Pajak dalam Islam. Benarkah Tidak Ada? (Bagian 2-Habis)

Pajak dalam Islam. Benarkah Tidak Ada? (Bagian 2-Habis)

Pungutan pajak juga terjadi dalam sejarah islam, fungsinya untuk negara

Pajak dalam Islam. Benarkah Tidak Ada? (Bagian 2-Habis)

Ekonomi Islam pada dasarnya adalah antitesis dari praktik ekonomi Makkah yang sangat kapitalistik di mana kesejahteraan hanya terakumulasi di kalangan elit-elit Quraisy tertentu saja.[1] Dan hijrah Nabi ke Madinah tak semestinya hanya dilihat semata revolusi fisik atau spiritual semata, melainkan juga revolusi politik-ekonomi melawan ketidakadilan. (Baca bagian pertama: Pajak dalam Islam: Benarkah Tidak Ada?)

Dari doktrin maqasid al-syariah, maslahah, dan haramnya penimbunan kesejahteraan inilah pajak menemukan justifikasi normatifnya dalam Islam: kesejahteraan yang terakumulasi pada golongan tertentu, harus didistribusikan demi kemaslahatan.

Apa Bedanya dengan Jizyah, Kharaj, dan ‘Ushr?

Tentu ‘rasionalisasi’ di atas tak akan bisa mengubah pendapat sebagian saudara Salafi kita yang sangat terobsesi akan puritanisme Islam dan menginginkan dunia kembali seperti Arab abad keenam. Tapi apakah Islam masa itu sama sekali tidak mengenal sesuatu semacam pajak? Lalu bagaimana dengan jizyah, kharaj, dan ‘ushr?

Seperti disebut di awal, bahasa Arab masa Nabi tak punya kosakata yang akurat untuk menerjemahkan pajak yang eksis pada masa sekarang. Tapi bukan berarti sesuatu yang mirip dengan pajak tak ada pada masa itu. Hanya saja, definisi etimologis tak akan cukup memadai. Kita harus memaknainya secara terminologis dan mengurai berdasar sifat-sifatnya, untuk kemudian dibandingkan dengan pungutan yang ada pada masa itu. Ada banyak sekali definisi pajak, baik menurut para ahli maupun menurut undang-undang, yang kesemuanya tak jauh berbeda. Kita ambil saja definisi menurut undang-undang kita, pajak adalah:

“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”[2]

Definisi tersebut bisa diurai menjadi: (a) kontribusi wajib kepada negara, (b) yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan, (c) yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, (d) dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung, (e) dan digunakan untuk keperluan negara keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sekarang definisi tersebut bisa dipostulatkan ke dalam jizyah, kharaj, dan ‘ushr. Namun, sebelumnya, apa itu jizyah, kharaj, dan ‘ushr?

Jizyah secara etimologis berarti balas jasa atau ganti rugi (biaya) atas suatu perkara. Berasa dari kata “jaza”, kita menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia menjadi “jasa”. Secara terminologis, jizyah dapat diartikan pungutan kepada negara, yang dibayar penduduk non-muslim (ahlu dzimmah) yang tinggal di negara Islam berdasar perjanjian (‘aqd al-dzimmah) dengan pemerintah. Ulama-ulama madzhab hanafi menitikberatkan fungsi jizyah sebagai balas jasa atas perlindungan maupun fasilitas-fasilitas publik yang diberikan oleh pemerintah.

Sementara ulama madzhab syafii menganggap jizyah sebagai penyeimbang atas zakat yang wajib dibayar oleh penduduk muslim, juga pengganti karena ahlu dzimmah tidak wajib ikut perang.[3] Peruntukkan jizyah sendiri adalah untuk memperkuat garis depan, membuat benteng (saddut-thaghur), membuat jembatan, atau membayar hakim (qadli), gubernur, dan tentara.[4] Dapat diringkas menjadi, jizyah digunakan untuk membiayai keperluan negara dalam menyelenggarakan keamanan.

Dari sini dapat kita simpulkan jizyah sebagai (a) kontribusi wajib kepada negara; (b) yang terutang hanya oleh Orang Pribadi ahlu dzimmah; (c) bersifat mengikat (memaksa) berdasarkan kesepakatan antara ahlu dzimmah dan khalifah; (d) sebagai balas jasa untuk fasilitas publik (tidak mendapat timbal balik secara langsung); (e) dan berbeda dengan zakat yang peruntukkannya terbatas pada mustahik, jizyah digunakan untuk pemenuhan keperluan negara (bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat).

Perbedaannya dengan pajak, jizyah hanya terutang kepada warga negara non-muslim (sebagai penyeimbang di mana warga negara muslim yang diwajibkan membayar zakat dan ikut berperang), dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Pun demikian, kesepakatan ini bisa dimaknai hanya dasar hukum materiil belaka. Sedangkan dasar hukum formilnya, jizyah tetap berdasarkan konstitusi (berbeda dengan Indonesia yang konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar yang diturunkan ke dalam undang-undang, sebagai negara teokrasi, yang menjadi konstitusi negara Islam adalah Alquran dan hadis).

Dalam Alkuran, jizyah disebutkan oleh surat At-Taubah ayat 29, “Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah, yaitu golongan orang yang telah diberi kitab, sampai mereka membayar pajak (jizyah) sebagai pengakuan kedaulatan, dan mereka dalam keadaan takluk.” Sementara hadis untuk jizyah ada banyak sekali, misalnya hadis yang diriwayatkan Hasan bin Muhammad menyebutkan Nabi SAW pernah menulis surat kepada Majusi Hajar untuk mengajak mereka memeluk Islam, “Siapa saja yang memeluk Islam sebelum ini, serta siapa saja yang tidak diambil jizyah atas dirinya, hendaknya sembelihannya tidak dimakan, dan kaum wanitanya tidak dinikahi.”[5]

Namun, perbedaan jizyah dengan pajak, membuatnya tak bisa dijadikan analogi (qiyas) agar pajak menjadi halal. Begitu juga dengan kharaj. Pungutan yang pertama kali diperkenalkan oleh Nabi setelah mengalahkan Yahudi Khaibar ini, punya perbedaan yang sangat prinsip dengan pajak. Menurut tradisi peperangan Arab yang berlaku sebelumnya, harta benda milik pihak yang kalah menjadi rampasan perang (ghanimah) bagi pihak pemenang untuk dibagi-bagikan ke seluruh pasukan. Nabi tetap memperbolehkan pihak Yahudi Khaibar untuk menguasai tanahnya dengan konsekuensi membayarkan kharaj sebesar separuh hasil panen yang digunakan untuk membiayai keperluan negara.

Tradisi ghanimah masih sering diadopsi sampai ketika Umar bin Khatab menaklukan As-Sawad (suatu daerah yang sekarang berlokasi di Irak), kharaj diberlakukan kembali. Awalnya, banyak sahabat tidak setuju dengan keputusan Umar tersebut. Namun, kharaj terbukti lebih produktif bagi kemaslahatan umat ketimbang menjadi ghanimah yang dimiliki secara privat oleh pihak muslim.[6]

Yang mirip dengan pajak adalah ‘ushr. Awalnya, ‘ushr adalah pungutan yang hanya dikenakan kepada pedagang-pedagang non-muslim yang membawa barang dagangannya melintasi daerah kekuasaan negara Islam. Namun, pada perkembangannya, Umar bin Khatab membuat inovasi (ijtihad) di mana kharaj juga dikenakan kepada pihak muslim dengan tarif yang berbeda. Untuk pedagang dari luar wilayah negara Islam (harbi), ‘ushr dikenakan sebesar 10%. Untuk pedagang non-muslim dari daerah Islam, sebesar 5%. Sementara untuk pedagang muslim, sebesar 2,5%.[7] Inovasi Umar tidak hanya atas perdagangan, ‘ushr juga berlaku untuk pertanian dengan tarif: 10% untuk tanah yang dialiri dengan sumber-sumber alami, dan 5% untuk pengairan buatan.[8] Jika ‘ushr perdagangan dibayarkan setahun sekali, ‘ushr pertanian dibayar setiap kali panen. Nasab (batas) pengenaan ‘ushr adalah di atas 200 dirham untuk ‘ushr perdagangan, dan berat di atas 5 wasaq untuk ‘ushr pertanian.

 

Pendapat Jumhur Ulama

Sebenarnya, dari uraian di atas pendapat-pendapat ustadz Khalid Basalamah bahwa pajak tidak ada dalam Islam, bahwa pajak adalah perampokan, sudah gugur dengan sendirinya. Namun pernyataannya bahwa tidak pernah temukan adanya “pendapat ulama yang mengatakan boleh penetapan pajak secara mutlak di sebuah negara” harus dielaborasi. Termasuk pernyataannya bahwa “ada satu celah di mana pajak itu tidak apa-apa. Pada saat pajak itu bukan ditetapkan oleh pemerintah, bukan ditetapkan secara wajib.”

Di kalangan ulama madzhab Syafii, ada Imam Ghazali yang mengatakan pungutan selain zakat kepada rakyat diperbolehkan apabila diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak mencukupi. Namun Imam Ghazali memberi syarat jika masih ada dana di Baitul Mal, pemungutan tidak diperbolehkan. Sementara Muhammad Umaim Al-Barkati dari kalangan madzhab Hanafi, menyebut pajak dengan naibah. Naibah boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.

Al-Qurtubi yang bermadzhab Maliki mengatakan, ulama sepakat atas bolehnya menarik pungutan selain zakat apabila dibutuhkan. Pendapat ini didasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 177. Ulama-ulama madzhab Hanbali juga membolehkan pengumpulan pajak, mereka menyebutnya dengan al-kalf as-sulthaniyah. Bahkan Ibnu Taimiyah menganggap pajak yang diambil dari orang kaya merupakan jihad harta.[9]

Rashid Ridha dari kalangan ulama kontemporer (mutaakhirin) mengatakan, “Adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan.”[10] Sementara Yusuf Qardhawi juga menyebut, “Negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Dan tidak ada jalan lain selain dengan mengumpulkan pajak. Dan itu termasuk jihad harta.”[11] Mahmud Syaltut juga membolehkan hakim untuk memungut pajak dari orang kaya untuk kemaslahatan selama tidak berlebihan.[12] Begitu juga dengan Muhammad Abu Zahrah, ia menjelaskan pajak tidak ada di era Nabi karena solidaritas tolong-menolong dan semangat berinfak di luar zakat sangat tinggi, persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar berhasil mempersempit jarak sosial sehingga tidak diperlukan campur tangan negara.

Dengan demikian, pernyataan bahwa jumhur ulama tidak mengakui adanya pajak, tak dapat dipertanggungjawabkan.

Lalu Apa yang Haram, Sebenarnya?

Jika diselidiki lebih jauh, pendapat-pendapat yang mengharamkan pajak datang dari kalangan Salafi.[13] Di samping keyakinan bahwa tidak ada pungutan lain yang bisa dipaksakan kepada umat Islam selain zakat, pendapat mereka juga didasarkan pada hadis Nabi seperti yang dikutip oleh ustadz Erwandi. Setidaknya ada tiga hadis mengenai ini:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak masuk surga para pemungut ‘pajak’.

إن صاحب المكس في النار

Sesungguhnya pemungut ‘pajak’ di dalam neraka.

والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له

Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik ‘pajak’ bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya.[14]

Apa yang salah dari hadis-hadis di atas? Tidak ada. Yang salah adalah jika ‘maks’ diterjemahkan menjadi pajak. Apa itu maks sebenarnya? Yusuf Qardhawi mengatakan pajak yang berlaku saat ini berbeda dengan mukus (al-maks). Imam Syaukani menjelaskan maksud dari frasa shahibul maks sebagai para pemungut uang dari masyarakat tanpa hak.[15] Sementara Imam Al-Baghawi mengatakan, “Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul Maks adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang lewat di wilayah mereka dengan memberi nama Al-’Ushr.”[16] Berbeda dengan Al-Haitsami, ia menjelaskan, “Pelaku mukus adalah (a) petugas yang mengumpulkan zakat dan menyelewengkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau (b) mengurangi uang yang semestinya jadi hak penerima zakat.”[17]

Sampai di sini, perkaranya menjadi jelas: bahwa pendapat-pendapat yang mengharamkan pajak, pada dasarnya hanyalah salah penerjemahan belaka. [Habis]

[1] Tentu saya tak menyebut ekonomi Arab pra-Islam sebagai kapitalisme karena secara historis, modus produksi kapitalisme sendiri baru lahir pasca-revolusi industri. Istilah kapitalistik dipakai di sini karena pada derajat tertentu, praktik ekonomi Arab pra-Islam begitu mirip dengan praktik ekonomi masyarakat kapitalis.

[2] Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 j.o. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, Pasal 1 angka 1.

[3] Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah

[4] Syah Waliyullah dan Muhaddats Dahlewi, Hijjatullah al-Balighah, hal. 576

[5] Abu Ubaid, Al-Amwal

[6] M. Nashori Majid.

[7] Sa’id Hawwa, Al-Islam.

[8] Muhammad Sharif Chaudhry, Fundamentals of Islamic Economic Sytem.

[9] Ibnu Taimiyah, Al-Fatwa

[10] Rashid Ridha, Tafsir Al-Manar

[11] Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakah

[12] Mahmud Syaltut, Al-Fatawa Al-Kubra

[13] Saya sengaja menggunakan istilah Salafi ketimbang Wahabi karena makna yang terakhir ini telah berkembang secara peyoratif dan tidak diakui oleh golongan yang dituduh Wahabi itu sendiri.

[14] Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim ini berkaitan dengan kisah seorang wanita dari Ghamid yang kedapatan berzina. Setelah diputuskan hukuman rajam untuk wanita tersebut, Khalid bin Walid melemparkan batu ke arahnya. Darah wanita tersebut mengenai baju Khalid yang kemudian membuatnya mencaci wanita tersebut. Hadis tersebut adalah peringatan Nabi untuk Khalid.

[15] Imam Syaukani, Nailul Authar.

[16] Imam Al-Baghawi, Syarh As-Sunnah.

[17] Al-Haitsami, Mu’jamuz Zawaid