Mengapa Kawin Anak Masih Marak dan Diglorifikasi?

Mengapa Kawin Anak Masih Marak dan Diglorifikasi?

Mengapa Kawin Anak Masih Marak dan Diglorifikasi?
(Photo credit: GABRIEL BOUYS/AFP/Getty Images)

Baru saja kemarin pagi saya mengunggah story whatshapp yang mengungkapkan keprihatinan berita tentang selebgram yang nikah muda Gus Zizan dan Syifa, bahkan terkesan menormalisasi perkawinan anak, karena usia penganten perempuan masih 16 tahun. Sementara kita tahu, batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan dalam UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 adalah 19 tahun.

Hal yang paling mengecewakan adalah, orang tua dan keluarga penganten yang notebene adalah tokoh agama serta tokoh masyarakat yang disegani di daerahnya. Ditambah kedua penganten merupakan selebgram dan influencer yang digandrungi oleh anak-anak muda Gen-Z di media sosial, baik itu di Instagram maupun TikTok. Seakan meromantisasi nikah muda itu enak.

Baru berapa jam saya unggah story itu, ada mahasantriwa yang saya kenal baik mengirimkan pesan begini;

“Mba Zahra temanku yang di rumah juga sama. Temanku ada yang mau nikah nanti 16 Oktober 2024. Laki-laki umur 24 tahun, seumuran sama aku, sedangkan usia perempuan 17 tahun. Padahal dia termasuk ustadz muda di kampungku.”

Tak hanya itu, melalui postinganku di Facebook, juga ada yang mengirimkan pesan seperti ini:

“Asalamu’alaikum ibu, kabarnya ponakanku juga akan menikah ibu, baru banget lulus SMA. Entah dipaksa orang tua atau bagaimana, padahal dia juga baru masuk kuliah.”

Perlu pembaca ketahui, dua pesan di atas yang dikirim secara pribadi itu adalah warga Indramayu, dan praktik perkawinan anak yang akan dilakukan juga berlokasi di Indramayu.

Peristiwa ini menjadi refleksi saya sebagai pegiat isu perkawinan anak di Kabupaten Indramayu, bertepatan pula dengan Hari Jadi Indramayu yang ke-497 tahun pada 7 Oktober 2024 kemarin.

Menilik Kajian INFID

Berdasarkan Kajian International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) terhadap Permohonan Dispensasi Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dan Lampung Tengah, Lampung, menemukan bahwa dispensasi kawin melanggengkan gen-z terjebak perkawinan di usia anak.

Kajian yang dilakukan INFID bersama dengan Aliansi Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) didukung oleh Kedutaan Jerman, menemukan banyak generasi muda hari ini justru terjebak dalam perkawinan anak, yang berpotensi melahirkan generasi yang tumbuh di tengah lingkungan yang rentan merenggut hak-hak anak.

Sejumlah penemuan menguatkan betapa perkawinan anak merenggut hak anak dan melahirkan efek domino yang mengancam masa depan anak yang melakukan perkawinan di bawah umur hingga ke generasi yang lahir dari pasangan perkawinan anak.

Demikian yang disampaikan oleh Mufliha Wijayati, dari tim riset INFID, saat diseminasi hasil kajian INFID, pada Selasa 24 September 2024. Mufliha menegaskan, perkawinan anak dilatarbelakangi bukan oleh cinta dan keinginan anak, melainkan merupakan paksaan dari orangtua kandung. Dalih mereka biasanya yaitu takut perzinahan atau bagian dari kultur dan norma sosial di lingkungan mereka.

Mayoritas permohonan dispenasi perkawinan diajukan oleh keluarga perempuan. Bahkan, di Pengadilan Agama Indramayu 82 persen permohonan dispensasi perkawinan diajukan oleh orangtua anak perempuannya. Sementara sisanya, 18 diajukan oleh orangtua untuk anak laki-laki.

Dari kajian tersebut, ditemukan maraknya perkawinan usia anak tidak lepas dari skema dispensasi kawin yang dimungkinkan oleh hukum. Dari sisi regulasi, Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur minimum usia menikah bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun.

Namun, jika anak di bawah 19 tahun mengajukan permohonan perkawinan, hakim memiliki kewenangan untuk memberikan izin menikah atau dispensasi kawin. Landasannya adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2019 tentang persyaratan permohonan dispensasi kawin.

Persoalannya, berdasarkan temuan tim peneliti di lapangan, Perma No. 5/2019 sebagai panduan dalam penanganan dispensasi perkawinan belum tersosialisasi secara memadai kepada pemangku kepentingan terkait, seperti para hakim di pengadilan agama.

Tantangan lain, menurut tim peneliti adalah terdapat miskonsepsi atas beberapa konsep dan prosedur pemberian rekomendasi dalam Perma. Konsep rekomendasi disalahpahami sebagai pemberian dukungan perkawinan. Rekomendasi umumnya dipahami sebagai opsional, karena adanya klausul ‘dapat’ pada dalam Perma.

Independensi hakim dalam memutus perkara menjadi problem implementasi pertimbangan kepentingan terbaik anak, juga masih jadi tantangan. Karena persepsi hakim soal kepentingan terbaik anak, tidak sama. Masih ada hakim memaknai kepentingan terbaik anak adalah bayi yang akan dilahirkan atau janin dalam kandungan.

Dari kajian INFID di atas itu, ada temuan terkait pengetahuan dan penghayatan hakim terhadap prinsip kepentingan terbaik anak, hakim memaknai kemendesakan dalam tiga kondisi yakni kondisi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD); termohon telah berhubungan seksual; dan mereka sudah berhubungan sangat dekat, sehingga dikhawatirkan mereka akan berbuat zina atau melanggar norma.

Program, kegiatan, gerakan pencegahan kawin anak bersifat sporadis dan sektoral, dan terjadi miskonsepsi terhadap makna rekomendasi dalam Perma. Bahkan pertimbangan kepentingan terbaik anak untuk perempuan, biasanya ukuran yang dipakai adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, sementara untuk laki-laki adalah kemampuan finansial.

Di sisi lain, menurut Siti Rofiah yang juga tim peneliti INFID, persetujuan dalam perkawinan anak diiringi dengan ketimpangan relasi kuasa. Ada orangtua yang memanfaatkan dispensasi kawin agar anaknya bisa dinikahkan dan kemudian dikirim sebagai buruh migran di luar negeri yang syaratnya adalah cukup usia atau sudah menikah.

Kesimpulan secara umum dari kajian tersebut yakni Perma belum tersosialisasi, dan tingginya kasus dispenasasi perkawinan anak yang ditangani oleh hakim tunggal. Selain itu, program, kegiatan, gerakan pencegahan kawin anak sporadis dan sektoral, dan terjadi miskonsepsi terhadap makna rekomendasi dalam perma.

Fatwa KUPI

Sejalan dengan hal di atas, Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan pada medio April 2017 silam, mengeluarkan fatwa tentang Pencegahan Perkawinan Anak, yang sejauh ini implementasinya masih terus diupayakan, disosialisasikan secara menyeluruh oleh seluruh jaringan dan gerakan KUPI yang tersebar di seluruh Indonesia. Termasuk diantaranya adalah melalui tulisan, konten kreatif, infografis serta video yang diproduksi secara berkala oleh Media Mubadalah, untuk membangun narasi pencegahan perkawinan anak di media sosial.

Adapun sikap dan pandangan keagamaan KUPI terkait dengan perkawinan anak antara lain:

Pertama, hukum mencegah pernikahan anak dalam konteks perwujudan kemaslahatan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah adalah wajib. Karena pernikahan anak lebih banyak menimbulkan madlarat/mafsadah dari pada menghadirkan maslahat/manfaat.

Kedua, pihak-pihak yang paling bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan pernikahan anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.

Ketiga, hal yang bisa dilakukan pada anak yang mengalami pernikahan sebagai bentuk perlindungan adalah memastikan hak-hak anak lainnya terutama sebagai anak, mereka tetap terpenuhi sebagaimana hak-hak anak lainnya terutama hak pendidikan, kesehatan, pengasuhan dari orang tua dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Refleksi Hari Jadi

7 Oktober 2024 kemarin Indramayu baru saja merayakan hari jadi. Dengan mengusung tema “Indramayu Bersatu, Bersinergi dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, harapannya akan mampu menghilangkan praktik perkawinan anak di Indramayu.

Almarhumah Mbak Rasminah, dan Mbak Endang Wasrinah, dua perempuan Indramayu yang menjadi pemohon uji materi amandemen UU Perkawinan No. 1 tahun 1074 menjadi UU No. 16 tahun 2019 untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan, telah melakukan langkah berani untuk melakukan perubahan bagi nasib dan masa depan anak-anak perempuan di Indonesia.

Lantas kini ketika praktik perkawinan anak kembali marak, siapa yang harus bertanggungjawab? Adakah Calon Bupati dan Wakil Bupati Indramayu yang akan mengikuti kontestasi Pilkada November mendatang memasukkan isu perkawinan anak ini dalam program prioritas mereka?