Menggugat Logika Penangkal COVID-19 dengan Air Wudhu

Menggugat Logika Penangkal COVID-19 dengan Air Wudhu

Perkara dunia medis seperti COVID-19 ini seharusnya tidak dipahami umat Islam sebagai perkara kesyariatan ataupun problem akidah yang sifatnya formal. Lagian, bagaimana dengan nasib mereka yang tinggal di dataran minim air? Tayamum?

Menggugat Logika Penangkal COVID-19 dengan Air Wudhu

Sampai saat ini masih ada hal-hal yang mengganjal dalam pikiran sehubungan dengan perkara virus corona jenis baru, atau COVID-19. Perkara itu adalah tentang menyeruaknya wacana di tengah umat Islam untuk menangkal virus corona dengan air wudhu.

Syahdan, mencermati solusi yang ditawarkan oleh umat dalam menanggapi COVID-19 itu, saya seolah-olah mendapati pembuktian perihal banyak ucapan yang berseliweran dalam pengajian-pengajian yang pernah saya ikuti bahwa, berislam itu mudah dan tak perlu rumit-rumit”.

Saya lalu berpikir, apakah ini bukti kalau kita dalam berislam itu tak perlu banyak mempersulit diri? Menangkal COVID-19 dengan memakai air wudhu, misalnya. Mudah bukan?

Tentu saja, menjadikan (hanya) air wudhu sebagai penangkal COVID-19 adalah sebuah anjuran yang keliru dan melanggar nalar medis modern. Kekeliruan ini bukan perkara bahwa air wudlhu hal yang tak sakti dan lantas kita dianggap tidak memiliki ketebalan iman sehingga tidak memercayai kekuatan Sang Pencipta. Bukan itu.

Namun, justru mengajukan air wudhu sebagai solusi atas COVID-19 yang mewabah itu merupakan sesuatu yang tidak sebanding untuk dipersandingkan. Bahwa kemudian air wudhu sebagai sebuah kebiasaan kaum muslim untuk selalu menjaga kesucian tubuh dan sekaligus dapat menjadi budaya bebersih diri yang juga baik untuk kesehatan, itu benar sekali.

Tapi, seyogianya kita sebagai umat Islam tidak perlu mempertentangkan penanganan medis dengan ritus ibadah tertentu dalam Islam, misalnya wudhu. Terlebih lagi menjadikannya sebagai satu-satunya solusi dalam menangani persoalan COVID-19. Agama seharusnya berkolaborasi dan sekaligus mendukung penuh upaya-upaya medis untuk menangani persoalan virus ini. Toh sebenarnya, yang terbaik adalah mempercayakan solusi kepada ahlinya. Siapa lagi kalau bukan tenaga medis?

Tugas agamawan, selayaknya mendorong supaya semua umat Islam untuk memiliki kesadaran untuk mengakses informasi medis untuk menangani persoalan COVID-19 tersebut. Agamawan perlu membantu para tenaga medis untuk mensosialisasikan perihal pencegahan dan penanganan virus tersebut. Lebih-lebih, ini menjadi semakin mendesak, mengingat akses masuk dan tingkat kepercayaan masyarakat akan lebih mudah jika para agamawan yang menyosialisasikan.

Peran-peran agamawan untuk membantu sosialisasi dan peningkatan literasi umat perihal kesadaran menangani COVID-19 secara medis ini lebih mendesak diperlukan, daripada sekedar memberikan harapan palsu menjadi sosok yang seolah serba sakti dapat menangani perkara virus yang sebetulnya tak memiliki keahlian dalam bidang tersebut.

Berkaitan dengan perkara tersebut, sepertinya belakangan ini ada semacam situasi psikologis dalam kalangan agamawan maupun umat Islam bahwa seolah segala macam persoalan harus diselesaikan menurut pendekatan Islam. Ini, misalnya, adalah jargon salah satu ormas pengusung ide khilafah yang telah dibubarkan bahwa “Islam adalah solusi!!!”.

Entah fenomena ini sebuah kebetulan ataupun memang sebuah gejala yang memiliki korelasinya. Namun, yang jelas suasana psikologis seperti ini begitu kentara sekali menyelimuti alam keislaman kita. Bahkan, Islam seringkali dipaksakan untuk menangani hal-hal yang sebetulnya bukan domainnya secara syari’ah ataupun secara teologis.

Perkara dunia medis seperti COVID-19  ini seharusnya tidak dipahami umat Islam sebagai perkara kesyariatan ataupun teologi Islam yang sifatnya formal. Umat Islam harus menyadari, justru sebenarnya ilmu medis sendiri sebenarnya sudah bagian dari Islam itu sendiri dan tidak perlu dipertentangkan dengan syari’ah ataupun perlu diformalisasikan dengan mengislamkan ilmu medis.

Justru, hasrat untuk selalu mengislamisasikan segala hal termasuk ilmu medis seperti ini malah mengkotak-kotakkan hal yang sifatnya sudah universal, dan tentu saja sudah menjadi bagian dari kehendak Allah Swt di dunia. Apakah kita hendak bermaksud mengislamkan ilmunya Allah? Bukankah keliru?

Sebagaimana sudah diwartakan melalui kitab suci bahwa dunia dan segala isinya (termasuk hukum alam yang menyertainya) ini sudah dari sananya merupakan ciptaan Allah Swt. Hukum alam seperti gravitasi, bumi berbentuk bulat, bumi mengelilingi matahari, bulan menjadi satelit bumi dan seterusnya dan seterusnya. Semua ini sudah menjadi kodrat Allah Swt dan ilmu modern yang memelajari ini sudah barang tentu bagian dari ilmunya Allah Swt.

Dengan demikan, kita sebagai hamba Allah Swt yang mungil dan tak berkuasa ini, apakah kita masih mau “sok-sok”-an mengislamkan kodrat dan ilmu yang datangnya dari Allah itu? Apa kita tidak akan kuwalat?

Wallahua’lam.