“Guru sih enak, kagak ke sekolah juga tetep dapet duit. Lah kita, kalau di rumah terus bagaimana mau makan? Bisa pada kelaparan bocah kita,” protes pedagang keliling tempo hari, karena efek Pandemi. “Makan gaji buta!” Katanya.
Sebagai guru, tentu saya jadi baper dibuatnya, mau jawab juga unfaedah, cuma kalau tidak dijawab hati saya berteriak, ente sih bukan guru, gak ngerasain pusingnya ngajar daring, asal tahu aja setiap selesai shalat subuh kita langsung nyiapin materi pembelajaran, kudu punya kuota internet pula, bahkan sampai malem ngoreksi tugas daring murid satu persatu?
Beberapa hari yang lalu teman saya pun dapat curhat dari wali murid via whatsapp.
“Pak sampai kapan sekolah seperti ini? Saya sebagai orang tua bener-bener pusing. Sudah gak sanggup. Capek ngadepin anak belajar di rumah, mana kita harus kerja juga. Stress saya. Capek!”
Sahabat saya begitu sabar menghadapi beragam protes semacam ini, sampai akhirnya orang tua murid membalas:
“Terima kasih pak atas responnya, semoga saja kondisi pandemi segera pulih. Saya tahu bapak dan ibu guru juga tidak menghendaki kondisi seperti ini. Mohon maaf. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya, dan semoga selalu diberi kesehatan dan kesabaran yang lebih oleh Allah SWT. Aamiin.”
Belum lama saya membaca tulisan Dr. Suhardi, Sekjen Persatuan Guru Madrasah Indonesia, yang di-share di medsos berjudul “Mengelola Madrasah dengan Spirit Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Mulkiyah”. Menurutnya, tauhid uluhiyah mengajarkan kepada kita agar hati tetap suci dan tidak berpaling dari Allah saat memegang amanah.
Sementara itu, tauhid rububiyah dimengerti sebagai dorongan agar kita menjadi ahli atau expert dalam bidang manajerial karena yang menjadi sandaran dalam belajar manajemen adalah Sang Maha Manajerial, yaitu Allah sebagai Rabb.
Tauhid mulkiyah mengajarkan kepada kita untuk menjadi leader atau pemimpin yang bertauhid. Oleh karena itu dalam mengembangkan kapasitas kepemimpinan kita harus menggali dan mengembangkannya dengan ajaran-Nya, karena itulah ajaran leadership yang paling agung karena bersumber al-Mulk.
Tulisan Pak Suhardi tersebut menginspirasi saya untuk mencoba mengaitkan eksistensi guru dengan trilogi konsep tasawuf takhalli, tahalli, dan tajalli.
Syekh Nursamad Kamba, ahli tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung mendefinisikan takhalli dengan membersihkan diri dari dorongan-dorongan primitif yang destruktif pada jiwa. Tahalli adalah tindakan peniruan sifat-sifat Tuhan dengan cara menginternalisasikan ke dalam diri. Tajalli adalah keadaan spiritual ketika seseorang merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih.
Dalam perspektif pendidikan, spirit dari ketiga konsep tasawuf itu sesungguhnya bisa dikembangkan dalam rangka pengokohan eksistensi guru. Melalui spirit takhalli, tahalli, dan tajalli seorang guru diharapkan lebih tabah menghadapi persoalan-persoalan riil di lapangan, termasuk bagaimana merespon persepsi miring masyarakat atas pembelajaran daring di masa pandemi. Lebih dari itu, dalam perpektif takhalli, guru seyogyanya meluruskan niatnya terlebih dahulu sebelum terjun ke dunia pendidikan.
Kita sangat memahami bahwa dunia pendidikan adalah sarana menebar benih-benih kebaikan, menabur kebajikan dan kebijakan. Besarnya keikhlasan yang dimiliki seorang guru akan berimplikasi pada seberapa besar kecintaannya mendampingi siswa-siswinya meraih ilmu pengetahuan, mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dalam hal ini, bukan berarti guru tidak boleh berharap gaji karena itu sangat manusiawi, namun tanamkan keyakinan bahwa Allah SWT sudah siapkan balasan terbaik bagi siapa pun yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Perspektif yang lain adalah bahwa guru seyogyanya senantiasa berusaha untuk membersihkan diri dari sifat ingin dipuji atau dihargai orang lain. Melakukan pekerjaan mengajar bukanlah upaya memuaskan keinginan atasan tapi memuaskan kehausan siswa untuk menikmati ilmu pengetahuan.
Selain itu, guru semestinya berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari sifat dan sikap negatif karena bagaimanapun akan menjadi sosok teladan bagi murid-muridnya.
Spirit tahalli dalam perspektif pengokohan eksistensi guru di antaranya adalah bahwa guru wajib meningkatkan kompetensi dirinya dalam rangka meningkatkan mutu dan memberi pelayanan terbaik bagi muridnya. Setidaknya ada empat kompetensi yang diamanahkan undang-undang kepada guru yaitu kompetensi kepribadian, pedagogik, sosial, dan profesional.
Selain itu, guru juga seyogyanya mengisi hari-harinya dengan melipatgandakan kebaikan, karena bagaimanapun seperti yang sudah diuangkapkan di atas bahwa dunia pendidikan adalah sarana menabur benih-benih kebaikan dan benih terbaik adalah keteladanan dari guru itu sendiri.
Perspektif yang lain adalah bahwa guru harus senantiasa haus akan ilmu pengetahuan. Dia tidak akan lelah mendalami subtansi materi yang akan diajarkan serta menggali metode-metode pembelajaran terbaik yang relevan. Menjadi guru bukan alasan berhenti mencari ilmu.
Dalam perspektif tajalli, guru harus senantiasa memunculkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap materi pembelajaran, apapun mata pelajarannya. Tauhid harus menjadi core curriculum, sehingga siswa dapat mengaitkan kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam setiap materi pembelajaran.
Selain itu, guru juga wajib berusaha sekuat tenaga menanamkan kepada siswa akan rasa cinta atau mahabbah terhadap Tuhannya.
Terakhir, guru harus mampu mengorientasikan pandangan siswa bahwa ada Tuhan dalam setiap apapun. Caranya adalah dengan senantiasa mengenalkan sifat-sifat Tuhan pada muridnya. Syekh Ibnu Athailah dalam kitab Al-Hikamnya mengatakan “man arofa al-haqqo syahidahu fii kulli syai’in.” Siapa yang benar-benar mengenal Allah, maka pasti dapat melihat-Nya pada tiap-tiap sesuatu.
Indikator keberhasilan pendidikan adalah pada saat semua warga belajar lebih dekat sama Tuhan-Nya. Sekali lagi, ini hanya sekedar spirit, saya tidak mengatakan bahwa guru yang sudah memenuhi ketiga hal tersebut sudah masuk pada dunia tasawuf atau menjadi sufi. Tapi saya pun ingin menegaskan bahwa dunia tasawuf adalah dunia akhlak dan memang sudah seharusnya seorang guru berupaya memperbaiki akhlaknya dari hari ke hari, dari segala kekurangan yang ada. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa pendidikan akan merasa puas dengan kehadirannya sebagai guru.
So… gak usah juga komen selebai ini, “Bicara tasawuf ibarat bicara bumi dan langit, kita belum sampai derajat sufi. Ketinggian. Kita masih butuh dunia, masih butuh uang.”
Berbuat baik adalah tugas kita, memperbaiki diri adalah komitmen kita, menjadi yang terbaik adalah cita-cita kita, dan doa terbaik adalah semoga kita mampu menebarkan kebaikan selama hidup dan mengakhiri kehidupan dunia dalam kondisi baik atau husnul khatimah, sehingga Allah swt memosisikan kita di tempat terbaik-Nya, di surga, dipersatukan dengan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya. Wallahu a’lam.