Pajak, Sedekah, dan Kapitalisme Negara

Pajak, Sedekah, dan Kapitalisme Negara

Pajak, Sedekah, dan Kapitalisme Negara

Setelah belakangan ramai bergulirnya isu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako, termasuk cabe, saya bertanya kepada saudara yang setiap harinya menjadi supplier sayuran di pasar Prambanan Yogyakarta.

“Gimana kalau jadi ditarik pajak buat cabe, Kang?”

“……”

Tidak ada jawaban. Malah seperti orang kebingungan, bhaaa. Saya pun langsung menanyakan harga cabe terkini lalu mengambilnya beberapa kilo sesuai pesanan pelanggan Kedaisayuran.

Keputusan memberikan PPN untuk sembako, menurut beberapa sumber pemberitaan di media, adalah keputusan yang gegabah. Apalagi di masa pandemik seperti saat ini.

#

 

Pada Subuh hari dalam perjalanan menuju atau sepulang dari pasar, beberapa kali saya mendapati dua santriwati duduk di teras sebuah panti asuhan yang lokasinya persis di utara Jalan raya Jogja-Solo. Selintas, keduanya nampak seperti sedang menghafalkan Alquran. Sebuah pemandangan yang selalu berhasil mencuri perhatian saya pada pagi buta. Sambil terus memacu sepeda motor, pemandangan menyaksikan kedua santriwati itu tidak luntur begitu saja dari ingatan. Muncul beragam perasaan yang sulit untuk dijelaskan: terharu bahagia, ketenangan, dan membawa ingatan saya kembali ke masa-masa belajar di pondok, dll.

Sekali waktu pada tahun 2017, untuk keperluan tugas akhir, saya berkunjung ke panti asuhan tersebut. Bersama relawan Simpul Sedekah, sebuah komunitas sedekah jalanan di Yogyakarta, kami mengantarkan nasi bungkus untuk buka puasa para santri. Kegiatan itu dinamai Tour de Panti: mengunjungi empat atau lima panti asuhan dan pesantren setiap hari Senin dan Kamis sore. Di salah satu rumah donatur nasi ifthar itu, sebuah rumah besar bertingkat tiga atau empat milik seorang pengusaha di Jogja, terdapat sekitar 40-an anak yatim yang tinggal di sana, diasuh, dan dibiayai pendidikannya.

Singkat cerita, sedekah dalam pemaknaan komunitas sedekah itu, tidak terbatas pada uang atau nasi untuk didonasikan, tetapi juga tenaga dan keterampilan (seperti menyetir) serta pikiran agar kegiatan kebaikan itu terus berlangsung. Tidak juga seperti yang dipahami oleh lembaga filantropi modern bahwa sedekah dan zakat harusnya disalurkan melalui lembaga amil zakat kredibel untuk program jangka panjang seperti dengan mengadakan pelatihan dan keterampilan hidup lainnya. Seperti dalam pepatah lama bangsa Cina: memberikan kail dan diajari cara memancing maka mereka akan makan untuk sepanjang hidupnya. Bukan hanya diberi ikan untuk makan satu hari saja.

Para relawan di komunitas itu sama sekali tidak mendapatkan gaji. Mereka melakukannya juga bukan atas dasar keresahan atas problematika sosial atau mungkin semacam keharusan, melainkan karena mereka ingin melakukannya dan menikmati kegiatan itu. Tentu dengan beragam motif.

“Allah yang menggaji langsung, Mas.” kata salah satu relawan.

“Untuk mengisi waktu luang,” kata yang lainnya.

#

 

Beberapa hari lalu saya membaca postingan Facebook Mas Saleh Abdullah tentang masyarakat di semenanjung Skandinavia seperti Finlandia, Denmark, Islandia, dan Norwegia yang tidak menyetujui diberlakukannya pengurangan pembayaran pajak. Sebab, pajak tinggi yang dibayarkan oleh mereka sebanding dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya: pendidikan gratis dan berkualitas dan merata, fasilitas kesehatan memadai, jaminan kehidupan bagi lansia dan subsidi bagi penganguran. Negara-negara yang terletak di wilayah Eropa utara itu juga menempati urutan teratas sebagai negara paling bahagia di dunia (https://worldhappiness.report/blog/media-round-up-on-the-world-happiness-report-2021/).

Sesama warga saling percaya dan bekerja sama. Bersahabat dengan alam, jam kerja dan sekolah terpendek di dunia, tetapi tetap produktif. Rakyat percaya kepada pemerintah dan pemerintah tidak mengkhianati kepercayaan itu. Negara-negara itu lebih dikenal dengan sistem negara kesejahteraan alias welfare state.

Nah, di negara-negara dengan sistem negara kesejahteraan seperti itu nampaknya tidak banyak lembaga atau komunitas kedermawanan/filantropi, penyalur sedekah seperti Lazis, dan semacamnya. Sebaliknya, negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, Turki, dan Mesir dipenuhi dengan beragam inisiatif kedermawanan.

Mona Atia dalam artikelnya “A Way to Paradise”: Pious Neoliberalism, Islam, and Faith-Based Development kurang lebih mengatakan bahwa menjamurnya lembaga sedekah berkaitan erat dengan ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh paham ekonomi politik yang dianut oleh negara. Jika di negara-negara dengan sistem welfare state seperti di semenanjung Skandinavia memberlakukan pajak yang tinggi dan negara mengambil kendali atas masalah kesejahteraan rakyat, di negara seperti Indonesia urusan kesejahteraan rakyat itu diserahkan kepada lembaga di luar pemerintah, termasuk dengan cara memompa semangat kewirausahaan, dan membuat UU Cipta Kerja, eh, membuka lapangan pekerjaan.

Sialnya lagi, korupsi merajalela. Sebagian masyarakat, saya kira, bukannya tidak mau membayar pajak, tetapi kepercayaan kepada pemerintah terbilang rendah untuk dipercaya mengelola pajak rakyatnya.

Mungkin butuh waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun bagi negara ini untuk bisa seperti negara-negara kesejahteraan itu. Itu pun kalau ada kehendak ke arah sana.

Dengan mengetahui geografi ekonomi negara dan inisiatif kedermawanan seperti ini, rasanya kok tidak ada cara lain bagi kita sebagai warga negara selain saling bergandengan tangan, saling membantu. Kalau yang diunggulkan hanya berlomba dalam kemewahan individual, tidak peka kepada lingkungan sekitar, seolah kita sedang berjamaah menuju jurang kehancuran.

Kekuatan kita hari ini rasa-rasanya kok hanya tinggal solidaritas sosial itu. Tidak apa-apa lembaga dunia menilai kita sebagai negara dengan pendapatan perkeluarganya terbilang rendah. Jaring pengaman sosial kita yang paling depan bukan pendapatan keluarga ataupun bantuan dari pemerintah kok, tetapi ikatan sosial kita sebagai manusia. Saling bantu dan saling jaga. Ini pula yang saya kira bisa menjelaskan kenapa jarang sekali orang mati kelaparan terutama di wilayah pedesaan.

Terakhir, ada sebuah pernyataan menarik dari Simon Sinek, penulis buku Leaders Eat Last yang kira-kira begini: pemerintahan otoriter dijalankan di atas perpecahan rakyatnya. Persatuan rakyat adalah musuh utamanya. Dalam suasana seperti itu,  kita tidak lagi melihat pemimpin yang patut untuk diikuti, melainkan hanya sekumpulan orang yang menempati jabatan tertentu dan dengannya dia berkuasa. Kita patuh karena kedudukannya, tapi tidak menjadi pengikutnya.