Sertifikasi Da’i di Masa Kolonial Belanda: Ketakutan Penguasa terhadap Radikalisme

Sertifikasi Da’i di Masa Kolonial Belanda: Ketakutan Penguasa terhadap Radikalisme

Sertifikasi da’i sudah ada sejak masa Kolonial Belanda. Sejak dulu memang mencerminkan ketakutan penguasa terhadap radikalisme Islam.

Sertifikasi Da’i di Masa Kolonial Belanda: Ketakutan Penguasa terhadap Radikalisme

Radikalisme adalah momok bagi penguasa. Begitu pun pada era kolonialisme Belanda. Baik yang dimotori oleh semangat melawan borjuasi asing ala PKI maupun semangat keagamaan yang digerakkan oleh para ulama.

Kuntowijoyo dalam bukunya Petani, Priyayi, dan Mitos Politik (2017) menarasikan dengan apik bagaimana proses radikalisasi ini berlangsung. PKI meradikalisasi petani dengan kesadaran kelasnya yang berakhir dengan gerakan 30 September 1965. Ulama dengan gerakan Ratu Adil atau jihad fi Sabilillah sebagaimana terjadi di sepanjang abad 19 seperti Perang Cirebon (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1872-1908), termasuk Pemberontakan Petani Banten 1888. Bahkan, gerakan modern seperti Sarekat Islam juga menggunakan jargon gerakan Ratu Adil ini terutama di akar rumput untuk menarik simpati wong cilik.

Oh ya, kalau kita perhatikan, narasi tentang Ratu Adil, Heru Cokro, Satrio Piningit, dan semacamnya juga masih ada di Indonesia pasca reformasi saat ini. Pada ritual Pilpres misalnya, tidak jarang salah satu calon digaungkan oleh pendukungnya sebagai Ratu Adil yang dinantikan untuk menyelamatkan bangsa.

Dalam hubungannya dengan Islam, pihak kolonial menganggap Islam sebagai ancaman yang paling membahayakan kepentingan mereka. Awalnya, Islam dipandang sebagaimana Katolik yang memiliki hierarki keuskupan dengan Turki Usmani sebagai pusatnya. Pandangan kolonial terhadap Islam juga tidak lepas dari kenangan pahit tentang Perang Salib yang pernah menghantui dataran Eropa.

Lambat laun pandangan ini pun berubah seturut dengan penyelidikan/penelitian yang mereka canangkan. Snouck Hurgronje menjadi nama terdepan dalam penyelidikan ini. Ia bahkan bermukim di Mekah untuk meneliti lebih jauh komunitas Muslim Jawa di sana.

Pada penghujung abad 19, dalam rangka menjinakkan umat Islam, dibentuklah Kantoor Voor Inlandche Zaken. Kantor urusan pribumi. Lembaga yang jadi cikal bakal Kementerian Agama pada hari ini.

Pemerintah kolonial memang tidak ikut campur untuk perkara ibadah murni. Namun, kalau sudah mengkonsolidasi urusan politik, sebisa mungkin Islam harus diberangus. Begitulah di antara haluan kebijakan yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje itu. Meskipun pada kenyataannya, mereka tidak konsisten dengan klausul itu. Begitu kata Aqib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia-Belanda (1985).

Pada 1905, akibat trauma pasca Pemberontakan Banten 1888, juga peristiwa lain seperti kasus Haji Rifa’i di Jawa Tengah dan pemberontakan di Kalimantan Selatan, pemerintah menggulirkan kebijakan “sertifikasi da’I” berupa Ordonansi Guru yang berlaku di Jawa & Madura. Guru dalam hal ini merujuk pada kyai pedesaan, ulama lokal, dengan pesantren sebagai lembaga pendidikannya.  Setiap guru agama diwajibkan melaporkan kegiatan pengajarannya ke bupati setempat, bersama materi dakwahnya. Juga jumlah muridnya.

Aturan ini lahir karena di tangan para guru inilah wawasan tentang jihad disuntikkan dan diwariskan kepada para santrinya. Para guru ini pula yang memiliki kemampuan memobilisasi umat dalam skala besar pada serangkaian gerakan pemberontakan yang menebar ketakutan bagi pihak kolonial.

Setelah berjalan sekitar 20an tahun, Muhammadiyah menuntut agar Ordonansi Guru itu dihapus. Keputusan Muhammadiyah yang tertuang dalam “Motie Perserikatan” di antaranya menyatakan bahwa Ordonansi Guru harus dicabut karena tidak memberikan kelapangan dalam syiar dan pengajaran agama Islam.

Pihak kolonial merespon tuntutan itu dengan sedikit melunakkan kebijakannya. Yang awalnya wajib izin sebelum pengajaran diganti sekadar melaporkan saja. Namun, kebijakan ordonansi guru terbaru, 1925, diberlakukan di hampir seluruh wilayah jajahan. Di Sumatera Barat, misalnya, Haji Rasul, ayah Buya Hamka, menggalang kekuatan dari ulama setempat menolak kebijakan ini.

Begitulah sejarah menuturkan kepada kita. Jika regulasi Kementerian Agama tentang sertifikasi da’i yang terbaru bermaksud “mewajibkan” para pendakwah memiliki sertifikat sebelum berceramah di hadapan umat, tidak ubahnya kita sedang mundur ke belakang ke masa kolonial. Mungkin MUI dan pihak lain yang menolaknya, bisa jadi, memahami wacana ini sebagaimana yang terjadi di masa lalu: membatasi aktivitas penyiaran agama Islam. Sebagai warga negara, jika memang demikian maksudnya, tentu saya akan sependapat dengan MUI. Tidak hanya menolak, tetapi melawannya!

Sebaliknya, jika wacana sertifikasi da’i ini tidak lain bertujuan meningkatkan kapabilitas dan kompetensi pendakwah tidak ada salahnya kita memberikan apresiasi dan dukungan. Di tengah hiruk-pikuk gemerlap panggung dakwah kita hari ini di mana pendakwah tidak kompeten berseliweran di lini masa media sosial, kehadiran mereka bukannya menyejukkan dan menambah iman-islam, tetapi justru menjadi slilit dalam keseharian.

Bagaimana kita akan mengalami kebangkitan Islam jika sehari-hari dicekoki ceramah yang tidak mencerdaskan? Peradaban lain sudah memikirkan inovasi di berbagai bidang kehidupan, kok kita masih saja dicekoki ceramah caci maki berbasis kebebalan!