Gus Baha, sebutan bagi KH. Bahauddin bin Kiai Nursalim, sedang menjadi idola santri-santri dan milenial muslim. Rekaman beberapa pengajian beliau di Youtube ramai disimak dan diperbincangkan. Cara ngaji yang selow dan renyah, jadi ciri khas beliau.
Apalagi, ketika membahas kelakuan santri dan orang-orang Islam masa kini, Gus Baha sering menyindir mereka yang ngajinya belum tuntas. “Kang, nek dadi santri iku ngajine ya kudu khatam, ben ora goblok nemen-nemen (Kang, kalau jadi santri itu ngajinya ya harus selesai/khatam, biar bodohnya tidak terlalu.” Begitu pinta Gus Baha, yang langsung disambut tawa para santrinya.
“Ngene lho kang, goblok iku yo ono aturane. Tak warai carane mikir (Gini ya Kang, bodoh itu ya ada aturannya. Saya kasih tahu cara berpikir)”.
“Contohnya, kalau ada orang yang bilang bahwa dia Jumatan di Makkah, itu nanti bilangin saja begini: Mbah, Kang, kalau jadi Wali ya harus masuk akal. Kalau membohongi ya yang sedikit rasional. Kok bisa bagaimana?”
Lha wong, Jumatan di Makkah sama di Indonesia itu waktunya beda. Maka, tidak masuk akal jika ada orang yang ketika selesai waktu Jumatan, dia mengatakan habis Jumatan di Makkah. Ini kan tidak masuk akal, karena ada beda waktu antara Indonesia dan wilayah Arab.”
“Jadi jelas, bahwa orang yang bilang begitu itu termasuk Wali yang tidak masuk akal, tidak rasional. Alias Wali bohong-bohongan. Kasih tahu saja, kalau berbohong ya mbok ya sedikit rasional, pakai ilmu, biar lebih masuk akal,” jelas Gus Baha, dibarengi serempak tawa geeer dari santri-santrinya.
Suatu ketika, ada orang datang ke Gus Baha, bertanya sesuatu yang menggelisahkan. “Gus, hukumnya santri-santri dan mahasiswa studi banding ke luar negeri itu bagaimana?”
“Lha kalau diniati belajar kan baik-baik saja. Maksudmu piye?” tanya Gus Baha.
“Itu Gus, kan bisa campur (berbarengan dalam satu lokasi) antara laki-laki dan perempuan?”
“Hukum itu jangan dicampur-campur. Lha iki urusannya studi banding ya beda. Kamu tahu, bahwa Islam berkembang di Eropa, di Amerika, di Australia, itu berkat mahasiswa muslim yang belajar? Kamu tahu, bahwa dengan adanya santri-santri yang kuliah di luar negeri, yang belajar di berbagai negara, mereka bisa mengembangkan agama, menjadikan penduduk Eropa, Amerika, Australia tahu bahwa Islam itu tidak seperti yang terlihat di televisi, Islam itu tidak hanya teror,” ungkap Gus Baha.
Gus Baha tidak serta merta mengajukan halal-haram. Belionya tidak mudah memberikan fatwa halal haram atas beragam peristiwa. Gus Baha melihat dengan kaca mata ulama fiqih sekaligus penekun tasawuf, keras tapi lentur. Kokoh tapi luwes.
Dalam beberapa pengajian, Gus Baha gusar dengan banyaknya orang yang mudah menghakimi dengan fatwa agama. “Kamu jangan mudah menghakimi bahwa bencana itu adzab dari Allah. Jangan bicara begitu. Siapa yang menjamin bahwa itu pasti adzab Allah, ketika gempa terjadi di Lombok, Palu, dan beberapa wilayah Indonesia? Yang tahu hanya Allah, maka tidak usah terlalu banyak mengecam”.
Gus Baha melanjutkan, “Sudah menuduh sana-sini, tapi ndak menyumbang lagi.”
Gini lho, jelas Gus Baha, Indonesia itu termasuk negeri dengan banyak pegunungan aktif. Gempa itu, kalau bahasa ilmiahnya, dari pergeseran lempengan-lempengan bumi. Nah, lempengan bumi yang bergeser itu, menyebabkan gempa.
“Wes gini saja, kalau ngomong pakai penjelasan ilmiah. Tidak usah dalil-dalil, bikin orang susah saja. Ora usah aneh-aneh. Ngomong yang ilmiah saja, yang masuk akal. Lalu, diikuti dengan nyumbang korban bencana, diniati sedekah. Itu lebih masuk akal, lebih manfaat,” terang Gus Baha.
Jelas sekali, Gus Baha gelisah dengan orang-orang sukanya mengumbar dalil ketika bencana terjadi. Bahwa, yang tahu bahwa bencana itu adzab atau bukan itu hanya Allah. Hanya Allah. Maka, janganlah memaksa Tuhan, atau mengambil alih wilayahnya.
Gus Baha jadi oase di tengah maraknya ustadz-ustadz yang mencari popularitas. Di tengah meruahnya pendakwah yang mengumbar kebencian dan mengadu domba umat. Cara dakwah Gus Baha riang gembira, selow dan santai. Bikin nyaman.
Di tengahnya meningkatnya penggemar ngaji beliau di Youtube dan kanal-kanal media sosial, Gus Baha memilih menjauhi popularitas. Ia ingin tetap berada di jalur sunyi, jalur keilmuan.
“Ojo ajak-ajak aku seneng dunyo, aku pengen latihan ikhlas, pengen nabung ikhlas (Jangan ajak-ajak saya senang dunia/uang. Saya pengen latihan ikhlas, ingin menabung ikhlas). Sebabnya, ilmu itu tidak terlalu suka pada orang yang suka dunia. Ilmu akan menjauhi orang seperti itu,” terang Gus Baha.
Cara berpikir Gus Baha yang khas, dan sikap bijaknya, jadi paradoks di tengah maraknya ustadz yang suka kecam sana-sini.
Kita beruntung mengenal dan mendengar Gus Baha. Kita beruntung mendapatkan jalur belajar ilmu dari orang yang tidak menghamba pada popularitas. Dari Gus Baha, kita belajar Islam Cinta. Islam yang gembira [].