona bukan Kiamat, Yang Wajar Saja Menyikapinya

Siang itu, saya sembahyang Jumat  di bilangan Solo, Jawa Tengah. Selepas salam, saya reflek mengajak jabat-tangan jamaah sebelah. Namun, jamaah sebelah itu menolak salaman. Ini bisa dimaklumi. Malam sebelumnya (12/03), telah beredar kabar tentang pasien RS Moewardi Solo yang meninggal dan diduga mengidap virus Covid-19, atau pandemi corona jenis baru, setelah menjalani perawatan intensif dan isolasi. Info ini kebetulan melintas di linimasa media sosial saya. Mau tak mau saya pun membacanya.

Esoknya (Jumat, 13/03), ihwal tentang pasien meninggal postif corona di RS Moewardi menjadi berita nasional. Di hari yang sama, negara bagian Malaysia, Perlis, sudah memberi himbauan resmi agar umat Muslim mengganti sembahyang (wajib) Jum’at dengan Shalat Zuhur, dengan alasan darurat.

Tapi tidak dengan Indonesia. Antar lembaga negara sendiri justru saling menunjukan kontras. Ini merupakan salah satu bukti bahwa penyelenggara negara kita sejak awal memang tidak serius menanggapi wabah global, kalau tidak amatiran.

Menag Facrul Razi adalah perumpamaan paling relevan. Di satu pihak dia bilang kalau buka (puasa) bersama, alias Bukber, dan shalat (sunah) tarawih akan tetap digelar di Masjid Istiqlal Jakarta pada Bulan Ramadhan, kendati pandemi corona masih belum ditemukan vaksinnya dan berada dalam status tidak bisa dipastikan ntah sampai kapan.

Sedang di pihak lain, Badan Intelejen Negara (BIN) justru merilis kalau virus corona sedang beringas-beringasnya di bulan Ramadhan. BIN, konon, mendasarkan spekulasinya itu pada analisa yang serius dan matematis.

Lalu, yang benar yang mana. Bagi saya, maaf, keduanya sama-sama bedebah!!!

Ke-manakah gerangan BIN—kalau memang dia punya otoritas untuk ngomong soal corona— sewaktu Covid-19 dibilang oleh Denny Siregar sebagai isu yang disebarkan (para) binatang karena menyebabkan Jokowi merugi?

Atau, ada di belahan bumi mana para intelejen kita di saat al-‘alim al-‘alamah Wapres Kiai Ma’ruf bilang “kalau doa qunut merupakan faktor signifikan pencegah corona melawat Indonesia”?

Atau, ada di….  hop!! Kalau diterusin, haqqul yaqin, bakal gak akan ada habisnya.

Baiklah. Tidak perlu secerdas Einstein atau sekritis Najwa Shihab untuk mengatakan kalau pemerintah sejujurnya kelewat payah dalam mengatasi corona, bahkan sejak Covid-19 belum berstatus pandemi.

Semua ini, saya kira, berawal dari Menkes Terawan. Sebagai pihak yang punya otoritas untuk bicara lebih akurat tentang ancaman global berupa virus, wabah, atau apalah itu, Menkes Terawan mestinya sigap dan tangkas.

Sial, yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi yang terhampar selama ini diperparah dengan berita simpang siur yang beredar. Informasi dari pemerintah yang kacau dan kurang transparan juga membuat warga tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengurangi potensi terpapar virus corona. Dan, kegamangan ini semakin paripurna sewaktu Menkes Terawan mengucapkan pernyataan yang tampak sangat tidak mencerminkan visi Presiden Jokowi itu: kerja, kerja, kerja!!!

Misalnya saja begini: Menkes Terawan bilang “enjoy saja” di tengah gempita dunia memerangi corona. Atau Menkes Terawan menghimbau agar kita “perbanyak doakarena Tuhan melindungi bangsa Indonesia dari corona. Atau, ini paling menggelikan, Menkes Terawan mensinyalir kalau masyarakat panik lalu memborong masker hingga harganya melonjak lebih dari tiga kali lipat, maka itu “salah warga sendiri”.

Memang, saat blio mengatakan itu semua, belum ada satupun kasus positif infeksi corona yang terdeteksi di wilayah Indonesia. Namun, ini tidak lantas menjadi alasan buat kita bertele-tele, atau malah bikin dagelan bebal yang tidak lucu saja belum.

Penyangkalan serupa ternyata tidak terjadi kali ini saja. Medio 1980-an, terdapat pernyataan seorang petinggi negara sehubungan dengan epidemi HIV/AIDS yang terkesan wagu, bahkan kelewat jayus daripada jokes “ada yang bulat tapi bukan tekad”. Dikatakan oleh si pejabat teras itu bahwa masyarakat Indonesia akan aman dari ancaman AIDS karena kita negara Pancasila.

((((Karena kita negara Pancasila))))

Masyaallah, abakadabra!!!

Kiwari, pasien positif pandemi corona di Indonesia mencapai angka 69, dan ada kemungkinan masih akan bertambah. Saya tahu kalau mengutuk kegagapan pemerintah tidak akan menyelesaikan masalah. Saya pun tahu kalau menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerja-lah yang membuat kita berharga. Ya, benar sekali, saya juga tahu kalau itu adalah quoted yang dinisbatkan kepada mendiang Gus Dur.

Namun, poin saya adalah biarkan saja pemerintah dengan segala kerelijiusan dan badan intelejennya itu fokus baku-statement. Sedangkan sebagai rakyat yang daif, kita sebaiknya pasang airplane mode saja. Dengan begitu, otak kita akan kedap dari segala simpang siur informasi, kabar hoaks grup Whatsapp, dan info-info toxic lainnya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pertama, jangan membercandai pandemi corona. Ini bukan soal Covid-19 yang kelewat suci untuk disentuh laksana agama, tetapi lebih pada konteks saat ini sangat tidak tepat. Ringkasnya, virus corona itu kelewat sensitif dan gak lucu untuk dibercandai ketimbang Anda, misalnya, teriak ada bom di dalam pesawat.

Kedua, kumpulkan informasi yang akurat. Saya pikir, tidak perlu kuliah khusus untuk mengetahui mana informasi yang akurat atau tidak. Anda bisa cari sendiri di mesin pencariaan google tentang hal ini. Dan oleh sebab itu, sekali waktu kita memang selayaknya nyalain mode wi-fi agar supaya tetap update, di samping mengaktifkan mode pesawat itu tadi.

Atau gampangnya, sejauh info itu beredar di grup Whatsapp, Telegram, dan aplikasi pesan singkat apapun, Anda selayaknya perlu skeptis, kendati pesan berantai itu berasal dari teman alumni, mantan calon pacar, atau bahkan sanak famili. Anda tentu ingat bukan, seteras Rocky Gerung saja bisa amsyong oleh Ratna Sarumpaet yang notabene keduanya adalah teman karib?

Meski begitu, tentu saja tidak semua yang beredar di grup Whatsapp, atau aplikasi daring apalah itu adalah abal-abal. Skeptis bukan berarti tidak setuju. Skeptis mengandaikan effort lebih untuk menelusuri seberapa sahih sebuah kabar d/a informasi.

Di titik ini, tidak ada salahnya untuk kita menerapkan sejumlah perangkat dalam ilmu hadis: lihat siapa yang meriwayatkan; seberapa banyak orang yang meriwayatkan; dan, apakah konten itu berisi hal yang masuk akal atau tidak. Jika satu saja dari ketiga perangkat itu tidak memenuhi syarat, maka sebaiknya “hentikan di kamu saja” informasi tersebut. Bukan apa-apa, ini demi kebaikan bersama.

Ketiga, seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa menjaga daya tahan tubuh agar tetap prima adalah harga mati. Ada banyak cara untuk itu, salah satunya dengan memelihara pola hidup sehat. Selain itu, menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar juga cukup menentukan. Terkesan normatif, sih. Tapi percayalah, itu adalah saran yang sahih, plus mutawatir. Dan tidak kalah krusial, keep calm serta tidak panik adalah kunci. Itu semua telah terbukti efektif untuk melawan corona.

Bahkan, sekalipun kita, naudzubillah tsumma na’udzubillah, terinfeksi Covid-19, asalkan tidak panik, bersikap wajar, dan tetap berpikiran positif, virus corona akan mundur teratur dengan sendirinya. Ini bisa kita simak dari perjuangan Elizabeth Schneider (37), warga Washington yang terbebas dari corona. Dia, seperti dikabarkan Harian Kompas (13/03/2020), bisa sembuh dengan sendirinya setelah mengarantina diri di rumah dan minum obat flu yang dijual bebas, dan tak lupa perbanyak minum air putih, serta istirahat yang cukup.

Tak kalah penting, adalah fakta bilamana sekitar 60.000 dari 120.000 lebih kasus positif Covid-19 berhasil sembuh. Di China, dari 80.000 kasus sebanyak 58.000 kasus juga telah berhasil sembuh. Pasien yang tidak terlalu sakit, dengan demikian, pada dasarnya bisa pulih kembali dalam rentang waktu dua pekan. Adapun pasien dengan kondisi lebih parah setidaknya butuh waktu 3-6 pekan untuk kembali sehat. Ini kata WHO lho.

Jadi, tetap waras ya boskuh

Lagian, corona insyaAllah bukan kiamat kok. Tetap positive thinking saja. Lewat pandemi corona kita setidaknya jadi tahu, bahwa ada dua hal yang tidak bisa kita kontrol, alias di luar kuasa manusia: Pertama, dan yang paling utama, adalah kehendak Tuhan. Apapun itu bentuknya; sedang yang kedua, ya, tidak lain dan tidak bukan adalah pemerintahan Presiden Jokowi.