Nurcholis Madjid Naik Haji: Prinsip Persamaan Umat di Depan Ka’bah

Nurcholis Madjid Naik Haji: Prinsip Persamaan Umat di Depan Ka’bah

Pengalaman spiritual Cak Nur selama menunaikan haji tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi juga mencakup aspek sosial yang sangat kental.

Nurcholis Madjid Naik Haji: Prinsip Persamaan Umat di Depan Ka’bah
Ilustrasi: Cak Nur (Nurcholish Madjid)

Islami.co (Haji 2024) — Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki makna spiritual yang sangat mendalam bagi setiap Muslim. Bagi Cak Nur (Nurcholis Madjid), pengalaman pertama menunaikan haji pada tahun 1969 adalah sebuah perjalanan spiritual yang begitu personal dan menyentuh. Meskipun sebelumnya pernah melaksanakan umrah pada tahun 1968, namun haji memberikan pengalaman yang berbeda dan lebih mendalam.

Kisah dan pengalaman haji Cak Nur itu diabadikan dalam sebuah buku berjudul Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh), Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993).

Ketika pertama kali tiba di Tanah Suci dan melihat Ka’bah, Cak Nur merasakan sebuah perasaan khusus yang sulit digambarkan. Melihat langsung tempat yang menjadi titik orientasi setiap salat, tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, dan tempat turunnya Al-Quran, memberikan kesan yang sangat mendalam baginya. Setiap hari umat Islam mengarahkan wajah dan pikirannya ke Ka’bah, sehingga berada di sana seolah-olah menyaksikan pusat dari etos dan makna hidup kita.

Ka’bah bukan hanya sekadar bangunan, melainkan simbol kesatuan seluruh umat Islam di dunia. Ketika berada di hadapannya, hati terasa tersentuh dengan keagungan dan kesakralan tempat tersebut. Tidak heran jika banyak jamaah haji yang terharu, menangis, dan merasakan kedamaian yang mendalam saat berada di sana. Bagi Cak Nur, momen-momen ini merupakan puncak dari pengalaman spiritual yang membawa refleksi mendalam tentang makna hidup dan keimanan.

Pengalaman spiritual Cak Nur selama menunaikan haji tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi juga mencakup aspek sosial yang sangat kental. Di Tanah Suci, prinsip persamaan umat begitu terasa. Tidak ada perbedaan status sosial; semua orang, dari berbagai latar belakang, berkumpul dengan tujuan yang sama, yaitu beribadah kepada Allah. Ka’bah dan sekitarnya menjadi tempat di mana setiap orang diperlakukan sama, tanpa memandang status atau kedudukan.

Salah satu hal yang menarik perhatian Cak Nur adalah cara interaksi sosial di Tanah Suci. Masyarakat Arab yang memiliki gaya komunikasi yang keras dan tegas, sering kali terlihat berbeda dengan kebiasaan kita. Namun, di balik itu, terdapat prinsip “persamaan umat” yang sangat dijunjung tinggi. Hal ini karena di Tanah Suci, tidak ada hierarki yang memisahkan orang berdasarkan status sosial mereka. Semua orang memiliki hak yang sama untuk mengakses tempat-tempat suci seperti Multazam, Makam Ibrahim, dan Hijir Ismail. Semua jamaah, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk mencium Hajar Aswad.

Menurut Cak Nur, Perbedaan ini semakin jelas terlihat jika dibandingkan dengan praktik keagamaan di tempat suci agama lain, seperti di kota suci Benares di India. Di sana, hanya kasta tinggi yang diperbolehkan masuk secara bebas, sementara kasta rendah harus tunduk dan menghormati kasta yang lebih tinggi. Sebaliknya, di Makkah, tidak ada diskriminasi berdasarkan status sosial. Semua jamaah, tanpa memandang asal usul atau kondisi ekonomi mereka, diperlakukan sama dan memiliki hak yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pengalaman ini mengajarkan Cak Nur tentang pentingnya menghargai persamaan dan kesederhanaan. Di Tanah Suci, kita bisa bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang yang mungkin hidup dalam kondisi yang sangat sederhana. Pada tahun 1969, banyak jamaah yang datang dengan berjalan kaki dari tempat yang sangat jauh dan hidup dalam kondisi yang minim. Namun, semangat dan ketulusan mereka dalam beribadah sangat menginspirasi. Mereka datang dengan hati yang penuh kebahagiaan dan rasa syukur karena bisa berada di rumah Allah.

Kini, kondisi di Tanah Suci telah banyak berubah. Kemajuan dan meningkatnya kesejahteraan umat Islam membuat suasana di sekitar Ka’bah menjadi lebih baik. Fasilitas yang tersedia semakin memadai dan kondisi fisik jamaah pun jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Meskipun demikian, esensi dari ibadah haji tetap tidak berubah. Ibadah haji tetap menjadi momen untuk memperdalam spiritualitas, merefleksikan diri, dan memperkuat hubungan dengan Allah.

Bagi Cak Nur, perjalanan haji adalah momen untuk merenungkan makna hidup dan memperdalam pemahaman tentang agama. Setiap langkah di Tanah Suci adalah langkah menuju peningkatan spiritual dan pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat kehidupan. Pengalaman ini mengajarkan kita untuk selalu menghargai persamaan, memperkuat persaudaraan, dan menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.

Di tengah kesibukan dan keramaian dunia modern, pengalaman spiritual seperti yang dirasakan Cak Nur selama menunaikan haji memberikan ketenangan dan kedamaian yang sulit ditemukan di tempat lain. Ka’bah adalah simbol kesatuan dan kebesaran Allah yang selalu mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Sang Pencipta dan dengan sesama manusia. Pengalaman ini akan selalu menjadi bagian penting dalam hidup Cak Nur, memberikan inspirasi dan kekuatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

(AN)