Gus Dur dan Keajaiban Tidur yang Jarang Diketahui

Gus Dur dan Keajaiban Tidur yang Jarang Diketahui

Gus Dur dan Keajaiban Tidur yang Jarang Diketahui

Tulisan ini membedah keajaiban tidur dan sisi sumber pengetahuan yang tak terambah selama ini—sekurangnya di Dunia Masakini kita. Di dalamnya saya akan mengambil Gus Dur sebagai model, karena Gus Dur adalah contoh yang nyata dalam topik saya ini dan memiliki live-value yang kuat. Sebagaimana sosok Gus Dur yang memiliki akar tradisional yang kuat berpunca di khazanah pesantren, kitab kuning dan tasawwuf, lalu berpuncak di neo-modernis—sekurangnya begitu menurut Barton— yang siap dengan perbedaan dan merayakan keberagaman. Ini saja sudah bersesuai dengan pameo sufistik “Al-Kastrah fil Wahdah – Al-Wahdah fil Kastrah”.

Saya makin punya alasan untuk mengulik “Ajaibul Qolb”, satu topik dalam pemikiran Hujjatul Islam dalam Khimiyaus Sa’adah. Satu kitab klasik tetapi tidak kalah menariknya dengan buku-buku rujukan yang bernuansa Self-improvement atau Mind-Body-and-Soul Building yang berbau psikoanalisa di era modern dari Barat yang begitu trending.

Khimiyaus Sa’adah atau Kimiawi Kebahagian or Chemistry of Happiness, adalah buku pemikiran klasik tentang Dunia Kebahagiaan Kejiwaan anak manusia yang disumbangkan Islam melalui pena Al Ghazali (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali Ath-Thusi, W.505 H) Okey, saya akan menukik ke topik utama dulu, soal pembahasan kitab ini akan dengan sendirinya terlalui oleh main issue-nya.

Syahdan sebelum jadi presiden, Gus Dur pernah ketamuan  seorang ulama besar dari Aceh—min awliya’illah. Tak mudah dua tokoh ulama ini bisa bertemu dalam satu momen tetamuan. Mungkin cerita ini sudah masyhur di kalangan muhibbin KH Abdurrahman Wahid.

Namun hal yang aneh, bagi beberapa ini dianggap lucu, ketika dua orang arif ini sudah bertemu di ruang tamu tanpa meja-kursi, hanya lesehan—keduanya malah sama-sama tertidur. Mungkin tak terlalu lama, tetapi keduanya terbilang nyenyak juga. Selepas keduanya bangun, sang tamu berpamitan undur diri. Nyata dari pertemuan kedua tokoh ini tidak ada perbincangan ataupun dialog kata-kata. Semua tertidur kok.

Lalu, di moment lain—Gus Dur sering di acara-acara resmi, seremonial seperti forum seminar (bahkan saat menghadiri sidang paripurna DPR RI saat jadi Presiden RI ia pulas di kursi) nampak jelas tertidur. Namun, ketika sesi tanya-jawab, dialog, atau presentasi ia gugah dan bisa tune-in mengikuti alur dan bingkai topik pembicaraan tanpa melesak keluar dari “rumusan masalah” yang lagi hangat diperbincangkan.

Contoh kisah pertama, tergambar bagaimana dua orang Ariful-urafa’ berbagi data dan informasi pengetahuan dengan cara tidur—melalui alam bawah-sadar (Subconscious). Tidak ada yang bisa nguping apa obrolan yang saling mereka pertukarkan. Kecanggihan teknologi telik-sandi dan alat sadap, voice-recorder super sensitif pun tak bakalan menangkap merekam dialog bawah-sadar kedua arifun ini.

Kisah kedua, yang jamak dialami atau lebih tepanya dilakukan Gus Dur, yakni memilih tertidur di forum-forum diskusi sharing knowledge, dan sejenisnya, adalah merupakan solo-aksi yang diperankan Gus Dur di dalam membuka bawah-sadar sebagai gerbang dominan dalam menyerap, menampung dan menyimpan informasi dan data sebagai pengetahuan. Alhasil, artikulasi di alam sadar itu tak lain sekedar setrategi untuk transformasi ataupun transmisi pengetahuan ataupun informasi kedalam medium yang lebih beragam dan hiruk-pikuk dan chaotic.

Dulu saya gusar dengan fenomen Gus Dur yang demikian ini—mengapa bisa? Kalau menyimak penjelasan Gus Dur prihal prilakunya ini ia selalu menjelaskan dengan strata-level yang hampir tak pernah keluar dari bingkai logika teori komunikasi bahwa dalam sekian ratusan atau seribu kata sejauh perbincangan mengalir dan mengembang akan kembali ke topik semula. “Jadi topiknya itu-itu lagi, tak pernah kemana-mana,” jelasnya.

Penjelasan ini pun menggambarkan level kecerdasan yang dibawa Gus Dur. Yang padahal ada samudera tabula-rasa, yakni kertas putih fatrawi, yang dari dunia masakini dinamai Subconscious—yang ikut menampung dan menyimpan pengetahuan dan bekerja memintal informasi dan data. Mengapa bisa? Penjelasannya ada dalam Kimiawi Kebahagiaan Al Ghazali.

Hati Punya Dua Pintu Pengetahuan

 Imam Al Ghazali mendedahkan bahwa Hati itu punya dua pintu pengetahuan (I’lam, anna lil-Qolbi babaini lil Ulum; fasal Ajaibul Qolbi); Pintu pertama ada pada saat ia tertidur, gerbang bagi alam mimpi (Ahlaam) dan Pintu kedua pada saat ia terjaga (Alaaml Yaqdhoh). Gerbang pengetahuan saat terjaga tentu adalah bagian-bagian anggota sensorik tubuh, saraf, dan pancaindera yang menyerap (absorbing and observing) realitas dan informasi di dunia luar menjadi pengetahuan.

Karuan strukturnya cenderung positivistik empirik tinimbang intuitif dan reflektif. Sementara manakala ia tertidur, tertutuplah “pintu pengetahuan kedua” (Alaaml Yaqdhoh) ini, lalu terbukalah “pintu pengetahuan pertama” (Babul Bathin).

Arkian, pandangan yang lebih condong pada sumber pengetahuan ada di “pintu pertama” beranggapan—dan punya argument—bahwa kecerdasan anak manusia itu ada pada otak dan sensor motoriknya. Sementara kelompok yang beranggapan bahwa sumber pengetahuan ada di pintu kedua juga punya argument dan penjelasan yang tak kalah memikat—sebagaimana digambarkan oleh Al Ghazali dalam fasal Ajaibl Qolb di dalam Kimya’us Saadah.

Dan, Sang Hujjatul Islam mengakomodirnya dalam Kimaya’us Sa’adah dimana fasal Ajaibul Qolb menjadikan hati sebagai piranti sumber dan tempat mengumpulkan pengetahuan: bukan otak-pikiran. Mungkin karena itulah Gus Dur dianggap orang super cerdas, karena menyimpan data berbita-bita ribu di dalam hati—yang adalah “tabula rasa”, si “kertas putih”: alam bawah sadar.

Orang modern baru menyadari. Faktor bawah-sadar (Subconscious) 95% lebih besar dari pada alam sadar (Conscious) yang hanya 5%-nya dalam mendukung kecerdasan anak manusia—bahkan dalam memecahkan masalah – menemukan solusi. Karena itu ini mejadi perbincangan diskusi menarik dan di Barat sudah menjadi polemik, dan tak sedikit yang berpihak pada kalimat utama pokok pikiran paragraf ini. Bahwa, dimana anak manusia meletakkan pengetahuannya apakah di alam sadar atau bawah-sadar itu menentukan kecerdasannya.

Dan rupanya, kita bisa lihat Gus Dur sebagai model yang menyimpan informasi dan data pengetahuannya di bawah-sadar, dan ia bisa mengaksesnya dengan mudah. Dengan cara apa? Tidur.

Mari kembalilah hidupkan hati (di bulan Gus Dur) —raih mencerahan di alam yang semakin chaotic ini. Cag!

Referensi tulisan ini: Kitab Kimyaus Sa’adah karya Hujjatul Islam, Imam Al Gazali atau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad

Budiono adalah pekerja media, peneliti isu-isu ekologi manusia, seorang enthusiast sufistic Gusdurian, dan warga dunia pecinta kopi.