Persisnya saya lupa tahun pertama kali saya bertemu Arswendo Atmowiloto. Seingat saya pertemuan ini terjadi di sebuah acara di Bentara Budaya di depan gedung Harian Kompas di Palmerah, Jakarta Selatan.
Nama Arswendo mulai saya kenal melalui tulisannya di majalah Horison edisi 1980-an berjudul “Film Biru” di kios majalah dan buku bekas saat saya SMA di Lampung. Semoga saya tak keliru judulnya.
Selebihnya saya mengenal Arswendo lewat sinetron, novel dan tabloidnya yang kontroversial, ” Monitor”. Juga melalui beberapa pertemuan langsung dengannya secara kebetulan ketika saya di Jakarta.
Arswendo pada masa awal kepengarangnnya pernah meminjam mesin ketik kelurahan dan menulis karangan di kantor kelurahan. Dan ia tampil ngejreng berbaju motif kembang-kembang ketika namanya mulai dikenal di Solo sebagai pengarang. Demikian sebagian pengakuan proses kreatifnya yang saya tahu.
Setelah omong sana omong sini dengan saya di teras Bentara Budaya itu, tanpa saya duga Arswendo bertanya, “Binhad itu nama asli?”
Saya ingin menjawab pertanyannya itu, tapi Arswendo terburu menjawab sendiri pertanyaannya. “Kan biasa sastrawan memakai nama pena,” ujarnya nyengenges sambil menikmati makanan yang disajikan panitia di acara itu.
Saya batalkan untuk memberikan jawaban saya yang sebenarnya saat itu, maksud saya menjawabnya agar bisa memperterang kisah dan latar belakang nama depan saya itu. Tapi saya pikir apa perlunya.
Tapi malam ini saya mendengar berita kematiannya. Saya merasa perlu menjawab pertanyaan Arswendo kepada saya pada masa hidupnya yang belum sempat saya jawab itu.
Sebelumnya saya mesti bercerita tentang nama Arswendo Atmowiloto. Nama “Arswendo” adalah modifikasi dari nama asli “Sarwendo” — maklumlah ia sastrawan. Dan Atmowiloto adalah nama bapaknya.
Nama ayah saya Suhadi, sepulang naik haji di depan namanya diimbuhi Ahmad. Haji Ahmad Suhadi. Seperti Arswendo, saya juga punya lisensi memodifikasi nama saya.
Singkat cerita, saya ini adalah Bin Ahmad Suhadi (artinya putranya Ahmad Suhadi) yang saya singkat Binhad dan kemudian saya taruh di depan nama lahir saya. Nurrohmat.
Saya dan Arswendo dikenal publik pembaca bukan dengan nama sebenarnya. Kami bukan hal langka dalam soal ini.
Saya tak percaya kepada pendapat Arswendo bahwa mengarang itu gampang. Yang memang gampang adalah memodifikasi nama pengarang.
Barangkali Arswendo berpendapat bahwa mengarang itu gampang demi menyembunyikan ketakgampangan mengarang agar memotivasi orang untuk mengarang.
Di tangga lantai II gedung Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Cikini saya berpapasan dengan Arswendo. Ia bersepatu pantopel yang terlipat dan terinjak bagian belakangnya. Ia berkaos lengan panjang polos dan bercelana blue jeans agak lusuh. Sebagian rambutnya terlihat beruban. Tampak agak jengkel rautnya.
“Ada perlu apa, Mas?” Agak canggung saya bertanya. Saya tak tahu harus ngomong apa saat itu.
“Katanya ada rapat hari ini di DKJ. Tapi saya tahu rapatnya batal setelah saya nyampe sini.” Suaranya terasa kecewa.
Arswendo langsung pulang dengan menuruni tangga gedung.
Tapi Arswendo sungguh baru berpulang hari ini.
Saya menyesal baru hari ini bisa menjawab pertanyaannya tentang nama depan saya itu. Tapi bisa melegakan saya sekarang.
Semoga lega pula perjalanan pulang abadimu, Mas.
Damai selalu.