Pemahaman Pancasila seringkali jadi pengalaman membosankan sewaktu kita sekolah. Segala macam bentuk pelajaran berkait kewarganegaraan misalnya PMP, PSPB, PPKN, Kewiraan dianggap sebagai pengetahuan yang hanya bermanfaat untuk ujian belum berkait pengamalan.
Yang menarik, dalam percakapan beberapa bulan terakhir ini, banyak pendidik- guru dan orangtua, yang semula merasa “menjadi korban” berbagai penataran kemudian menyatakan pentingnya hal ini disampaikan kembali kepada anak-anak. Tantangan kita bersama, bagaimana membiasakan pengamalan relevan untuk generasi masa depan – bukan sekedar pengulangan dokumen yang tidak berhubungan dengan kehidupan.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dulu diajarkan di pelajaran Pancasila atau agama dengan menghafalkan nama agama “resmi” yang diakui pemerintah. Anak sekarang pengalamannya berbeda tentang kebebasan beragama. Sumber informasi tersedia di mana-mana, tentang banyaknya agama dan kepercayaan yang berbeda, bahkan di dalam “nama” yang sama. Pengamalan akhlak dalam agama dan antar agama, sekarang seharusnya lebih ditekankan, bukan hanya memberikan pengetahuan hukum atau hafalan ibadah.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Dua puluh tahun lalu, dunia digital dan globalisasi hanya menjadi paparan segelintir masyarakat. “Jenis” kemanusiaan yang dihadapi anak sekarang jauh lebih menantang. Teman main game online dari negeri yang namanya tidak pernah didengar, avatar atau selebritas yang mewakili identitas. Pengalaman adab dan peradaban yang dihadapi anak sekarang jauh lebih banyak. Sopan di jalan raya, rekayasa genetika dan efek rumah kaca, adalah contoh pilihan harian yang menuntut kematangan.
3. Persatuan Indonesia.
Sila favorit yang dilafalkan lantang anak saat upacara, karena terpendek dan termudah diucapkan. Mungkin karena itu penghargaan atau pertanyaan dari anak-anak mengenai makna sila ketiga, bukan hal yang sering jadi percakapan. Padahal sejarah dan perjalanan bangsa kita begitu panjang dan sulit dalam mewujudkannya. Kenyataannya banyak kita dididik dengan membicarakan tentang orang lain dan bukan berbicara dengan orang lain. “Bicara tentang” adalah belajar dalam situasi yang aman dalam balon kita sendiri, “bicara dengan” seringkali diawali ketidaknyamanan karena perjumpaan yang melintasi batasan. Anak-anak butuh pelajaran berkelanjutan, karena menjadi “satu” dan menjadi “Indonesia” butuh penghayatan bukan hanya di atas kertas atau di dalam kelas. Anak-anak perlu menghadapi pengalaman keragaman yang penuh kecanggungan, namun lama kelamaan menjadi menyenangkan karena dibiasakan.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Semua kita adalah rakyat. Sebagian menjadi pemimpin dan sebagian dipimpin. Semua kita perlu bijaksana, semua perlu terlibat musyawarah. Sebagian memilih atau dipilih sebagai wakil. Begitu banyak persyaratan bernegara, begitu sedikit peran yang dilatihkan pada anak-anak kita. Pemahaman hak dan kewajiban sebagai anggota komunitas diajarkan lewat tata tertib, bukan kesepakatan bersama di sekolah atau keterlibatan warga di rukun tetangga. Pelatihan kepemimpinan bukan jadi kesempatan bagi setiap murid, tapi menjadi kemewahan terbatas untuk sekelompok elit di sekolah yang kebetulan mendapat dukungan.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengalaman anak (dan orang dewasa) tentang ketimpangan banyak sekali didasarkan pada asumsi pribadi yang diwariskan antar generasi. Anak mengamati apakah Ibu adil pada si sulung dan si bungsu di saat kesakitan, murid menilai guru yang memberikan les tambahan dengan bayaran, penumpang mengikuti antrian di terminal atau membiarkan pengamen yang mencopet di pemberhentian. Semua interaksi sejak dini, menjadi awal dari persepsi tentang keadilan. Anak membangun interpretasi tentang kemiskinan – apakah disebabkan kemalasan atau sistem yang memperbesar kesenjangan. Anak menumbuhkan keyakinan tentang penting/tidaknya layanan kesehatan universal.
Banyak perubahan pendekatan yang perlu kita lakukan di pendidikan. Tanpa terasa, anak-anak kita akan menjadi warganegara Indonesia dan warga dunia yang dewasa. Sebagian gagal berkontribusi, tapi tidak sepantasnya dipersalahkan karena memang belum pernah dipersiapkan atau mendapat suri teladan.
Pendidikan Pancasila bukan isu partisan, dan tidak seharusnya jadi pertarungan kepentingan. Pancasila tidak sakti dengan sendirinya, hidupnya dikuatkan dan dipatahkan di berbagai ruang yang kita ciptakan, dalam percakapan dan perdebatan.
*) Najelaa Shihab (Pendidik)