Pemeluk setiap agama dianjurkan untuk senantiasa menjalankan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya, tak terkecuali ajaran Islam. Ada banyak cara untuk memahami dan mendalami Islam serta mengamalkannya. Amalan-amalan dalam Islam dapat berupa ibadah shalat, puasa, zakat, serta ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia atau disebut dengan muamalah. Orang-orang Islam atau muslim yang patuh menjalankan ibadah, baik shalat, puasa, zakat, maupun muamalah dengan baik sesuai Syariat Islam merupakan muslim yang religius.
Dalam tulisan ini, Saya hendak menggali pemikiran Heidegger yang dapat mengilhami semangat beragama, tak terkecuali dalam Islam. Sebuah pemikiran atau filsafat sejatinya bersifat bebas, tidak terperangkap suatu dogma atau doktrin tertentu. Oleh karenanya ia bersifat spekulatif. Namun di sisi lain, filsafat atau pemikiran juga bersifat kritis dan sistematis, yakni mengikuti alur logika yang jelas dan rasional. Hal itu dapat kita temukan antara lain dalam pemikiran Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman yang popular bersama karya magnum opus-nya, “Sein und Zeit” (Ada dan Waktu).
Heidegger lebih dikenal sebagai filsuf daripada agamawan. Semasa kecil, ia diasuh dalam suasana kesalehan Katolik. Ketika muda, ia pernah ingin menjadi imam dan masuk seminari. Bahkan Ia sempat bersekolah di Novisiat Serikat Yesus di Tisis, meski hanya bertahan dua minggu. Ia kemudian keluar dan melanjutkan studi di bidang filsafat dan teologi di Freiburg.
Pada 1911 Heidegger mengalami krisis hidup dan keluar dari pendidikan imamat. Sikap Heidegger ini oleh sebagian orang dianggap sebagai skandal melawan sistem gereja Katolik. Setelah keluar dari pendidikan imamat, Heidegger mempelajari fenomenologi, sebuah aliran filsafat yang digagas oleh Edmund Husserl (1859-1938). Di sinilah titik tolak pemikiran Heidegger bermula dan berkembang, dan selanjutnya berkontribusi dalam buah karyanya, Sein und Zeit.
Sebagaimana judulnya, Sein und Zeit membicarakan eksistensi dan kaitannya dengan waktu. Pertanyaan sentralnya adalah, mengapa segala sesuatu itu ada dan bukan tiada? Dari pertanyaan mendasar itu, muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya, seperti mengapa manusia ada dan bukan tiada? Apakah artinya manusia di dunia ini? Jika keberadaan manusia terbatas oleh waktu, lalu apakah sebenarnya waktu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat mendasar dan filosofis, dan tentunya menggugah religiusitas manusia. Oleh sebab itu, Saya hendak menggali sisi religius dari pemikiran Heidegger tersebut.
Kesadaran akan Eksistensi
Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki keberadaannya masing-masing. Dalam Bahasa filsafat, masing-masing sesuatu disebut entitas, atau dalam Istilah umum disebut makhluk. Di antara berbagai entitas yang eksis tersebut, manusia merupakan satu-satunya entitas yang mampu menyadari eksistensinya sendiri dan juga eksistensi di luar dirinya. Misalnya kita, Saya dan kalian. Kita sadar saat sedang berbicara dengan orang lain, membaca buku, maupun merenung memikirkan sesuatu. Bahkan kita sadar bahwa sebelumnya kita adalah entitas yang tiada, sebelum dilahirkan oleh ibu kita. Heidegger menyebut kelahiran manusia di dunia sebagai “keterlemparan”. Maksudnya adalah manusia seolah-olah “terlempar” karena bermula dari tiada menjadi ada.
Manusia tidak bisa menentukan kapan dan di mana ia lahir. Manusia juga tidak bisa memilih orang tua dan dari bangsa mana ia dilahirkan. Oleh sebab itu, manusia (dan juga entitas lainnya) bukanlah eksistensi sejati karena bersifat lemah dan tidak kekal (fana). Eksistensi yang sejati adalah Tuhan (Allah), karena Allah bersifat kekal (baqa). Dari penjelasan ini kita dapat menangkap sebuah nilai religiusitas, yakni manusia pada dasarnya menyadari eksistensinya yang bersifat fana. Dan oleh karena itu, Ia akan senantiasa bergantung kepada Allah sebagai penciptanya.
Dasein, Das Man dan Kemewaktuan
Pembahasan Heidegger lainnya adalah tentang Dasein dan kemewaktuan. Dasein adalah penyebutan Heidegger untuk manusia. Manusia yang seperti apa? Manusia yang ada-di-dalam-dunia, yaitu manusia yang menyadari tentang dunianya. Dunia di sini bukan sekadar bumi, semesta dan seisinya, namun lebih kepada dunia yang “dimaknai” oleh manusia sebab keberadaannya, bukan ruang kosong tanpa makna.
Dasein adalah manusia yang benar-benar “hadir” dalam kehidupannya. Dasein menghayati hidupnya dalam banyak hal: bercengkerama dengan sahabat, menyusun karya tulis, membaca berita di media sosial, memperbaiki atap rumah yang bocor, kerja bakti bersama warga sekitar, dan sebagainya. Setiap aktivitas yang dilakukan Dasein adalah dalam upaya merawat eksistensi dengan memaknai setiap momentumnya. Heidegger menyebutnya dengan “kemewaktuan Dasein” (Dasein yang menyadari waktu dan keberadaannya).
Lain halnya dengan Dasein, Das Man adalah manusia yang terjebak dalam rutinitas keseharian yang banal. Das Man merasa hari-harinya melulu begitu-begitu saja, tak ada yang istimewa dan berarti. Das Man menganggap bahwa masa lalu adalah sesuatu yang mudah dilupakan, masa kini hanya hadir belaka tanpa ada visi tertentu, dan masa depan adalah hal yang ditunggu-tunggu tanpa mempersiapkan segala sesuatunya.
Singkatnya, hidup seorang Das Man adalah “mengalir begitu saja seperti air”. Das Man juga sosok yang mudah terlelap mengikuti tren, terjebak rutinitas kerja yang mekanik dan terjajah oleh aturan-aturan yang membelenggu, bahkan membuatnya kehilangan jati dari. Das Man adalah manusia yang lupa akan eksistensinya.
Dalam Islam, manusia telah diingatkan oleh Al-Qur’an dalam Surah al-Ashr, yang artinya: “Demi Masa, sungguh manusia berada dalam kerugian…”. Kemudian dilanjutkan ayat berikutnya, “Kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, berpesan dalam kebenaran dan kesabaran”. Berdasarkan ayat tersebut, manusia dalam rentang waktu kehidupannya tergolong orang-orang yang merugi, kecuali empat kriteria tersebut. Hal ini sangat relevan dan pemikiran Heidegger tentang Dasein dan kemewaktuan.
Dasein, jika diterjemahkan ke dalam konsep Islam, barangkali adalah umat Muslim beriman yang senantiasa beramal salih di setiap jengkal waktu kehidupannya. Mereka (umat Muslim) menyadari bahwa hidup manusia tidaklah lama, dan setelah mati, segala sesuatunya akan dipertanggujawabkan di hadapan Allah. Mereka berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan tidak melewatkannya dalam keadaan sia-sia. Oleh karena itu, setiap amal kebaikannya senantiasa diniatkan untuk ibadah dan meraih rida dari Allah SWT. (AN)
Sumber bacaan:
Hardiman, F. Budi. 2016. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.