“Seorang tidak dapat disebut orang yang benar-benar faqih, sebelum kita melihat keanekaragaman dalam al-Qur’an” sebuah pernyataan singkat dari Muqatil bin Sulaiman seolah menampar kita dari realita yang akhir-akhir ini terjadi.
Melihat fenomena sekarang ini, banyak orang yang mengaku paling ahli ilmu keagamaannya, paling benar pemahamannya dan besar kepala dengan keakuan yang lainnya. Sehingga keras dalam berpendapat maupun tekstual dalam memahami bahkan jumud dalam berpikir.
Sungguh sangat disayangkan, menghakimi orang lain sedemikian rupa, apakah mereka lupa belajar teori yang lainnya dalam memahami makna al-Qur’an? Apakah mereka pula bahwa al-Qur’an disajikan berlaku hingga akhir zaman? Baiklah, mari kita berdiskusi sejenak.
Dalam satu kata, tidak terpungkiri memiliki ambiguitas sehingga tak hanya bermakna satu saja. Seperti kata “jatuh” dalam memahami kata jatuh, tentu saja kita harus melihat untuk apa kata tersebut digunakan dan dengan apa pula kata tersebut disandingkan. Jatuh tak selamanya sesuatu yang terjun dari atas ke bawah dengan ketidaksengajaan. Adapula jatuh cinta dengan binar binar asmara serta jatuh untuk konteks yang lainnya.
Contoh yang lainnya adalah kata“menarik” kata tersebut dapat dipahami menarik tali atau bahkan penampilan yang menarik.
Berkaca dari kenyataan yang ada, dapat kita saksikan bahwa dalam jangka waktu dekade saja sebuah makna dapat bergesersecara berlahan tapi pasti, apalagi dengan al-Qur’an yang turun pada abad ke-7 M? sudah berapa dekade yang terlewati dari masa itu hingga masa kini.
Misalkan kita terus sak-klek dengan makna yang ada pada abad segitu, lalu apa bisa slogan al-Qur’an yang katanya shahih li kulli zaman wa makan di terapkan? Tentu penulis sangsi akan hal itu.
Atau dapat pula mengambil dari fenomena kata “hijrah” yang makna simpelnya adalah migrasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya, kini kata hijrah menjadi populer. Perubahan seseorang menggunakan pakaian tertutup rapat –tetapi hatinya belum tentu tertutup dari keburukan- berjidat hitam, berjanggut tipis –sudahlah tidak baik kita menghakimi- menganggap kesucian diri dan sangsi dengan ketaqwaan orang lain yang dilalui dengan jalan berbeda.
Namun dengan bangga seseorang menyatakan diri untuk “hijrah” harusnya sebelum mendeklarasi demikian, coba berontemplasi dahulu, apakah hijrah hanya sekedar menutup aurat lalu terlihat paling suci? Atau bahkan paling benar? Mungkinkah lupa bahwa ada Tuhan yang Maha dari segala Maha?
Kita dapat melihat firman Allah Swt dalam surah al-Ahzab: 56 :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.”
Dari ayat di atas, dapat ditarik beberapa tiga klasifikasi pertama Allah bersholawat, kedua malaikat bersholawat dan ketiga manusia bersholawat. Nalarnya, apakah Allah Sang Maha Agung jenis bersholawatnya sama dengan manusia dan malaikat? Jawab dengan tegas pasti mengatakan “TIDAK” –masak iya Tuhan disamakan dengan manusia, ga level lah ya!- untuk itu jenis sholawat Tuhan adalah “maghfiroh” –menurut keterangan dari Dosen pengampu mata kuliah semantik ketika menjelaskan makna ganda-
Selain itu, sungguh naas bagi orang yang menganggap bahwa berselawat itu bid’ah karena tidak ada di zaman Rasulullah. Coba kita berpikir ulang, apakah mungkin seorang Rasulullah akan memuji dirinya sendiri? –nanti dikira gumedhe–
Dari beberapa contoh diatas, menjadilah masyarakat beragama yang cerdas dan mencerdaskan. Tidak hanya paham lalu buta terhadap warna lain. Bukankah pelangi lebih indah jika warna tersebut berbeda?
Kemudian penulis teringat suatu ungkapan oleh Fachrudin Faiz yaitu “aku pergi ke Negara barat kulihat Islam, tapi tidak kulihat muslim. Dan aku pergi ke Negara Arab, kulihat muslim tapi tak kulihat Islam” ungkapan tersebut merupakan suatu sindiran luar biasa bagi umat Islam (baca: muslim). Kemurnian Islam perlahan telah luntur dalam diri muslim. Ajaran Islam hanya formalitas dan terlintas. Umat Islam yang lupa dengan nilai Islamnya ibaratkan kacang lupa pada kulitnya –kaya malin kundang gitu kali ya-
Rasulullah saja merangkul dan tetap menyayangi orang yang membenci bahkan menganiaya dirinya, kita sebagai orang yang mengaku umatnya kokya saling salah menyalahkan, benci membenci bahkan kafir mengkafirkan. Sungguh luar biasa bagi orang yang merasa benar atas orang lain. Subhanallah.
Nadia Aini, STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.