Sejak pertama kali tayang di bulan November 2018, film animasi Nussa telah menuai banyak kontroversi. Tingginya fragmentasi umat Islam di Indonesia mendorong munculnya berbagai tafsir, dari mulai soal hal permukaan seperti pakaian dan tingkah laku, hingga tafsir soal hal dibalik layar seperti konstruk narasi dan ideologi Nussa.
Nussa, film animasi yang menyejukkan secara visual dan secara pengisian suara, menjadi ‘bola panas’. Nussa menyeruak di tengah kosongnya pasar ‘kartun Islami’ di Indonesia. Ia dapat menenangkan para orang tua yang khawatir kalau anaknya tak kebagian jatah tayangan sehat ketika menonton TV atau Youtube.
Namun, seberapa jauh kekhwatiran itu dapat terobati berkat Nussa?
Kartun adalah segmen tanyangan yang identik dengan anak-anak. Di Indonesia, kebutuhan akan tayangan kartun utamanya diisi oleh kartun Jepang dan Amerika, seperti Doraemon, Ninja Hatori, Spongebob Squarepants, Hey Arnold, dan sejenisnya.
Jepang dan Amerika setidaknya telah mengisi kebutuhan kartun di Indonesia sejak 90an hingga kini. Baru di tahun 2009, serial kartun besutan Malaysia, Upin Ipin muncul perdana di TPI dan langsung mendapat sambutan hangat dari pemirsa Indonesia.
Upin Ipin menyajikan kedekatan budaya, agama dan nilai pergaulan. Di Upin Ipin, mungkin adalah kali pertama pemirsa Indonesia mendapat suguhan ‘lebaran’ dalam bentuk visualitas kartun, yang sebelumnya tak pernah muncul di kartun Jepang dan Amerika.
Adengan mengejar ayam kampung, representasi orang kulit kuning, pengenaan pakaian koko, peci, hijab dan sejenisnya, juga adalah kenikmatan visual yang mustahil pemirsa Indonesia dapatkan di kartun Jepang dan Amerika―yang umumnya menyajikan kimono, kuil, adu jurus, orang kulit hitam, rusa, pohon cemara, natal, bikini, hubungan heteroseksual dan individualisme.
Artinya, Upin Ipin adalah ‘respirator’ pertama yang memberikan kelegaan nafas bagi orang tua Indonesia yang anaknya sehari-hari dijejal nilai-nilai Barat dan Timur Jauh. Ada rasa aman tersendiri atas hadirnya suguhan narasi melayu, Islam dan Asia Tenggara.
Agak aneh, mengapa negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia perlu menunggu beberapa dekade untuk dapat menikmati ‘kartun Islam’? Itupun harus mengimpor dari negeri tetangga.
Kartun adalah sebuah karya yang membutuhkan kemampuan teknis sekaligus naratif. Ketika umat Islam Indonesia ditekan secara diskursif dan terpinggir secara ekonomi saat era Orde Baru, bagaimana sempat umat Islam memikirkan dua kebutuhan kemampuan tersebut?
Baru setelah Reformasi, ketika kue ekonomi mulai berpihak pada umat Islam, ketika organisasi Islam bersemarak di mana-mana, dan ketika generasi baru punya cukup energi dan alat untuk belajar, mungkin Nussa adalah sejenis magnum opus yang membebaskan orang tua muslim-modern dari kecemasan atas bahaya globalisasi berserta rupa-rupa nilai yang dibawanya, bahwa “kini telah hadir kartun yang 100% Indonesia dan 100% Islami.”
Dengan menyajikan Nussa, orang tua tidak lagi khawatir bahwa apakah anaknya akan meniru Tuan Kreb Si Kapitalis, Ilmuan sekuler berbikini ala Sandy Si Tupai, siswa bucin yang malas belajar seperti Nobita ataupun meniru pelaku genosid seperti Uchiha Itachi.
“Anak laki-laki berusia 9 tahun yang hadir sebagai karakter utama di cerita ini memiliki sifat anak kecil pada seusianya. Terkadang mudah marah, merasa hebat dengan diri sendiri, namun memiliki sifat keingintahuan yang tinggi tentang luar angkasa sehingga membuatnya ingin menjadi astronot dan hafiz Quran, sebagai bentuk bakti kepada orang tua. Di antara teman-temannya, Nussa sering kali menjadi problem solver pada sebuah konflik di cerita tertentu. Dengan berbekal pengetahuan tentang agama yang cukup luas, Nussa dijadikan sebagai role model adik dan para sahabat.” Adalah biodata Nussa di website resminya.
Nussa adalah manifestasi dream-child orang tua muslim-modern Indonesia: rajin belajar, rengking-sentris, beriman, bertaqwa, suka menolong, bercita-cita jadi astronot, ambisius terhadap iptek dan konstruktif terhadap segala kesalahan dan kelupaan.
Secara umum, karakter Nussa terangkum dalam tiga kata: agama, sains dan akhlaq. Tiga kata yang menyimpan sekaligus romantisme kejayaan abad klasik dan kegelapan abad 20 umat Islam. Kombinasi antara agama dan hard-science adalah pantulan mimpi umat Islam modern yang rindu capaian teknis namun cuek terhadap capaian abstrak. Umat Islam modern mengandalkan doktrin sebagai pendisiplinan pikiran dan perilaku, dibanding mengandalkan nalar kritis ataupun keberanian bertanya.
Dengan menghadirkan unsur iptek dan angkasa dalam Nussa, umat Islam sedang mengandaikan kejayaan era emas Islam ditengah hiruk-pikuk pendidikan modern bersistem rengking yang hierarkis, dan di tengah keterpinggiran imajinasi yang mungkin tak siap berhadapan dengan konsekuensi bila Nussa benar-benar berhasil jadi astronot.
Pada faktanya, di era 4.0, pendidikan agama dan akhlaq mendapat pertanyaan mendasar. Opininya Ahmad Najib Burhani berjudul Keadaban Digital Kita yang terbit di harian Kompas mengulas soal hasil survei Microsoft yang menempatkan netizen Indonesia pada posisi terbelakang dalam masalah etika digital, dan kemudian mengajukan pertanyaan: lalu kemana bekas pendidikan Pancasila dan pendidikan agama yang selama ini kita berikan?
Jawaban pertanyaan itu terletak pada terjadinya pembelahan dan anonimitas identitas diri. Berkat gawai, orang bisa membelah ataupun menyembunyikan identitas. Dengan demikian, ia punya kebebasan untuk menjelajah ke dunia paling liar yang mungkin bersebrangan dengan ideologi ataupun doktrinnya, dan tak perlu bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan Generasi Alpha (cah-cah cilik), sehari-hari bersama gawai.
Dream-child yang direpresentasikan Nussa memang terlihat meyakinkan. Namun dream-child adalah pemaksaan romantis yang masih mengandaikan bahwa kombinasi agama, sains dan akhlaq dapat membawa anak pada keselamatan di dunia.
Faktanya, itu jauh dari cukup. Andai Nussa mempertahankan rengking-sentrism-nya, misal, hingga SMA, maka sulit baginya untuk punya kemampuan life-trick ataupun manipulasi krisis yang umumnya dapat diperoleh dari kegagalan.
Akan tetapi, yang paling vital adalah, dream-child yang paksakan pada Nussa menghilangkan karakter alamiah terpenting anak usia 9 tahun: bertanya secara liar. Kenapa harus solat? Allah ada di mana? Atau pertanyaannya Fizi kalau surga ada di bawah telapak kaki ibu, maka tak ada ibu berarti tak ada surga? Kalau manusia pindah ke Mars, solatnya madep kemana?
Bagi pegiat dakwah, Nussa adalah prestasi umat Islam. Ia memuaskan hasrat visual dan performatif umat Islam yang tertahan selama berpuluh tahun. Di saat yang sama, ia juga mengemban visi Islam. Namun bagi kritikus budaya, Nussa memuat narasi anak-anak yang romantis. Ia tak setajam Spongebob yang berani menggugat Tuan Kreb ketika Krusty Krab diubah menjadi bisnis Fake-News.
Di era 4.0, mana yang akan lebih sukses bertahan hidup? Anak saleh jago hard-science? Atau anak yang saleh namun kritis?