Siapa bilang tempat ibadah agama yang berbeda jika dibangun bersandingan akan menimbulkan konflik? Tidak semestinya demikian. Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan misalnya. Beberapa bulan lalu, saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki kesekian kalinya. Kedatangan saya ke Desa Balun kali ini terasa lebih istimewa. Sudah beberapa kali saya menginjakkan kaki di tempat ini, namun setiap kunjungan selalu menawarkan pengalaman baru. Banyak teman dari pesantren yang berasal dari desa ini, menjadikan setiap perjalanan ke sini seperti pulang ke rumah. Saya ingat saat mengikuti lomba al-Banjari di halaman masjid Miftakhul Huda, di mana suara merdu teman-teman menyatu dalam melodi yang menggugah jiwa, menciptakan kenangan tak terlupakan.
Setiap sudut desa ini menyimpan cerita, dan hari ini saya tergerak untuk mengunjungi kembali Masjid kenangan saat lomba itu. Masjid ini telah menjadi salah satu simbol keharmonisan di antara berbagai keyakinan. Jalan setapak yang saya lewati, dikelilingi tambak, dan rumah-rumah sederhana, membawa saya pada suasana akrab yang selalu membuat saya merasa diterima. Begitu memasuki area masjid, saya disambut oleh keindahan arsitektur masjid yang megah, lengkap dengan menara, kubah besar dan lima kubah kecil yang menandakan salat lima waktu.
Masjid Miftahul Huda terletak di lokasi yang sangat strategis, dikelilingi oleh bangunan suci dari agama lain. Tepat di depan masjid berdiri Gereja GKJW Jemaat Lamongan, sementara di belakangnya, Pura Sweta Maha Suci menjulang dengan megah. Hanya dipisahkan oleh jalan kampung selebar 4 meter, pemandangan ini menciptakan suasana yang harmonis, di mana ketiga tempat ibadah seolah saling menyatu dalam satu kesatuan yang indah. Di sini, di Desa Balun yang dikenal sebagai Desa Pancasila, keberagaman tak hanya dihargai, tetapi dirayakan dalam setiap aspek kehidupan.
Berdirinya bangunan tempat ibadah dari tiga agama yang berbeda membuat kita semakin yakin bahwa Indonesia memang menghargai keragaman dan perbedaan. Desa ini sekaligus menjadi bukti bahwa berbeda itu tak harus bertanding, tapi juga bisa bersanding.
Seolah ingin mengajak saya mendalami lebih jauh tentang keberagaman yang ada, saya berkesempatan berbincang dengan salah satu pengurus Takmir Masjid. Dia menuturkan bagaimana masjid ini berdiri berdampingan kokoh dengan tempat ibadah umat Hindu dan Gereja Kristen, sebuah pemandangan yang menggugah rasa hormat dan toleransi.
Pengurus Takmir tersebut menjelaskan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1960-an atas wakaf seorang warga desa dan merupakan peninggalan seorang penyebar agama Islam di desa ini. Mimbar khutbah dari kayu jati dan sebuah bedug yang masih digunakan hingga kini menjadi saksi bisu perjalanan spiritual masyarakat Desa Balun.
Ia juga mengungkapkan, meski tidak banyak tahu tentang sejarah masjid, keistimewaannya terletak pada kedamaian yang terjalin antara penganut berbagai agama. Hal ini terlihat dengan jelas saat Nyepi tahun 2024 yang bertepatan dengan awal Ramadan. Selama 24 jam, speaker masjid dimatikan sebagai bentuk penghormatan kepada umat Hindu yang merayakan hari suci mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa rasa saling menghormati yang ditunjukkan oleh semua umat beragama di desa ini menciptakan suasana penuh kasih sayang dan pengertian.
Desa Balun, dengan sekitar 1.500 kepala keluarga, memiliki komposisi yang menarik: 75 persen warga beragama Islam, 15 persen beragama Kristen, dan 10 persen beragama Hindu. Keberagaman ini telah terjalin sejak lama, ketika para tokoh agama masing-masing menyebarkan keyakinan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, warga Desa Balun menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan tidak menghalangi mereka untuk hidup rukun dan harmonis.
Seiring waktu, saya melihat bagaimana nilai-nilai tersebut telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat setempat. Desa ini kini juga menjadi desa wisata, menarik banyak pengunjung yang ingin merasakan keindahan dan keragaman budaya di sini. Keragaman yang ada di desa ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin belajar tentang kerukunan antarumat beragama. Tak kaget jika desa ini dikenal dengan sebutan Desa Pancasila, sebuah simbol nyata dari persatuan dalam perbedaan. “Kami saling menghormati dengan menjaga perasaan beragama masing-masing,” ungkap takmir masjid dengan bangga. Kalimat itu mengingatkan saya pada berbagai diskusi di pesantren, di mana kami sering membahas pentingnya kerukunan antarumat beragama.
Saat berbincang lebih dalam, saya terkesan dengan kesadaran warga Desa Balun akan pentingnya menjaga kerukunan. Bukan hanya saat bulan Ramadan, tetapi dalam keseharian mereka, rasa saling menghormati itu selalu ada.
Dengan segala keindahan dan keragamannya, Desa Balun menawarkan pelajaran berharga tentang toleransi. Di tengah tantangan yang ada, mereka mampu menunjukkan bahwa hidup berdampingan itu mungkin dan indah. Pengalaman ini memberi saya inspirasi untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kerukunan dan menghargai perbedaan.
Ketika saya berpamitan, rasa hangat dari kerukunan itu masih membekas. Di sini, saya menemukan bahwa keberagaman adalah anugerah, dan saling menghormati adalah kunci untuk hidup harmonis. Dalam setiap langkah menuju rumah, saya merasa terinspirasi oleh semangat masyarakat Desa Balun yang menunjukkan bahwa kita dapat hidup rukun meski berbeda. Setiap kunjungan ke desa ini adalah pengingat bahwa di balik setiap perbedaan terdapat jembatan untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain.
(AN)