Perempatan McD Sarinah tampak sepi lalu lintas-nya, kendati gegap gempita manusia masih saja tetap ramai. Saya bersama seorang teman, sebut saja Sarjoko, hendak mencari makan. Ini terjadi medio 2017, saat saya (dan Sarjoko itu tadi) menghadiri sebuah loka-karya di bilangan Tanah Abang.
McD, dengan demikian, merupakan pilihan paling masuk akal bagi kami kala itu. Mengapa?
Selain waktu telah menunjukkan lewat tengah malam, saya terlanjur malas mencari Warteg lewat aplikasi ojek online. Lagi pula, Jogja boleh saja punya Burjo, tapi di Jakarta, pilihan sayur bahkan bisa kena pajak.
Alhasil, bergegaslah Sarjoko dan saya ke McD Sarinah. Itu pun setelah saya diyakinkan oleh dia, bahwa baik McD maupun Warteg (Ibu Kota) adalah sama-sama menelan beaya di atas rata-rata, untuk takaran kantong saya. Bedanya, kalau warteg itu gak bisa cuci mata, sedangkan McD bisa tampak hedon tipis-tipis. Keduanya memang gak ada hubungannya, tapi terus terang itu adalah pengalaman pertama saya menghabiskan malam di McD dengan sebungkus paket hemat.
Lha gimana, di Jogja, jangankan McD, bisa parkir di Warung Upnormal saja sudah merupakan kemewahan tersendiri bagi masyarakat rantau middle-down yang kerap dimintai maaf oleh mesin ATM, seperti saya.
Sehari-hari, referensi ketahanan pangan saya kalau enggak Burjo, palingan ya Burjo. Pokoknya Burjo. Itu kalau lagi punya uang. Kalau lagi bokek, ya win win solution-nya adalah silaturahim, melawat sejumlah lumbung padi pertemanan, door to door. Istilah bekennya adalah memperpanjang umur dan memperlancar rezeki bagi saya, tapi tidak dengan teman yang saya kunjungi.
Seperti diketahui, McD Sarinah sempat mewarnai lima besar trending tagar di twitter. Usut punya usut, McDonald’s pertama di Indonesia yang telah buka sejak 1991 itu akan hengkang dari salah satu sudut perempatan Sarinah per tanggal 10 Mei 2020. Kabarnya, ia ditutup karena permintaan dari pihak manajemen gedung yang akan melakukan perubahan strategi bisnis.
Terlalu banyak cerita dan juga kenangan yang pernah kita lewati bersama di sini. Mulai dari berbagi kesedihan sampai kebahagiaan.
McDonald's Sarinah – Thamrin menjadi McDonald's pertama di Indonesia dan hampir 30 tahun hadir untuk membagi kebahagiaan untuk semua. pic.twitter.com/3ZLNClIHKz
— McDonald's Indonesia (@McDonalds_ID) May 7, 2020
Bagi saya, ini merupakan kabar yang cukup sentimentil. Memang, masih ada banyak alternatif lain atau McD lain yang tersebar di seantero Jakarta. Sayangnya, tidak ada yang sefenomenal McD Sarinah.
Ya, tidak saja sebagai restoran tempat orang memenuhi kebutuhan duniawinya, McD Sarinah juga merupakan “monumen” yang menyimpan banyak kenangan bersejarah. Di sana saya bisa membayangkan betapa pilunya tragedi “Bom Thamrin” yang meledak pada tahun 2016.
Dengan duduk di lantai dua bagian sudut luar McD Sarinah, misalnya, siluet aksi kriminal itu sayup-sayup menggerayangi imaji saya, laksana sedang memutar rekaman kaset film tua.
Saat itu, sekiranya pukul 10.40 (WIB) Kamis (14/1/2016), di antara bejibun kendaraan yang berlalu-lalang di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat bunyi ledakan menggelegar yang bersumber dari dekat meja kasir kafe Starbucks, Gedung Skyline. Seketika, kaca depan dan plafon tempat itu hancur.
Sejurus kemudian, Aiptu Denny Maheu salah satu yang mendengar ledakan saat sedang bertugas menilang seorang pengendara motor. Ia pun bergegas masuk ke dalam Pos Polisi Sarinah untuk melayangkan laporan.
Nahas, selang lima menit dari ledakan pertama, seorang pelaku teror meledakkan tas berisi bom dalam kemasan gas elpiji melon 3 kilogram ke dalam Pos Polisi. Tiga orang, termasuk Denny tergeletak di dekat Pos Polisi dengan tubuh bersimbah darah dan berasap. Usai kejadian, perempatan MH Thamrin ditutup. Warga berkerumun tak jauh dari Pos Polisi.
Lalu, dua pelaku yang turut membaur, menembaki warga secara acak dengan senjata api rakitan yang sudah berkarat, saat kejadian pada pukul 10.52. Satu polisi ditembak di punggung dari jarak dekat, satu pekerja Bangkok Bank ditembak di bagian kepala.
Kemudian ledakan ketiga terjadi pada pukul 10.56 di tengah Jalan Thamrin, depan Gedung Skyline. Suara ledakan itu diduga berasal dari granat rakitan pelaku teror.
Di lokasi yang sama, terdengar suara ledakan keempat pada pukul 10.59 yang juga berasal dari granat rakitan. Sementara, di halaman parkir Starbucks dan Burger King, dua teroris meledakkan satu bom pipa besi dan granat rakitan pada pukul 11.05. Demikian kronologi versi laporan tirto.id.
Lalu, dari sudut yang sama pula, di lantai dua bagian luar McD Sarinah, kita bisa melihat dengan benderang betapa ajaibnya orang-orang yang sebegitu meradangnya dengan hasil pesta politik satu lustruman. Dibayangkan bahwa perjuangan politik itu laiknya jihad di jalan Thamrin Allah. Dipikirnya pula, mendukung salah satu paslon dengan harga-mati adalah setara dengan memperjuangakan agama.
Ringkasnya, McD Sarinah tidak saja berseberangan dengan Starbucks yang diledakkan medio 2016, tetapi juga berhadap-hadapan dengan satu gedung penting lainnya yang menandai peristiwa bersejarah yang barangkali belum pernah sedahsyat sebelumnya: demo 22 Mei 2019 di depan Bawaslu.
Bayangkan! Hanya demi Pilpres, jubelan orang bisa shalat menyesaki jalanan. Hanya demi Pilpres kerusuhan menjadi pecah, terjadi bentrok antara aparat dengan pengunjuk rasa. Padahal, itu terjadi di tengah suasana Ramadhan.
Dan, lewat McD Sarinah juga kita bisa membayangkan betapa Kapolres Jakpus Kombes Harry Kurniawan sampai memohon-mohon agar para pengunjuk rasa bisa tertib.
“Jangan, jangan lakukan itu teman-teman. Pak uztaz bantu kami, pak ustaz. TNI dan Polri termasuk bagian masyarakat juga…”
Sial, terlalu banyak propaganda sehingga situasi menjadi di luar kendali. Korban pun berjatuhan. Hoax kadung bertebaran. Dan, ya, kita bisa lihat bahwa Prabowo tetap saja tidak jadi menang.