Mengenal Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Guru Para Ulama Indonesia yang Mengajar Agama di Makkah

Mengenal Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Guru Para Ulama Indonesia yang Mengajar Agama di Makkah

Mengenal Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Guru Para Ulama Indonesia yang Mengajar Agama di Makkah
Ilustrasi: @artsgaf/alwy (islamidotco)

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lahir di Koto Tuo, Agam, Sumatra Barat pada 16 Juni 1860 M / 6 Zulhijjah 1276 H. Berasal dari keluarga yang kental dengan agama, Syekh Ahmad Khatib dibesarkan oleh kedua orangtuanya bernama Abdul Lathif dan Limbak Urai.

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi merupakan keturunan dari dua tokoh kaum paderi, yakni Tuanku Nan Renceh dari garis keturunan ibu dan Tuanku Abdul Aziz dari garis keturunan ayah. Oleh karena itu, di usianya yang masih muda, beliau menunjukkan kualitas diri yang mengagumkan terutama di bidang ilmu agama.

Pemikiran

Posisi penting sebagai imam di Masjidil Haram meneguhkan wibawa seorang Syekh Ahmad Khatib. Buku-buku yang berisi pemikirannya banyak dipelajari oleh ulama-ulama pada rentang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa itu, di Makkah sedang berkembang sebuah gerakan pemikiran puritanisme atau gerakan pembaharuan yang bercorak pemurnian ajaran Islam. Pemikiran ini juga mempengaruhi kebanyakan ulama yang ada di Hijaz; Makkah dan Madinah tidak terkecuali Syekh Ahmad Khatib.

Menurut beberapa catatan, Syekh Ahmad Khatib melalui pemikirannya lebih cenderung tegas terhadap kondisi sosial-keagamaan yang berkembang pada saat itu, terutama di daerah kampung halamannya, Minangkabau.

Kondisi sosial-keagamaan di Minangkabau pada saat itu sedang marak dengan praktik tarekat Naqsyabandiyah dan budaya matrilineal Minangkabau. Dua hal ini sering dikritik oleh Syekh Ahmad Khatib melalui buku-bukunya.

Pertama, ia berpandangan bahwa praktik tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di Minangkabau pada saat itu telah masuk ajaran bid’ah. Ia mengkritik terkait asal-usul tarekat Naqsyabandiyah, silsilah Naqsyabandiyah, praktik Rabithah, praktik Suluk dan lain-lain.

Kedua, ia mengkritik budaya matrilineal Minangkabau atau terkait hak waris yang berkembang di kebudayaan Minangkabau. Hak waris di Minangkabau pada saat itu ialah harta pusaka diwariskan kepada kemenakan bukan kepada anak kandung sendiri sesuai dengan ajaran Islam. Harta itupun diserahkan kepada kemenakan perempuan sedangkan kemenakan laki-laki hanya boleh membantu dalam menggarap dan memelihara harta tersebut. menurutnya pembagian hak waris dengan sistem matrilineal adalah pusaka Jahiliyyah.

Syekh Ahmad Khatib terkenal tegas dan berani dalam memberikan pandangannya terhadap sesuatu yang dianggap bertentangan dengan kaidah syari’ah. Hal ini dilakukannya dengan tujuan agar masyarakat kembali menjalankan syari’at Islam yang murni dan terlepas dari praktik bid’ah.

Perjuangan Melawan Kolonialisme

Jika ditelusuri dari beberapa sumber, tidak ditemukan adanya perjuangan secara fisik yang dilakukan oleh seorang Syekh Ahmad Khatib dalam melawan kolonialisme di Indonesia. Pasalnya, setelah kedatangan Syekh Ahmad Khatib yang kedua kali ke Makkah, beliau belum pernah sama sekali pulang ke Indonesia.

Meski demikian, kiprah perjuangan beliau dapat dilihat peran Syekh Ahmad Khatib dalam menginspirasi gerakan pembaruan dan melahirkan tokoh-tokoh reformis Islam di awal abad ke-20.

Pada saat itu, untuk menjadi ulama di Masjidil Haram bukanlah hal yang mudah. Seseorang harus mempunyai kecakapan dalam ilmu agama yang luas dan memiliki akhlak baik. Sedangkan pada saat itu, ia menginisiasi forum halaqah yang bersanding dengan 120 halaqah lainnya yang diisi para ulama hebat, seperti Syekh Muhammad Sulaiman Hasbullah, Sayyid Umar Barakat Syami, Syekh Abdullah Shaufan al-Qadumi al-Nablusi, Sayyid Abdul Karim Hamzah al-Hindi dan seterusnya.

Posisinya sebagai Imam Besar di Masjidil Haram membuat banyak ulama-ulama dari luar Makkah terutama dari Indonesia berguru padanya. Ulama Indonesia yang datang ke Makkah pada dasarnya adalah untuk menunaikan ibadah haji namun biasanya mereka tidak langsung pulang ke Indonesia setelah menunaikan haji, tetapi menetap selama beberapa tahun untuk mempelajari ilmu agama di Makkah. Bahkan, seorang orientalis Snouck Hurgronje mencatat bila semua orang Indonesia yang naik haji ketika Syekh Ahmad Khatib masih hidup pastilah pernah menemuinya.

Beberapa tokoh yang lahir dari didikan Syekh Ahmad Khatib adalah K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh ini mampu menjadi pionir gerakan pembaruan Islam sekaligus penentang kolonialisme di awal abad ke-20.

Walaupun secara pandangan keagamaan Syekh Ahmad Khatib cenderung lebih puritan, namun beliau sangat demokratis. Beliau membolehkan murid-muridnya untuk membaca literatur-literatur seperti pemikiran Muhammad Abduh kepada muridnya. Latar belakang muridnya pun beragam ada yang berasal dari kalangan modernis dan ada juga yang tradisionalis.

Menurut mendiang Prof. Azyumardi Azra dalam buku berjudul “Jaringan Ulama Timur Tengah Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII”, semua gerakan pembaharuan yang terjadi di Nusantara pada abad ke-17, dan terutama abad ke-18 serta ke-19 adalah pengaruh dari ulama di Timur Tengah.

Ulama Nusantara yang pergi haji dan kemudian menetap di Mekkah dan Madinah selama beberapa tahun untuk belajar dan mendalami ilmu keislaman. Pada saat itulah proses interaksi antara ulama di Mekkah-Madinah dan ulama nusantara dimulai, mulai dari hubungan guru-murid yang kemudian membentuk jaringan ulama yang saling berbagi gagasan, cerita dan kondisi umat Islam.

Setelah belajar beberapa tahun di Mekkah dan Madinah, mereka akan membawa gagasan-gagasan keislaman yang mereka dapatkan ke tanah air. Inilah yang kemudian menginisiasi banyak muncul gerakan pembaharuan di Indonesia. Contohnya adalah gerakan paderi pada awal abad ke-19 di Sumatra Barat yang kemunculannya diawali setelah kembalinya tiga orang ulama dari Timur Tengah.

Syekh Ahmad Khatib adalah sosok yang paling banyak melahirkan agamawan di Minangkabau. Tokoh-tokoh ini nantinya ada yang berasal dari kalangan kaum mudo dan kalangan kaum tuo. Istilah kaum mudo dan kaum tuo adalah identifikasi terhadap pandangan di mana kaum mudo dianggap lebih mengedepankan aspek pemurnian dan pembaruan ajaran Islam sedangkan kaum tuo masih mempertahankan adat atau kebiasaan yang sudah berlaku di masyarakat.

Tokoh-tokoh dari kaum mudo yang lahir dari didikan Syekh Ahmad Khatib, antara lain, adalah Muhammad Thaib Umar, Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, Muhammad Djamil Djambek, Daud Rasyidi, Abdul Latif Syakur, Abbas Abdullah, Ibrahim Musa Parabek, Haji Agus Salim, dan Sultan Darap Pariaman. Sedangkan dari kaum tuo, diantaranya Khatib Ali, Sulaiman ar-Rasuli, dan Muhammad Jamil Jaho. Oleh karena banyaknya tokoh-tokoh yang lahir dari didikannya, Martin Van Bruinessen menyebutnya sebagai “Bapak Reformis Islam Indonesia”.

Kelak, anak didik dari Syekh Ahmad Khatib-lah yang banyak mendirikan dan melakukan pembaruan dalam mengatasi kebodohan, kemiskinan, dan penjajahan. Dua di antaranya adalah Syekh Abdul Karim Amrullah yang mendirikan Surau Sumatra Thawalib Maninjau 1914 M dan Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Abdullah Ahmad yang mendirikan Sumatra Thawalib Parabek 1908.

Syekh Ahmad Khatib memang tidak terjun secara fisik melawan kolonialisme, namun sumbangsih pemikiran, gagasan, serta jasa intelektualnya dalam melahirkan tokoh-tokoh pembaharu Islam dan pergerakan nasional tentulah merupakan sebuah jasa yang sangat besar bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia.