Vaksin terbaik melawan masalah misinformasi adalah pemahaman dan nalar kritis. Kritis yang dimaksud bukanlah dalam pengertian julid atau nyinyir. Melampaui itu, nalar kritis adalah cara berpikir yang runut, logis, dan argumentatif.
Pernahkah kamu terpapar informasi di media sosial yang menarasikan warna tutup botol pada air mineral dalam kemasan (AMDK) menunjukan perbedaan sumber airnya?
Atau, mungkin kamu pernah juga melihat unggahan di Tiktok yang menyebut bahwa aksi boikot terhadap produk atau brand yang mendukung genosida Israel terhadap Palestina tidak berdampak apapun?
Informasi-informasi seperti itu bukan hanya menyesatkan, tetapi juga sangat destruktif. Dalam kadar yang sangat serius, hal itu bisa merugikan orang lain. Kasus salah tangkap Pegi Setyawan adalah salah satunya.
Fenomena seperti itu bukanlah masalah baru, tetapi tampaknya semakin parah seiring berjalannya waktu. Beberapa waktu belakangan, percobaan pembunuhan terhadap mantan Presiden Donald Trump juga semakin meingkatkan penyebaran informasi yang salah di internet.
Menjawab persoalan yang disebut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai “infodemi” ini seorang peneliti bidang psikologi dari Louisiana State University, Collen Sinclair, berbagi beberapa wawasan penting bagi pengguna internet.
Katanya, di era serba media kita perlu memproteksi diri sendiri agar terlindungi dari misinformasi yang semakin merajalela.
Menurut Sinclair, vaksin terbaik melawan masalah infodemi adalah pemahaman dan nalar kritis. Kritis yang dimaksud bukanlah dalam pengertian julid atau nyinyir. Melampaui itu, nalar kritis adalah cara berpikir yang runut, logis, dan argumentatif.
Di sini, strategi “Prebunking“ dianggap bisa membekali diri para pengguna internet sebelum terpapar mitos dan kebohongan di tengah surplus informasi.
“Mengenali trik-trik yang digunakan agen disinformasi atau misinformasi dapat membantu Anda mengenali cerita palsu saat menemukannya,” jelas Sinclair dalam sebuah artikel berjudul 7 ways to avoid becoming a misinformation superspreader when the news is shocking.
Lawan Berita Palsu dengan Game
Para peneliti di University of Cambridge telah mengembangkan sebuah permainan online bernama “Bad News“. Berdasarkan studi dan riset medalam, mereka mengklaim game tersebut dapat meningkatkan kemampuan para pemainnya dalam mengidentifikasi kabar bohong.
Juga, permainan daring bernama “Fakey” bisa membantu para pengguna internet mengukur seberapa rentan kita terhadap cara berita disajikan. Mengetahui seberapa dapat dipercaya suatu sumber sangat penting untuk menghindari informasi yang salah.
Selain menggunakan game, Sinclair juga merekomendasikan untuk mempelajari lebih lanjut tentang cara kerja internet dan platform media sosial.
“Anda juga bisa belajar atau membacca lebih banyak penelitian ilmiah yang dapat mengurangi kerentanan terhadap berita bohong dan pernyataan menyesatkan tentang topik kesehatan dan sains ilmiah,” ujarnya.
Saring sebelum Sharing
Tidak hanya dikenal sebagai masyarakat yang sangat peduli terhadap urusan tetangganya, warganet Indonesia rupanya juga suka berbagi.
Dalam kadar tertentu hal itu bisa berdampak positif, walaupun seringkali membawa efek kurang produktif jika levelnya rasan-rasan yang berujung fitnah, apalagi terhadap urusan personal orang yang tidak dikenalnya.
Maka sebelum berbagi informasi di ruang internet, Sinclair menyarankan netizen untuk menyaring informasi sebelum membagikannya. Caranya? Dengan hiatus sejenak dan memikirkan apakah informasi yang akan kita bagikan benar adanya.
Menurut penelitian terbaru, orang yang menggunakan media sosial dalam keadaan emosi lebih mungkin berbagi informasi yang salah.
“Kebanyakan berita palsu dibagikan dengan cepat dan tanpa banyak pemikiran,” katanya. “Hanya dengan mengambil jeda sebelum berbagi, kita dapat memberi waktu bagi pikiran kita untuk menyetabilkan emosi kita dan mempertimbangkan konsekuensi dari berbagi informasi tersebut.”
Langkah itu dinilai efektif karena orang sering berbagi informasi berdasarkan reaksi insting ketimbang mengedepankan pemikiran kritis. Sinclair mencatat bahwa kemarahan dan kecemasan khususnya membuat orang lebih rentan terhadap distribusi berita palsu.